12 February 2012

Perfect Match



Judul: Perfect Match
Pengarang: Jodi Picoult (2002)
Penerjemah: Julanda Tantani
Tebal: 504 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Mei 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Anak-anak yang lain adalah pekerjaanku. Nathaniel adalah hidupku (Nina Frost, hlm. 461).
  




Sudah tujuh tahun Nina Frost bekerja sebagai jaksa penuntut dalam kasus-kasus pelecehan seksual yang dialami anak-anak. Pengalaman mencelikkannya bahwa dalam upaya pencarian keadilan,  anak-anak itu otomatis menjadi pihak yang paling menderita. Bila pelaku tidak mengakui perbuatannya, untuk mendapatkan kejelasan kasus, anak-anak itu akan diminta bersaksi. Sebelum dinyatakan kompeten untuk bersaksi mereka mesti menjalani competency hearing. Dari uji kompetensi ini, mereka bisa dinyatakan tidak kompeten, yang berarti pelaku bisa melenggang bebas. Anak-anak yang dinyatakan kompeten akan pergi ke ruang sidang yang berpotensi menyusutkan nyali. Mereka dipaksa merespons pertanyaan-pertanyaan yang diajukan baik dari jaksa maupun pengacara pembela. Tidak terhindarkan, mereka juga akan bertatapan muka dengan pelaku yang sebelumnya mungkin telah melontarkan ancaman untuk tutup mulut. Kendati si pelaku akhirnya digiring ke penjara, efek yang pasti dari persidangan adalah trauma yang tidak segera pupus. Bagi Nina, selama itu terjadi pada anak orang lain, tidak menjadi urusannya. Yang penting ia telah bekerja keras memastikan sistem peradilan berjalan dengan baik.

"Sebagai jaksa tanggung jawabku benar-benar berbeda. Aku harus mengusahakan keadilan sebaik mungkin untuk masing-masing anak, dan itulah yang kulakukan. Hal-hal lain yang terjadi di luar ruang sidang adalah urusan orangtua mereka, bukan aku.... Kalau seorang ibu tidak menerima keputusan pengadilan dan menembak si pelaku, itu tidak ada hubungannya denganku, " demikian yang diyakini Nina.

Suatu hari Nathaniel, anak semata wayangnya yang berusia lima tahun dan memiliki sedikit kendala dalam berbicara, mengalami pelecehan seksual. Apa yang disaksikan Nina selama bekerja sebagai jaksa penuntut kontan (dan sebelumnya pengacara pembela) menghantui pikirannya. Ia langsung membayangkan tekanan seperti apa yang akan mengganjar putranya demi mendapatkan keadilan.

Menjadi tidak mudah karena Nathaniel mendadak mogok bicara. Padahal, membutuhkan nama pelaku agar kasus bisa dipengadilankan. Nina memutuskan mengajari Nathaniel American Sign Language (Bahasa Isyarat Amerika). Celakanya, kesalahpahaman tidak terelakkan. Caleb, suami Nina dan ayah Nathaniel, seorang pengrajin batu, menjadi tersangka. Caleb dipaksa menjauhi keluarganya yang sedang terguncang. Kesalahpahaman itu tidak sempat berlarut-larut, karena kemudian, masih dalam kebisuannya, Nathaniel mengindikasikan Pastur Szyszynski atau Bapa Glen sebagai pelaku.

"Tapi pada suatu hari, aku bukan hanya seorang jaksa. Aku adalah orangtua. Dan semuanya tergantung padaku untuk mengambil setiap langkah guna memastikan anakku aman, tak peduli yang lain," Nina beralasan.  Maka, ia pun menyusun rencana untuk mencegah Nathaniel menjadi bulan-bulanan di ruang sidang. Pada sidang penuntutan yang pertama kali menghadirkan Bapa Glen, Nina memastikan tersangka tidak meninggalkan ruang sidang dalam keadaan hidup. Sebagai jaksa yang dikenal pekerja gedung pengadilan tidak sulit bagi Nina untuk membawa masuk pistol ke ruang sidang. Empat kali pelatuk ditarik, Bapa Glen tewas dengan kepala berantakan.

Sekalipun sempat tebersit di benak Caleb keinginan membunuh penganiaya Nathaniel, ia tidak pernah berniat balas dendam. Caleb percaya pengadilan akan memberi hukuman yang layak bagi tersangka sehingga tidak bisa menolerir tindakan istrinya. Nina tidak sependapat.  Menurutnya yang akan terjadi:  "Tidak setimpal. Tidak ada hukuman yang bisa dijatuhkan hakim yang bisa menebus perbuatannya... Aku melakukan apa yang ingin dilakukan setiap orangtua. Aku hanya perlu bersikap cukup gila supaya bisa lolos dari hukuman." (hlm. 223). Dua opsi dipertimbangkan pihak Nina untuk pembelaan: ketidakwarasan atau amarah tak terkendali karena terprovokasi keadaan. Nina dan pengacaranya berharap pembelaan ini akan mengukuhkan tindakan kriminal yang dilakukan Nina sebagai pembunuhan tidak direncanakan.

Tewasnya Bapa Glen tidak menghentikan pemeriksaan DNA sampel darah dan sperma yang ditemukan di celana dalam Nathaniel. Kesimpulannya mengejutkan, Bapa Glen bukanlah pelaku pelecehan seksual seperti yang disangka.Hal ini berarti pelakunya masih hidup dan Nina telah membunuh orang yang tidak bersalah. Pengungkapan itu tidak saja menggugat moral Nina yang merasa telah melakukan yang terbaik untuk anaknya. Tetapi juga mengarahkan keluarganya pada kehancuran gigantis. Caleb sama sekali tidak mau membenarkan tindakan istrinya.

Perfect Match (Pasangan Sempurna) adalah sebuah novel thriller dunia hukum yang diramu dengan drama keluarga yang sentimentil. Jodi Picoult menyorongkan perenungan mengenai moralitas dari tindakan yang disebabkan oleh penarikan kesimpulan yang gegabah. Apakah pembunuhan yang dilakukan orangtua sebagai proteksi atas kemungkinan trauma karena pelecehan seksual yang dialami anaknya bisa dibenarkan? Apakah keadilan terbaik memang hanya akan diperoleh dengan jalan merampas kehidupan, dalam hal ini, pelaku pelecehan seksual?  Ironisnya, pertanyaan-pertanyaan ini dialamatkan pada seorang ibu sekaligus jaksa yang mengetahui dengan sangat mendetail mekanisme keadilan yang benar. Kejadian-kejadian yang kemudian berbiak menurut efek bola salju dan benar-benar nyaris merenggut kewarasan Nina mengedukasi pembaca bahwa: tindakan main hakim sendiri akan selalu berdampak buruk.

Tidak pelak lagi, novel ini menjadi pameran kepiawaian Picoult sebagai penutur yang mahir mengaduk-aduk emosi pembaca. Seolah-olah memiliki daya tenung, ia menyeret pembaca ke dalam arus pergolakan emosi setiap karakter, termasuk si kecil Nathaniel yang mendapat tempat khusus. Proses persidangan menjadi bagian paling membius kendati pengarang tidak pernah berdiri di tengah-tengah ruang sidang. Ia hanya mengandalkan pengalaman orang lain, tetapi mampu membuat pembaca terpasung ketegangan seperti sedang berada di ruang sidang. Sekaligus juga ia menggelitik pembaca dengan sentuhan humor yang menyadarkan pembaca akan ketidaksimpatikan terdakwa. Nina kerap kehilangan kontrol, melupakan kenyataan jika dirinya adalah terdakwa dan bukan jaksa penuntut. Pengacaranya harus mengingatkan Nina manakala di tengah-tengah persidangan Nina mendadak berdiri dan berteriak: "Keberatan!" Sikap Nina yang sukar menghargai orang lain kian mengentalkan kegelian saat ia bersikeras menyingkirkan pengacaranya dan menyampaikan sendiri argumen penutup.

Tidak hanya mahir dalam mengadon perasaan pembaca, pengarang juga memiliki selektivitas yang tinggi dalam memilih materi peraut konflik. Saat perhatian teralihkan ke pemeriksaan dan analisis forensik, ia menggedor benak pembaca dengan mengungkapkan salah satu keajaiban dunia medis. Saya yakin, tidak banyak pembaca yang tahu bahwa transplantasi sumsum tulang yang dilakukan pada penderita leukemia akut –jika sukses- akan menyilih darah sekaligus DNA darah si penderita dengan milik pendonor. Hal inilah yang digunakan pengarang memorakporandakan kehidupan tokoh utamanya sekaligus menajamkan daya sengat novel ini.

Pengarang menggulirkan ceritanya dalam plot yang bergerak cepat. Sesudah klimaks yang mendebarkan, ia mengeksekusi pamungkas yang memuaskan. Kejutan yang bagaikan letupan pistol, menerangjelaskan maksud pemilihan judul novel. Menyangkut masalah kriminal, Nina dan Caleb sungguh merupakan pasangan yang sempurna.

Jika ada bagian yang sedikit mengendur, pasti terletak pada kegemaran pengarang memberi tempat bagi permasalahan karakter pelengkap. Misalnya Quentin Brown, jaksa penuntut dalam kasus Nina, tidak sekadar dimunculkan dalam ruang sidang. Masa lalu seputar hubungannya dengan perempuan setempat yang telah memberikannya seorang anak juga ikut-ikutan didedahkan. Kekeliruan kecil tampak pada informasi mengenai lama pekerjaan Nina, sempat sekali disebut sepuluh tahun (hlm. 214) sementara pada bagian-bagian lain disebut tujuh tahun.

Hampir lupa. Novel ini benar-benar mengisahkan cinta yang sangat istimewa: cinta seorang ibu kepada anaknya. Oleh karena itu, simaklah percakapan Nina dan Nathaniel (hlm. 229) di bawah ini sebagai penutup tulisan ini.

Nathaniel: Apa yang terbaik setelah cinta? Kau cinta Mason, bukan?
Nina: Ya, tentu saja.
Nathaniel: Dan kau cinta Daddy lebih dari itu?
Nina: Ya.
Nathaniel: Dan kau cinta padaku bahkan lebih dari itu?
Nina: Benar.
Nathaniel: Jadi apa yang ada setelah itu?
Nina (setelah berpikir keras): Yang terbaik setelah cinta, adalah menjadi seorang ibu.

(Untuk Anda ketahui, Mason adalah anjing milik Nathaniel dan Daddy merupakan panggilan Nathaniel untuk ayahnya).

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan