12 February 2012

Bilangan Fu


Judul Buku: Bilangan Fu
Penulis: Ayu Utami
Tebal: x + 537 hlm; 13,5 X 20 cm
Cetakan: 1, Juni 2008
Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)






Menggunakan nama Jambu Air, Justina Ayu Utami berhasil menempatkan Saman (KPG, 1998), novel perdananya sebagai pemenang Sayembara Roman DKJ 1998. Saman menjadi salah satu novel laris dalam jagad sastra Indonesia. Hingga saat ini, Saman telah dicetak 27 kali dan telah diterbitkan dalam 6 bahasa asing. Berkat Saman, Ayu dipandang telah mengembangkan cakrawala sastra Indonesia dan mendapatkan Prince Claus Award dari Belanda pada tahun 2000. Apa yang ditawarkan Saman dipandang menabrak tabu seks hingga menjadi tren yang banyak diikuti oleh penulis-penulis perempuan lain. Tetapi akibatnya, oleh Taufik Ismail, Ayu Utami disebut sebagai pelopor angkatan Sastra Fraksi Alat Kelamin (FAK). 

Menurut Ayu Utami, Saman merupakan fragmen dari novel yang direncanakannya berjudul Laila Tak Mampir di New York. Tetapi novel ini tidak sempat terwujud, malah menjadi 2 novel yang dianggap sebagai novel yang tidak berbentuk novel, Saman dan kemudian Larung (KPG, 2001). Hampir 7 tahun setelah Larung terbit untuk pertama kalinya, akhirnya novel ketiga Ayu, Bilangan Fu, terbit. Sebelum Bilangan Fu, Ayu yang mendapatkan penghargaan dari Majelis Sastra Asia Tenggara tahun 2008, telah menghasilkan kumpulan esai, Si Parasit Lajang (GagasMedia, 2003),  dan naskah drama berjudul Sidang Susila (Spasi, 2008).

Pengerjaan Bilangan Fu, menurut pengakuan Ayu Utami, memakan waktu 4 tahun. Merupakan novel yang terinspirasi dari dunia panjat tebing, dan sebuah kenangan untuk seorang pemanjat tebing bernama Sandy Febijanto (sahabat Erik Prasetya, seniman foto, kepada siapa Ayu mendedikasikan novel ini), yang meninggal dunia dalam kecelakaan ganjil di bukit kapur Citatah. Untuk mendapatkan detail dunia panjat tebing, sejak akhir tahun 2003, Ayu Utami bergabung dengan kelompok panjat tebing Skygers yang didirikan Harry Suliz.  

Menggunakan seting dunia panjat tebing, Ayu Utami, lajang kelahiran Bogor 21 November 1968, mencoba mendakwahkan gagasannya untuk mengkritisasi apa yang dikenal sebagai 3 M: modernisme, monoteisme, dan militerisme. Baginya 3 M ini merupakan musuh dunia postmodern. Dan untuk itu, dia mengkreasi karakter nan bijak bernama Parang Jati, seorang mahasiswa semester akhir geologi ITB dengan dua jari manis di setiap tangannya. Lewat Parang Jati inilah Ayu Utami menggelontorkan gagasannya.

Kisah dalam Bilangan Fu diceritakan dari perspektif Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang gemar bertaruh, bersikap skeptis, sinis dan melecehkan nilai-nilai masyarakat. Tetapi menurut Yuda, sang narator, kisah ini ditulis ulang oleh seorang penulis yang dikenalnya di acara Ruwatan Bumi, yang tidak lain, adalah Ayu Utami, penulis novel ini (hlm. 463). 

Mengambil seting utama daerah di selatan Jawa, daerah Sewugunung dengan perbukitan gamping bernama Watugunung, Ayu Utami memperkenalkan Yuda, seorang pemanjat tebing yang menggunakan pemanjatan artifisial dalam aktivitasnya. Ketika membuka jalur pemanjatan baru di Watugunung, Yuda bertemu dengan Parang Jati, warga Sewugunung yang hendak mengadakan penelitian arkeogeologi di perbukitan gamping ini. Parang Jati dilanda kekuatiran akan nasib pegunungan gamping Watugunung yang akan habis suatu hari gara-gara penambangan kapur dan penebangan pohon yang tidak terkendali. Parang Jati yakin, akan tiba saatnya orang akan kehilangan pemandangan indah Watugunung, geolog kehilangan dokumen, pemanjat kehilangan tebing, dan masyarakat kehilangan matair ( kawasan gamping adalah spons alam tempat air disimpan dan disuling menjadi sumber-sumber air jernih). Parang Jati tidak ingin Watugunung mengalami nasib yang sama dengan bukit Citatah.

