Judul: Nel    
Penulis:  Dalih Sembiring
Tebal: 161 halaman
Tebal: 161 halaman
Cetakan: 1, 2009
Penerbit: Pink Ink Publisher
  
Nel merupakan novel perdana bertema dewasa dari penulis muda Dalih Sembiring. Sebelumnya, ia telah menulis cerpen-cerpen yang dipublikasikan di media seperti Jurnal ON/OFF, Horison, Jurnal Cerita Pendek Indonesia, dan The Jakarta Post. Dalih menyumbang cerpen Sebuah Ruangan Berdinding Abu-abu dalam antologi cerpen LGBT Rahasia Bulan (Gramedia, 2006). Dalam perjalanan kepenulisannya, bersama Abmi Handayani, ia telah menerbitkan novel remaja berjudul Cha untuk Chayang (Maret, 2007). Nel pertama kali disinggung ketika fragmennya yang berjudul Ilham dimuat di Jurnal ON/OFF pada Mei 2005. Disebutkan bahwa Nel yang sedang ditulis Dalih adalah sebuah novel semi autobiografis.
Membaca cerpen-cerpen penulis yang juga telah menulis naskah film berjudul Kado Hari Jadi (disutradarai Paul Agusta) ini, saya melihat bakat yang belum banyak terekspos dalam dunia sastra Indonesia. Sehingga, ketika bertemu Dalih di Yogya suatu kali, saya sempat menanyakan nasib novelnya yang belum rampung. Tentu saja saya gembira ketika akhirnya menerima kabar kalau Nel berhasil dituntaskan. Novel bertema homoseksualitas ini akhirnya diterbitkan pada Mei 2009 oleh Pink Ink Publisher yang memiliki misi menyediakan bacaan bertema LGBT yang berkualitas.
Penerbit: Pink Ink Publisher
Nel merupakan novel perdana bertema dewasa dari penulis muda Dalih Sembiring. Sebelumnya, ia telah menulis cerpen-cerpen yang dipublikasikan di media seperti Jurnal ON/OFF, Horison, Jurnal Cerita Pendek Indonesia, dan The Jakarta Post. Dalih menyumbang cerpen Sebuah Ruangan Berdinding Abu-abu dalam antologi cerpen LGBT Rahasia Bulan (Gramedia, 2006). Dalam perjalanan kepenulisannya, bersama Abmi Handayani, ia telah menerbitkan novel remaja berjudul Cha untuk Chayang (Maret, 2007). Nel pertama kali disinggung ketika fragmennya yang berjudul Ilham dimuat di Jurnal ON/OFF pada Mei 2005. Disebutkan bahwa Nel yang sedang ditulis Dalih adalah sebuah novel semi autobiografis.
Membaca cerpen-cerpen penulis yang juga telah menulis naskah film berjudul Kado Hari Jadi (disutradarai Paul Agusta) ini, saya melihat bakat yang belum banyak terekspos dalam dunia sastra Indonesia. Sehingga, ketika bertemu Dalih di Yogya suatu kali, saya sempat menanyakan nasib novelnya yang belum rampung. Tentu saja saya gembira ketika akhirnya menerima kabar kalau Nel berhasil dituntaskan. Novel bertema homoseksualitas ini akhirnya diterbitkan pada Mei 2009 oleh Pink Ink Publisher yang memiliki misi menyediakan bacaan bertema LGBT yang berkualitas.
Pada
 awal novel, Dalih menyorongkan kepada pembaca kisah seorang gadis 
bernama Vian yang sedang bersedih. Ia harus berpisah dengan  lelaki yang
 ia cintai, Daniel Sebayang atau Nel. Vian menghadapi kenyataan getir: mencintai  seorang lelaki yang pernah mencintai dua  laki-laki sebelumnya.
 Dua lelaki yang merongrong jalinan cintanya dengan  teman sekelas di 
Arsitektur UGM ini. Bahkan dengan telak sanggup merenggut sang kekasih dari sisinya.
Lelaki pertama bernama Ilham. Dalam diri teman masa kecil di Binjai inilah Nel memastikan orientasi seksualnya. Cinta sejenis tumbuh hingga masa remaja menyapa. Kendati mesti berpisah 3 tahun karena Nel mengikuti ayahnya yang melanjutkan studi di Canberra (Australia), cinta di antara mereka tidak merenggang. Upaya Ilham untuk memacari perempuan tidak bisa menggusah rasa yang sudah ditanamkan. Sayangnya, sebelum Nel menyatakan cinta, pada 29 Juni 2001, Ilham dirampas dari sisinya karena tewas dalam sebuah kecelakaan.
Lelaki pertama bernama Ilham. Dalam diri teman masa kecil di Binjai inilah Nel memastikan orientasi seksualnya. Cinta sejenis tumbuh hingga masa remaja menyapa. Kendati mesti berpisah 3 tahun karena Nel mengikuti ayahnya yang melanjutkan studi di Canberra (Australia), cinta di antara mereka tidak merenggang. Upaya Ilham untuk memacari perempuan tidak bisa menggusah rasa yang sudah ditanamkan. Sayangnya, sebelum Nel menyatakan cinta, pada 29 Juni 2001, Ilham dirampas dari sisinya karena tewas dalam sebuah kecelakaan.
Pada
 September 2002, Nel yang telah bermukim di Yogya dengan  keluarganya, 
kembali ke kota kelahirannya, Binjai. Tujuan Nel tidak lain adalah  
untuk berziarah ke makam kekasihnya. Di Binjai, Nel juga akan berjumpa 
Elis,  perempuan yang dikenalnya di Australia. Elis telah menerima 
undangan Nel, dan  akan datang bersama Shane, lelaki bule yang sudah 6 
tahun hidup bersama  dengannya. Perempuan berdarah Manado ini telah 
tergiur dengan kabar Nel tentang  durian dan mawas. 
Dalam
 perjalanan menuju Binjai, di atas Kapal Sinabung, Nel  bertemu lelaki 
misterius yang memperkenalkan diri sebagai Aryo. Anehnya, Aryo  
tampaknya telah mengenal Nel. Aryo yang mengaku sebagai lulusan States 
konon  punya urusan di Medan. Pilihan Aryo untuk menumpang Sinabung 
tidak mengusik  benak Nel: betapa seorang yang mengaku lulusan States 
dan tampaknya punya bisnis  meraup rupiah mau berlelah-lelah di kelas 
ekonomi sebuah kapal laut. Karenanya Nel 
bingung, ketika tiba di Batam,  Aryo mendadak meninggalkannya. Tapi tak
 diragukan lagi, Aryo menjadi lelaki  kedua yang berhasil membuat Nel 
mencampakkan Vian. 
Tujuan
 Nel ke Binjai pun tercapai. Ia bisa menyambangi makam  Ilham. Hanya saja, 
kedatangannya di kota ini mengundang Ilham dalam mimpinya.  Pada salah satu mimpi, Ilham berkata: "Pilihannya
  cuma dua, Nel. Kau yang mati, atau aku. Kau dan aku sudah berbuat 
terlalu jauh.  Bukan, bukan karena kita sama-sama laki-laki. Kematian 
adalah satu-satunya cara  menebus ketidakpahaman kita, sementara kita 
paham bahwa kita laki-laki." Nel sama sekali tidak 
bisa menafsirkan  mimpinya. Dan mimpi seakan tidak mau bersudah, bahkan 
setelah Elis dan Shane  yang sudah tiga tahun tak bersua menjejak 
Binjai. Dalam perjalanan dengan kedua  sahabatnya menuju Bukit Lawang, 
Ilham menyelip dalam mimpi Nel, mengangsurkan teka-teki kematiannya. Apa
 sebenarnya yang hendak disampaikan Ilham lewat mimpi Nel? Apa 
maksud Ilham dengan ucapan-ucapannya yang berkisar pada dua  kata: payudara dan ketidakpahaman? Mungkinkah mimpi itu hanyalah  kembang tidur yang tidak bermakna apa-apa? 
Masih
 di Bukit Lawang, Nel mendapat  kabar jika Gurung, kakeknya, masuk rumah
 sakit. Begitu menerima kabar itu,  tanpa pikir panjang, Nel ngotot 
kembali ke Binjai. SMS seseorang bernama Mageng  Sadewa mencoba 
mengurungkan niat Nel. Saat itu, Binjai memang tengah dilanda  
ketegangan. Kerusuhan dipantik kalangan yang seharusnya menjaga 
keamanan:  polisi dan tentara. Belum lagi kasus perusakan rumah keluarga
Tionghoa yang  berpotensi membakar situasi. Tapi, siapa sebenarnya Mageng
 Sadewa yang  kelihatannya diam-diam membuntuti perjalanan Nel? Jati 
diri Mageng Sadewa baru  menjadi jelas ketika hari berikutnya Nel dan 
kedua sahabatnya memutuskan  kembali ke Binjai. Pada penghujung 
perjalanan mengundang maut itu, Nel akhirnya  menyaksikan jika mimpinya 
tidak hanya sekadar kembang tidur. Ia mendapatkan jawaban  teka-teki 
Ilham. Dan mesti menerima pesan lelaki pertamanya itu,  "Kisahku telah digenapi, Nel. Bukan  kisahmu. Kau harus hidup untuk meneruskan ceritamu sendiri."  Di
 dalam kehidupan itu, Aryo telah menanti,  dengan cinta yang penuh 
ketidakpastian, namun sanggup menggeser sekuntum  teratai putih nan 
cantik.
Novel
 ini merupakan pembuktian kemampuan estetika Dalih  Sembiring sebagai 
pencerita. Saya suka banyak rangkaian kalimatnya yang diuntai  dengan 
indah. Kosakatanya terasa kaya, tetapi selektif. Simak guratan Dalih  
seperti berikut: 
"Bahtera Sinabung terbebat gelap pekat seperti seekor sotong raksasa yang kehilangan pigmennya setelah menyemprotkan tinta hitam ke sekitar." Atau "Mereka menyaksikan matahari merayap naik mengutuhkan bulatannya di atas horison. Cahayanya kuning lemon dan laut beriak runtut. Langit tersapu awan kabu-kabu seperti selendang flanel putih yang robek belasan perca. "
"Bahtera Sinabung terbebat gelap pekat seperti seekor sotong raksasa yang kehilangan pigmennya setelah menyemprotkan tinta hitam ke sekitar." Atau "Mereka menyaksikan matahari merayap naik mengutuhkan bulatannya di atas horison. Cahayanya kuning lemon dan laut beriak runtut. Langit tersapu awan kabu-kabu seperti selendang flanel putih yang robek belasan perca. "
Simak pula keelokan Dalih merangkai kalimat  berikut  ini: "Bahwa
 makhluk paling indah yang pernah  diciptakan masih ada di bumi. Ia 
hadir berulang kali dalam wujud dan anasir  apapun, namun kini ia punya 
nama: candu, cemburu, cinta, coba, cura. Kau tak  dapat memilih kapan ia
 datang. Dan saat benar ia datang, cobalah untuk tidak  buru-buru 
menampiknya. Bila akal telah tunduk, segenap rasamu telah takluk,  
rengkuh dia di dada, jadikan bagian yang baru dari sebelah hatimu."
Pada
 banyak bagian, kita akan  menemukan kecanggihan Dalih berbahasa. 
Termasuk dalam menarasikan riwayat  seseorang. Perhatian saya terbetot 
pada kisah hidup Alicia Martina Litaray.  Diam-diam, Elis yang begitu 
terbuka dan bebas, menyimpan masa lalu yang kelam sebagai pengidap sindroma Capgras. Sindroma yang 
pertama  kali didiagnosis pada tahun 1920 di Prancis ini membuat Elis 
memandang kedua  orangtuanya sebagai duplikat orangtuanya yang sejati. 
Jujur, saya belum pernah membaca  kasus sindroma Capgras dalam 
sejarah penyakit di Indonesia. Namun seperti  beberapa kasus yang pernah
 terjadi di Barat, kasus sejenis mungkin saja terjadi  di sini. Bisa 
dikatakan, Dalih berhasil menjabarkan pergumulan pikiran  penderita 
sindroma ini dengan tangkas dan memberikan efek yang menggetarkan.  
Sayangnya, ide brilian ini hanya mengambil tempat di masa lalu Elis. 
Apakah di  masa kini Elis akhirnya pulih? Oh, tentu saja saya 
menyangsikan. Karenanya,  saya membayangkan sindroma ini akan membuat 
hubungan Elis dan Shane  tercabik-cabik saat mereka berada di Binjai. 
Saya mengira Dalih akan  melakukannya manakala ia menyampaikan bahwa 
sejak kedatangan di Binjai pasangan  itu lebih banyak diam. Tapi ternyata perkiraan saya meleset. Mungkin karena masalah Elis memang bukan  topik utama yang hendak disampaikan. Namun, karena kadung diangkat, kenapa tidak  dibeber lebih 
tanpa menjuruskan novel ini pada genre thriller?
Dalam
 bertutur Dalih dengan bebas berganti-ganti  perspektif, yang 
kadang-kadang terkesan 'blur', kendati tidak membuat bingung.  Kerap 
sedang menggunakan perspektif orang ketiga, Dalih bermain-main dengan  
orang pertama. Kadang juga ia menggunakan perspektif orang kedua, 
seolah-olah ia  sendiri sedang berbicara pada pembaca. Alhasil, apa yang
disampaikan Dalih  tersaji lebih menarik, tidak monoton dan 
pembaca tetap bisa mengikuti plotnya. 
Untuk
 menggulirkan plot, Dalih tidak  hanya mengandalkan teknik penulisan 
konvensional. Ia pun tak segan menggunakan bentuk  penulisan skenario ketika mengungkapkan penyebab dan terjadinya kerusuhan di  Binjai. Hal 
ini bisa dipandang sebagai cara untuk berkelit dari potensi  terjadinya 
lanturan. Sebab, dengan menggunakan teknik penulisan konvensional,  
kemungkinan Dalih akan terlalu mengalihkan konsentrasi pembaca terhadap 
cerita  utama -meskipun dampak kerusuhan ini membuat Nel memahami arti 
pesan Ilham  dalam mimpi-mimpinya. Bentuk penulisan skenario yang 
diimbuhkan dalam novel bukanlah  hal baru. Clara Ng pernah menggunakan gaya
 yang sama pada beberapa bagian novelnya  yang bertajuk The Un(Reality) Show (Gramedia, 2005). Demikian juga  penyajian isi chatting antara Nel dan Vian yang digunakan Dalih pada penghujung  novel, sudah banyak diterapkan dalam novel-novel Indonesia. 
Tema
 utama novel ini sudah jelas:  homoseksualitas. Namun perlu dicatat: 
Dalih tidak jalan di tempat. Ia tidak menyampaikan  kisah stereotipikal laki-laki homoseks yang acap dikemukakan, bermasalah dengan  keluarga dan 
penerimaannya di tengah masyarakat. Bagi Dalih, hubungan cinta  
homoseksual bukanlah sesuatu yang harus dijadikan beban. Sama wajarnya 
dengan  cinta heteroseksual, dengan batasan-batasan yang sama. Dalih 
juga meninggalkan kisah cinta sejenis yang menggebu-gebu. Kecuali 
identifikasi orientasi seksual  antara Nel dan Ilham pada masa kecil 
mereka yang dibentangkan pada bagian  berjudul Ilham (yang juga dimuat dalam jurnal ON/OFF, Cinta  Pertama:  Kisah Pramoedya, Remaja dan  Homoseksual),
 Dalih tidak menghidangkan sajian seks tak penting yang  
berkesinambungan di sekujur novel. Bagaimanapun, tidak semua pembaca 
bisa menikmati  eksplorasi aktivitas seksual dalam karya fiksi: hetero 
atau homo. Saya kira,  Dalih sangat menyadari hal ini.

 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
0 comments:
Post a Comment