Judul: Perfect Match 
Pengarang: Jodi Picoult (2002)
Penerjemah: Julanda Tantani
Tebal: 504 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Mei 2010
Cetakan: 1, Mei 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka  Utama
Anak-anak yang lain adalah pekerjaanku. Nathaniel adalah hidupku (Nina Frost, hlm. 461).
Sudah tujuh tahun Nina Frost bekerja sebagai jaksa penuntut dalam kasus-kasus pelecehan seksual yang dialami anak-anak. Pengalaman mencelikkannya bahwa dalam upaya pencarian keadilan, anak-anak itu otomatis menjadi pihak yang paling menderita. Bila pelaku tidak mengakui perbuatannya, untuk mendapatkan kejelasan kasus, anak-anak itu akan diminta bersaksi. Sebelum dinyatakan kompeten untuk bersaksi mereka mesti menjalani competency hearing. Dari uji kompetensi ini, mereka bisa dinyatakan tidak kompeten, yang berarti pelaku bisa melenggang bebas. Anak-anak yang dinyatakan kompeten akan pergi ke ruang sidang yang berpotensi menyusutkan nyali. Mereka dipaksa merespons pertanyaan-pertanyaan yang diajukan baik dari jaksa maupun pengacara pembela. Tidak terhindarkan, mereka juga akan bertatapan muka dengan pelaku yang sebelumnya mungkin telah melontarkan ancaman untuk tutup mulut. Kendati si pelaku akhirnya digiring ke penjara, efek yang pasti dari persidangan adalah trauma yang tidak segera pupus. Bagi Nina, selama itu terjadi pada anak orang lain, tidak menjadi urusannya. Yang penting ia telah bekerja keras memastikan sistem peradilan berjalan dengan baik.
"Sebagai   jaksa tanggung jawabku benar-benar berbeda. Aku harus mengusahakan  keadilan  sebaik mungkin untuk masing-masing anak, dan itulah yang  kulakukan. Hal-hal  lain yang terjadi di luar ruang sidang adalah urusan  orangtua mereka, bukan  aku.... Kalau seorang ibu tidak menerima  keputusan pengadilan dan menembak si  pelaku, itu tidak ada hubungannya  denganku, " demikian yang diyakini Nina.
Suatu  hari  Nathaniel, anak semata wayangnya yang berusia lima tahun dan  memiliki sedikit  kendala dalam berbicara, mengalami pelecehan seksual.  Apa yang disaksikan Nina  selama bekerja sebagai jaksa penuntut kontan  (dan sebelumnya pengacara pembela)  menghantui pikirannya. Ia langsung  membayangkan tekanan seperti apa yang akan mengganjar  putranya demi  mendapatkan keadilan. 
Menjadi   tidak mudah karena Nathaniel mendadak mogok bicara. Padahal,  membutuhkan nama  pelaku agar kasus bisa dipengadilankan. Nina  memutuskan mengajari Nathaniel American Sign Language  (Bahasa Isyarat  Amerika). Celakanya, kesalahpahaman tidak terelakkan.  Caleb, suami Nina dan  ayah Nathaniel, seorang pengrajin batu, menjadi  tersangka. Caleb dipaksa  menjauhi keluarganya yang sedang terguncang.  Kesalahpahaman itu tidak sempat berlarut-larut,  karena kemudian, masih  dalam kebisuannya, Nathaniel mengindikasikan Pastur  Szyszynski atau  Bapa Glen sebagai pelaku. 
"Tapi  pada  suatu hari, aku bukan hanya seorang jaksa. Aku adalah orangtua.  Dan semuanya  tergantung padaku untuk mengambil setiap langkah guna  memastikan anakku aman,  tak peduli yang lain," Nina beralasan.  Maka,   ia pun menyusun rencana untuk mencegah Nathaniel menjadi bulan-bulanan  di ruang  sidang. Pada sidang penuntutan yang pertama kali menghadirkan  Bapa Glen, Nina  memastikan tersangka tidak meninggalkan ruang sidang  dalam keadaan hidup.  Sebagai jaksa yang dikenal pekerja gedung  pengadilan tidak sulit bagi Nina  untuk membawa masuk pistol ke ruang  sidang. Empat kali pelatuk ditarik, Bapa  Glen tewas dengan kepala  berantakan. 
Sekalipun   sempat tebersit di benak Caleb keinginan membunuh penganiaya  Nathaniel, ia  tidak pernah berniat balas dendam. Caleb percaya  pengadilan akan memberi  hukuman yang layak bagi tersangka sehingga  tidak bisa menolerir tindakan istrinya.  Nina tidak sependapat.  Menurutnya yang  akan terjadi:  "Tidak  setimpal. Tidak ada  hukuman yang bisa dijatuhkan hakim yang bisa  menebus perbuatannya... Aku  melakukan apa yang ingin dilakukan setiap  orangtua. Aku hanya perlu bersikap  cukup gila supaya bisa lolos dari  hukuman." (hlm. 223). Dua opsi  dipertimbangkan pihak Nina untuk  pembelaan: ketidakwarasan atau amarah tak  terkendali karena  terprovokasi keadaan. Nina dan pengacaranya berharap  pembelaan ini akan  mengukuhkan tindakan kriminal yang dilakukan Nina sebagai  pembunuhan  tidak direncanakan. 
Tewasnya  Bapa  Glen tidak menghentikan pemeriksaan DNA sampel darah dan sperma  yang ditemukan  di celana dalam Nathaniel. Kesimpulannya mengejutkan,  Bapa Glen bukanlah pelaku  pelecehan seksual seperti yang disangka.Hal  ini berarti pelakunya masih hidup dan  Nina telah membunuh orang yang  tidak bersalah. Pengungkapan itu tidak saja  menggugat moral Nina yang  merasa telah melakukan yang terbaik untuk anaknya.  Tetapi juga  mengarahkan keluarganya pada kehancuran gigantis. Caleb sama sekali   tidak mau membenarkan tindakan istrinya. 
Perfect  Match (Pasangan Sempurna) adalah sebuah  novel thriller  dunia hukum yang  diramu dengan drama keluarga yang sentimentil. Jodi  Picoult menyorongkan perenungan  mengenai moralitas dari tindakan yang  disebabkan oleh penarikan kesimpulan yang  gegabah. Apakah pembunuhan  yang dilakukan orangtua sebagai proteksi atas kemungkinan  trauma karena  pelecehan seksual yang dialami anaknya bisa dibenarkan? Apakah keadilan   terbaik memang hanya akan diperoleh dengan jalan merampas kehidupan,  dalam hal  ini, pelaku pelecehan seksual?  Ironisnya,  pertanyaan-pertanyaan ini dialamatkan pada seorang ibu sekaligus jaksa  yang mengetahui dengan sangat mendetail mekanisme keadilan yang benar.  Kejadian-kejadian yang kemudian berbiak menurut efek bola  salju dan  benar-benar nyaris merenggut kewarasan Nina mengedukasi pembaca  bahwa:  tindakan main hakim sendiri akan selalu berdampak buruk. 
Tidak  pelak  lagi, novel ini menjadi pameran kepiawaian Picoult sebagai  penutur yang mahir mengaduk-aduk  emosi pembaca. Seolah-olah memiliki  daya tenung, ia menyeret pembaca ke dalam  arus pergolakan emosi setiap  karakter, termasuk si kecil Nathaniel yang  mendapat tempat khusus.  Proses persidangan menjadi bagian paling membius  kendati pengarang  tidak pernah berdiri di tengah-tengah ruang sidang. Ia hanya   mengandalkan pengalaman orang lain, tetapi mampu membuat pembaca  terpasung  ketegangan seperti sedang berada di ruang sidang. Sekaligus  juga ia menggelitik  pembaca dengan sentuhan humor yang menyadarkan  pembaca akan ketidaksimpatikan  terdakwa. Nina kerap kehilangan kontrol,  melupakan kenyataan jika dirinya adalah  terdakwa dan bukan jaksa  penuntut. Pengacaranya harus mengingatkan Nina  manakala di  tengah-tengah persidangan Nina mendadak berdiri dan berteriak:   "Keberatan!" Sikap Nina yang sukar menghargai orang lain kian  mengentalkan  kegelian saat ia bersikeras menyingkirkan pengacaranya dan  menyampaikan sendiri  argumen penutup. 
Tidak  hanya  mahir dalam mengadon perasaan pembaca, pengarang juga memiliki  selektivitas  yang tinggi dalam memilih materi peraut konflik. Saat  perhatian teralihkan ke  pemeriksaan dan analisis forensik, ia menggedor  benak pembaca dengan  mengungkapkan salah satu keajaiban dunia medis.  Saya yakin, tidak banyak  pembaca yang tahu bahwa transplantasi sumsum  tulang yang dilakukan pada  penderita leukemia akut –jika sukses- akan  menyilih darah sekaligus DNA darah  si penderita dengan milik pendonor.  Hal inilah yang digunakan pengarang  memorakporandakan kehidupan tokoh  utamanya sekaligus menajamkan daya sengat  novel ini. 
Pengarang menggulirkan ceritanya dalam plot yang bergerak cepat. Sesudah  klimaks yang  mendebarkan, ia mengeksekusi pamungkas yang memuaskan.  Kejutan yang bagaikan  letupan pistol, menerangjelaskan maksud pemilihan  judul novel. Menyangkut  masalah kriminal, Nina dan Caleb sungguh  merupakan pasangan yang sempurna.
Jika  ada  bagian yang sedikit mengendur, pasti terletak pada kegemaran  pengarang memberi  tempat bagi permasalahan karakter pelengkap. Misalnya  Quentin Brown, jaksa  penuntut dalam kasus Nina, tidak sekadar  dimunculkan dalam ruang sidang. Masa  lalu seputar hubungannya dengan  perempuan setempat yang telah memberikannya  seorang anak juga  ikut-ikutan didedahkan. Kekeliruan kecil tampak pada  informasi mengenai  lama pekerjaan Nina, sempat sekali disebut sepuluh tahun (hlm. 214) sementara pada  bagian-bagian lain disebut tujuh tahun.  
Hampir  lupa.  Novel ini benar-benar mengisahkan cinta yang sangat istimewa:  cinta seorang ibu  kepada anaknya. Oleh karena itu, simaklah percakapan  Nina dan Nathaniel (hlm.  229) di bawah ini sebagai penutup tulisan ini.  
Nathaniel:  Apa yang terbaik setelah cinta? Kau cinta Mason, bukan?
Nina: Ya,  tentu saja.
Nathaniel:  Dan kau cinta Daddy lebih dari itu?
Nina: Ya.
Nathaniel:  Dan kau cinta padaku bahkan lebih dari itu?
Nina: Benar.
Nathaniel:  Jadi apa yang ada setelah itu?
Nina  (setelah berpikir keras): Yang terbaik setelah cinta, adalah menjadi seorang  ibu.
(Untuk Anda ketahui,  Mason adalah anjing milik Nathaniel dan Daddy merupakan panggilan Nathaniel  untuk ayahnya).

 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
0 comments:
Post a Comment