Bagi Yuda, Watugunung adalah Batu Menyanyi. Di bagian hidung Watugunung, ada sebuah lubang tebing yang menyiulkan angin dengan suara magis dan syahdu, seperti fu, alat musik orang Asmat. Yuda menamakan tebing itu sebagai Sebul yang menjelma makhluk cantik bertubuh manusia  dengan kepala dan kaki serigala yang menyebabkan Yuda ketindihan dan mimpi basah. 

Tetapi Parang Jati membuka mata Yuda bahwa Watugunung laksana vagina raksasa. Maka, Yuda harus menggunakan cara lain untuk 'ibundanya' dan bukannya memaku dan mengebor seperti yang dilakukan Yuda di ranjang dengan kekasihnya, Marja. Dengan kata lain, Parang Jati menghendaki Yuda untuk mengubah agama pemanjatannya, dari pemanjatan artifisial (yang disebut Parang Jati sebagai pemanjatan kotor/dirty climbing) menjadi pemanjatan bersih (clean climbing). Bagi Yuda, hanya ada dua jenis pemanjatan, pemanjatan bersih dan pemanjatan artifisial. Pemanjatan bersih adalah pemanjatan tanpa menggunakan alat bantu untuk menambah ketinggian, sedangkan pemanjatan artifisial adalah pemanjatan dengan menggunakan peralatan untuk sesekali menderek badan ke atas. Kedua pemanjatan ini mengizinkan pemanjat mengebor gantungan pada tebing baik untuk pengamanan maupun untuk mengatrol. Tetapi pemanjatan bersih menurut Parang Jati adalah pemanjatan suci (sacred climbing), tidak ada pemanjat yang boleh melukai tebing. Dalam pemanjatan jenis ini tidak boleh ada bor, piton, paku maupun pasak, hanya boleh ada pengaman perangko, penahan, sisip, pegas, dan tali-tali ambin. Pengaman untuk jenis pemanjatan ini bahkan hanya dipasang sesuai dengan sifat batu tanpa merusaknya sama sekali. Menurut Parang Jati, sudah saatnya alam raya dikasihi. "Menyetubuhinya tanpa memaksakan diri kepadanya. Memasukinya hanya jika ia membuka diri dan membiarkan ia melahap ujung-ujung tubuh kita..." (hlm. 82). 

Diawali dari perpindahan agama yang terjadi dalam diri Yuda, hubungan mereka menjadi dekat seperti saudara. Parang Jati bagaikan malaikat jatuh bagi Yuda, lelaki bermata polos bak bidadari yang harus dibebaskan dari tanggung jawab yang ditaruh pada dirinya oleh Suhubudi, sang ayah angkat. Sesuai kehendak Suhubudi, Parang Jati tergabung  dalam sirkus orang aneh yang disebut Saduki Klan di mana dia berteman dengan berbagai makhluk aneh seperti manusia gelembung, manusia gajah, manusia badak, macan jadian, manusia kadal, manusia gendruwo, tuyul, dan manusia pohon. 

Sementara itu, Parang Jati harus berhadapan dengan adik yang tidak pernah diketahuinya, Kupukupu yang telah mengganti namanya menjadi Farisi, di tengah-tengah kegemparan menghilangnya orang mati dari kuburnya –yang dianggap telah bangkit dari kubur. Dan dalam pengungkapan misteri menghilangnya orang mati yang hilang dari kuburnya, tanpa sengaja, Yuda telah menyeret Parang Jati menghadap ajal dan mengandaskan hubungan cintanya dengan Marja. 

Bilangan Fu menyorot situasi yang tengah berkembang masa setelah reformasi. Menurut Ayu, ada tiga serangkai perusak bumi (3 M) yang terdiri atas modernisme, monoteisme, dan militerisme. Ketiganya bersengkarut menciptakan banyak masalah yang melanda bangsa kita. 

Modernisme, menurut Ayu, tidak hanya membawa perkembangan positif (pembebasan) tetapi juga negatif (perusakan alam). Modernisme membuat manusia kehilangan rasa takut sehingga hilang pula penghormatan terhadap alam. Di masa lalu, hutan dan kawasan perbukitan gamping Sewugunung terpelihara oleh kepercayaan lokal atau takhayul. Kepercayaan akan roh-roh, mambang, demit, siluman mencegah manusia melakukan perusakan alam. Tetapi kapitalisme melalui perusahaan penambangan kapur dan penebangan pohon dan izin pemerintah mengabaikan kepercayaan tersebut. Bahkan pertahanan masyarakat setempat dilemahkan dengan menggunakan pasukan keamanan berbaju agama, memberi stigma pada kepercayaan lokal sebagai praktik penyembahan berhala. Sebagai metafora dari pencegahan perusakan alam secara sengaja,  Ayu Utami menyodorkan pemanjatan bersih bahkan pemanjatan suci seperti yang diinginkan Parang Jati untuk dianut Yuda.     

Setelah periode Orde Lama (1959-1965), Indonesia masuk dalam era militerisme (Orde Baru). Pada zaman Orde Baru, banyak orang menjadi korban pembantaian. Kekerasan, termasuk di dalamnya operasi intelijen, menjadi bahasa satu-satunya yang berlaku. Dan di negara seperti Indonesia, negara dengan kekayaan hutan dan alam luar biasa, militer dan kapitalis saling memperkuat dengan jahat untuk mengeksploitasi alam. Di Sewugunung terjadi penebangan jati legal maupun ilegal dengan Pontiman Sutalip, kepala desa yang adalah prajurit angkatan darat berada di belakangnya. Masyarakat setempat tidak bisa melakukan apa-apa untuk menantangnya. Adalah Parang Jati yang diciptakan Ayu Utami untuk menantang aksi militerisme yang terjadi dengan mengusahakan pegunungan gamping Watugunung untuk dijadikan kawasan konservasi. 

Pada era 70-an eksperimen modernisme, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan sosialisme, di negara-negara berkembang mengalami kegagalan. Sebagai gantinya, 'fundamentalisme' agama bangkit bersamaan dengan semaraknya monoteisme. Bagi monoteisme, Tuhan adalah satu dan bukan nol seperti dalam agama-agama Timur. Akibatnya, monoteisme sulit menerima perbedaan dan bersikap intoleran. Bahkan, dalam menegakkan kebenarannya sendiri, penganut monoteisme kerap memakai bahasa kekerasan. Bergandengan dengan praktik modern, monoteisme mengisbatkan kepercayaan lokal sebagai takhayul kegelapan dan menjadi agen penghancur kebudayaan lokal. Pertentangan monoteisme dengan kepercayaan lokal digambarkan Ayu melalui pertentangan Parang Jati yang menghormati kepercayaan lokal dan Kupukupu, saudaranya sendiri. Kupukupu yang munafik menghujat kepercayaan lokal untuk memaksakan kebenaran agamanya sendiri. Kelahiran Parang Jati dan Kupukupu yang mengingatkan pada kelahiran Nabi Musa, seolah-olah hendak menggambarkan bagaimana monoteisme masuk ke Indonesia setelah adanya kepercayaan lokal dengan tujuan untuk membantai kepercayaan lokal.  

Untuk itu, Ayu menawarkan apa yang ia sebut spiritualisme kritis. Di dalam konsep spiritualisme kritis, orang tetap percaya apa yang ia yakini, Tuhan atau apa pun, tetapi tetap bersikap kritis pada apa yang dipercayanya itu. Tujuannya supaya orang tidak buru-buru dan gegabah menerapkan kebenarannya pada orang lain, karena kebenaran yang sebenarnya tetap menjadi misteri.  

Tak pelak lagi, Bilangan Fu menjadi sebuah novel yang cukup berat. Bahkan seolah-olah diupayakan untuk hadir sebagai novel yang sesak karena dijejali berbagai hal yang ingin dimuatkan Ayu ke dalam alur novel yang enteng. Temukan serakan hal-hal seperti legenda Sangkuriang-Dayang Sumbi, Panembahan Senopati-Nyi Rara Kidul, Prabu Watugunung-Permaisuri Dewi Sinta, Siung Wanara, ikan pelus, upacara sesajen, Bekakak, sejarah Mataram, petikan-petikan kisah dalam Alkitab sampai hal-hal seperti babi ngepet, hewan moluska dan ubur-ubur. Sungguh melelahkan, perlu kesabaran membaca untuk menamatkannya. Belum lagi kliping-kliping berita dari koran dan majalah yang direkatkan di sana-sini. Nyaris menghilangkan kesabaran!

Untunglah novel ini sempat memberikan tempat kepada kisah-kisah kehidupan Yuda dan Parang Jati beserta kisah cinta Yuda dengan Marja, perempuan dengan tubuh teji dan senyuman matahari. Meskipun khusus untuk hubungan Yuda-Parang Jati-Marja yang coba diperkuat Ayu Utami dengan mengambil perumpamaan ozon,  tidak tampil kuat dalam isi novel yang begitu panjang. Cinta segi tiga nan lembut seperti disebutkan dalam sampul belakang novel bahkan tidak terasa.  

Seperti saya sebutkan sebelumnya, Parang Jati dikreasi Ayu untuk mendakwahkan gagasannya terhadap apa yang disebutnya modernisme, monoteisme, dan militerisme. Sebuah karakter menarik dengan keunikan pada tangan berjari dua belas (yang kelebihan jarinya oleh Parang Jati disebut Jari Hu). Meski tidak menganut agama langit tertentu, bahkan lebih suka melakukan sinkretisme, Parang Jati terkadang tampil bagaikan Yesus Kristus di Sewugunung, melakukan khotbah di bukit dan melontarkan kalimat-kalimat yang disitir dan dimodifikasi dari ayat-ayat Alkitab.  Para pembaca Alkitab tentu saja akan mengenali kalimat-kalimat seperti ini: "Saya datang membawa pedang, Bung" (hlm. 78), "Jangan dianggap saya datang untuk menghujat pemanjatan artifisial. Tidak satu iota pun akan dihilangkan" (hlm. 82), "Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, untuk apa selain dibuang dan diinjak-injak?" (hlm. 83) atau "Berbahagialah orang yang tidak melihat tapi percaya" (hlm. 84). 

Ayu menyebutkan jika Parang Jati berusia 20 tahun pada tahun 1995 (hlm. 184) ketika ia menulis artikel yang dijuduli Ayu "Kritik Atas Modernisme". Jadi, Parang Jati yang ditemukan Mbok Manyar, juru kunci mata air dalam keranjang serat pandan yang tersangkut di lumut hutan, lahir tahun 1975. Karena disebutkan Yuda 3 tahun lebih muda dari Parang Jati (dan seumur dengan Kupukupu, adik Parang Jati), berarti Yuda lahir tahun 1978. Persahabatan Yuda dan Parang Jati dimulai saat Yuda berusia 20 tahun (hlm. 209), berarti sekitar tahun 1998. Ayu menyebutkan kisah di Sewugunung berakhir tahun 2001 (hlm. 356) ketika Yuda berusia 23 tahun dan Parang Jati 26 tahun. Jadi dapat disimpulkan jika kisah Yuda dan Parang Jati dalam novel ini berlangsung sekitar 3 tahun (1998 – 2001). Pada halaman 343, Ayu menyebutkan jika 'si aku" (Yuda) menuliskan kembali kejadian yang dialaminya dengan Parang Jati setelah 13 tahun berlalu (Yuda kira-kira berusia 36 tahun). Jadi, kisah dalam novel ini ditulis Yuda pada tahun (2001 + 13)  2014?

Bilangan Fu yang menjadi judul novel, menurut Ayu adalah bilangan yang senantiasa menghasilkan satu jika dibagi maupun dikali satu, namun bilangan itu bukan satu. Bilangan mistis ini, katanya, hadir dalam mimpi-mimpi Yuda yang beraroma seksual sebagai bilangan yang diwahyukan Sebul. Katanya juga, pengertian bilangan ini hanya bisa ditularkan lewat gigitan. Jujur saja, sampai novel berakhir, saya masih bingung dengan apa yang Ayu sebut sebagai Bilangan Fu. Jadi, jangan tanya saya tentang pendapat saya mengapa novel ini diberi judul Bilangan Fu (dan bukan 3 M, misalnya). Sad

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan