12 February 2012

Inkheart


Judul Buku: Inkheart
Diterjemahkan dari : Tintenherz (2003)
Pengarang: Cornelia Funke
Penerjemah: Dinyah Latuconsina
Tebal: 536 halaman; 15 x 23 cm
Cetakan: 1, Januari 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Inkheart merupakan perwujudan dari impian Cornelia Funke, penulis buku anak dan remaja paling terkenal di Jerman, untuk menulis cerita dengan karakter-karakter yang melompat ke dunia nyata dari halaman-halaman buku. Adalah Mortimer Folchart atau Mo, pecinta buku yang bekerja sebagai dokter buku (restorator buku); pasiennya adalah buku-buku yang rusak sampulnya atau yang halaman-halamannya terlepas. Selain itu, Mo adalah si Lidah Perak, suaranya yang indah tidak hanya memesona pendengarnya, namun juga mampu memukau para tokoh di dalam buku yang namanya ia lafalkan, untuk keluar ke dunia nyata.

Ketika novel mulai bergulir, dikisahkan bahwa sembilan tahun sebelumnya, Mo membacakan buku Tintenherz karya pengarang Fenoglio untuk Teresa, istrinya. Capricorn, tokoh utama dalam buku tersebut, yang jahat dan memiliki hati sehitam tinta, menyeruak ke dunia nyata. Ia melesat keluar dari buku bersama anak buahnya, Basta, si pemain pisau yang kejam. Secara simultan, Straubfinger, tokoh lain yang sebenarnya enggan bermigrasi, ikut tersedot membawa Gwin, musang bertanduknya, dan Teresa, istri Mo, menyelundup ke dalam buku. Demi menghindari para tokoh fiksi yang menjelma darah dan daging itu, Mo meninggalkan rumah dan berpindah-pindah tempat tinggal. Sayangnya, setelah sembilan tahun, Straubfinger berhasil menemukan tempat persembunyiannya yang terakhir, di mana Mo hidup bersama putrinya yang berusia 12 tahun, Meggie. Memang, hanya Mo yang memiliki kemampuan untuk memulangkan Straubfinger ke dalam dunianya, dan ia juga memiliki buku Tintenherz terakhir yang bisa dilacak Straubfinger. Capricorn telah merampok semua eksemplar Tintenherz yang beredar di pasaran atau yang dimiliki kolektor buku.

Berbeda dengan Straubfinger, Capricorn membutuhkan Mo bukan untuk kembali ke dunianya. Baginya kecakapan ajaib Mo akan membantunya merealisasikan rencananya. Dengan suaranya yang fantastis, Mo akan menjarah harta dari buku-buku yang berkisah tentang harta karun untuk membiayai kejahatan Capricorn di dunia. Mo juga akan menggiring keluar sahabat Capricorn dalam buku, yaitu sang Bayangan, makhluk imortal yang diciptakan Capricorn dari abu orang-orang yang mati dibakarnya. Namun, tidak mudah untuk memaksa Mo bekerja sama. Jalan satu-satunya yang terbuka untuk memaksa Mo adalah meringkus Meggie dan membawanya ke kediaman Capricorn. Yang tidak mereka semua sangka, bahkan juga oleh Meggie sendiri, ternyata ia memiliki kemampuan ajaib yang sama dengan ayahnya.

Inkheart adalah novel fantasi dengan daya pikat yang tidak gampang memudar. Oleh sang pengarang, dunia buku yang selalu menggairahkan dijadikan mataair ide yang sangat orisinil demi menghidupkan novel ini. Semua karakter bertautan dengan buku: para penggila buku dan para tokoh di dalam buku. Mo, si  Lidah Ajaib, adalah penggila buku yang menurunkan kegilaannya kepada Meggie, yang selalu membawa buku sebagai bekal ketika harus bepergian. Tapi yang paling gila adalah Elinor Loredan, salah satu pelanggan Mo yang adalah bibi dari istrinya (pada halaman 40 disebut sebagai bibi Meggie). Perawan gaek ini tidak bisa melepaskan diri dari ketamakannya akan berbagai buku dari seantero dunia –baginya semua kolektor buku adalah perampas dan pemburu. Kebanyakan uangnya dipakai membeli buku dan membuat Mo takut Elinor tidak bimbang menjajakan jiwanya jika ada iblis yang bisa memberikan buku yang ia dambakan. Ketimbang membayar biaya listrik yang berlebihan, Elinor lebih suka membelanjakan uangnya untuk membeli buku. Hampir semua kamar dalam rumahnya telah berkembang menjadi perpustakaan dengan koleksi tak terhitung yang di antaranya akan membuat Elinor membunuh agar tidak disentuh sembarang orang. Perpustakaannya dilengkapi alarm yang sangat mahal sebagai bagian dari tindakan proteksi buku-buku yang diperlakukan Elinor bagaikan anak-anaknya. Ketika para tokoh antagonis menyambangi rumahnya, mengosongkan perpustakaannya, dan membakar buku-bukunya yang paling berharga, dunia Elinor bagaikan hangus binasa. Seperti katanya, "Di tempat buku dibakar, di sana manusia pun akan segera hangus binasa." (hlm. 174).

Kendati bukan penggila buku, melainkan tokoh di dalam buku yang terpental keluar dari labirin aksara, Straubfinger, si pemain akrobat api, mungkin adalah tokoh signifikan yang paling menonjol. Pembaca akan menaruh sayang padanya karena sampai novel berakhir, kerinduannya pada 'kampung halamannya' tidak kunjung terpuaskan. Namun memang, jika ia dihalau pergi secepatnya dari 'dunia tinta', kemungkinan pesona novel ini akan lekas meluntur.

Dalam seting kontemporer, Cornelia juga meminjam karakter Kisah Seribu Satu Malam yaitu Farid untuk menambah warna dalam ceritanya. Farid disedot keluar dari negerinya kala Mo dipaksa menjarah harta karun dari buku yang dibacanya. Terjalin relasi antara Farid dan tokoh-tokoh ciptaan Cornelia lainnya yang membuatnya masih akan dijumpai dalam sekuel novel ini.

Cerita fantasi tentu saja tidak cukup hanya dengan menghadirkan deretan karakter fantastis yang membuat pembaca termehek-mehek. Mereka juga mesti dililit konflik yang menggugah. Seperti biasa, para protagonis dipersulit, dan di dalam kesulitan itu mereka dipaksa berjuang mempertahankan hidup dan bersitekad mengungguli konfrontasi. Inkheart memiliki kecukupan konflik yang mencegahnya terpuruk menjadi sekadar hidangan hambar.

Seperti yang bisa dibaca dalam website-nya, sebetulnya Cornelia tidak merencanakan sekuel, namun saking terpukaunya pada tokoh-tokoh novelnya, ia pun memutuskan melanjutkan ceritanya. Maka, setelah Inkheart, menyempurnakan kisah para penggila buku ini, menyusul  Inkspell (Tintenblut), dan Inkdeath (Tintentod). Kendati edisi Indonesia ini diterjemahkan langsung dari edisi Jerman, untuk judul Gramedia melekatkan judul yang sama dengan edisi Inggris, Inkheart. Penetapan judul ini kemungkinan besar dikarenakan pada bulan yang sama, Januari 2009, film yang diadaptasi dari novel ini, beredar dengan judul Inkheart. Keputusan yang laik mengingat penerjemahan judul Tintenherz ke dalam bahasa Indonesia akan melahirkan judul yang ganjil.

Rupanya, sebagai penggila buku, sebagaimana yang tampak dari banyak kutipan buku yang diimbuhkan mengawali bab baru, Cornelia Funke adalah penikmat buku yang imajinatif. Saat membaca buku, ia pasti kerap membayangkan tokoh-tokoh dalam buku mewujud dalam darah dan daging. Efek yang mungkin hanya terbit jika buku yang dibaca ditulis dengan luar biasa.

Ya, sama halnya dengan Inkheart, yang memang ditulis dengan luar biasa, oleh pengarang yang bergelimang ketajiran imajinasi.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan