12 February 2012

Tanah Tabu


Judul Buku: Tanah Tabu
Pengarang: Anindita S. Thayf
Tebal: 240 hlm; 18 cm
Cetakan: 1, Mei 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama






Anindita Siswanto Thayf berhasil menyingkirkan semua pesaingnya dalam Sayembara Menulis Novel DKJ 2008 dengan novelnya yang bertajuk Tanah Tabu. Ia mencatat kemenangan yang mengesankan karena bertengger sendiri di daftar pemenang, tak tersandingi pengarang lain. Hal ini tentu saja membuat pembaca tertantang mengulik berbagai segi yang membuat Tanah Tabu layak diganjar predikat bergengsi itu.

Tanah Tabu yang dimaksud pengarang adalah Papua. Menurut sang pengarang, Pulau Kepala Burung ini diciptakan Tuhan untuk penduduk asli (Komen) yang diandalkan menjaga kelestarian ciptaan-Nya. Sejak dulu, nenek moyang masyarakat Papua telah berkomitmen dengan alam. Mereka hidup sederhana, mengambil seperlunya dari alam dan mengembalikan sisanya untuk disimpan sebagai warisan bagi anak cucu. Keperawanan alam Papua yang penuh pesona mampu membuat yang hidup di dalamnya merasa sedang berada dalam taman surga dan menikmati asimilasi berbagai warna alam.

"Aku teringat suatu waktu pada masa lampau manakala semua warna itu menjadi satu dalam latar hijau yang teduh dan biru yang cerah; cenderawasih kuning kecil, kakaktua jambul merah, bunga keris berbatang ungu, ikan arwana bersirip jingga, anggrek hutan berkelopak hitam, dan buah raksasa berkulit merah, bahkan sekelompok buaya berkulit hijau zamrud yang sangat memesona. Semua bertumbuh dan bergerak dinamis di tengah alam yang masih liar. Begitu segar. Penuh pesona dan daya hidup,"  kenang Pum, narator pertama yang dikenalkan pengarang. "Sempat pula kuyakin keindahan itu bakal abadi. Terjaga rasa cinta dan syukur yang besar pada karya Sang Pencipta yang tiada banding. Terlindungi mimpi-mimpi sederhana dan tidak muluk tentang kehidupan. Namun ternyata aku salah."  

Kedatangan orang asing merusak komitmen yang dijaga ketat. Kelestariannya terancam ketika dieksploitasi untuk mendapatkan emas, harta yang tak bisa dicicipi nikmatnya dengan enteng oleh pribumi. Di tanah leluhur mereka, banyak Komen hidup sengsara, sementara para pendatang menancapkan taring otoritas dan memanipulasi kebodohan warga. Taman surga dan warna-warni cantik yang berpadu serasi pupus. Pum hanya bisa menikmati warna-warna itu pada pakaian yang dijemur tetangga dan bendera-bendera partai yang semarak saat pilkada berlangsung.

Sepanjang hidup, Pum hidup bersama Mabel (Mama Anabel), seorang perempuan Komen. Mabel memiliki perjalanan hidup yang tidak biasa. Dilahirkan di Lembah Baliem tahun 1946 sebagai putri suku Dani, pada usia 8 tahun Mabel meninggalkan kampungnya. Ia menjadi anak piaraan keluarga Belanda yang saat itu masih bercokol di tanah Papua. Sayangnya, walau cerdas Mabel tidak beroleh kesempatan mengenyam pendidikan formal. Ketika keluarga Belanda kembali ke negerinya, Mabel berakhir di Timika. Dua kali menikah, yang terakhir bubar gara-gara perusahaan emas,  Mabel memutuskan hidup hanya bersama putranya, Johanis, dan Pum, anjingnya. Ironisnya, untuk bisa menetap di Timika, Mabel yang adalah penduduk asli Papua, mesti menyewa rumah kepada seorang pendatang.

Di rumah sewaan itu suatu hari, datang Lisbeth, seorang perempuan kampung. Lisbeth membawa seorang anak laki-laki 3 tahun dan seekor babi di dalam noken, serta calon bayi dalam rahimnya.  Mabel menerima Lisbeth (Mace), menyertai perempuan itu ketika kehilangan anak laki-lakinya dan melahirkan Leksi, seorang anak perempuan.

Hidup mereka sama sekali tidak diracik dari susu dan madu. Baik Mabel maupun Mace mesti bekerja keras untuk menghidupi keluarga. Di dalam kemiskinan, Mabel tidak ingin Leksi terkungkung kebodohan. Leksi harus bersekolah, sekalipun untuk membiayainya, Mabel harus membanting tulang di kebun sewaannya. Maka, ketika perusahaan emas berjanji memborong hasil kebunnya, Mabel sangat antusias. Sayangnya, hanya sekali membeli, perusahan emas itu pun mangkir.

Dikecewakan oleh perusahaan emas, tak membuat Mabel putus asa. Bahkan, ketika ide demo dicetuskan sesama penjual sayur, Mabel tidak lantas bersetuju. Bukan berarti Mabel penakut. Namun, baginya, segala tindakan harus dipertimbangkan, untuk tidak merugikan orang lain.

Tidak hanya menghadapi amarah warga yang haus demo, Mabel juga harus berhadapan dengan sesama Komen yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri dan senang membohongi warga lainnya. Sayangnya, tidak semua Komen berpihak kepadanya. Kenyataan ini memaksa Mabel kembali merasakan trauma masa lalu yang belum lagi hilang dari kenangannya. Trauma kepada arogansi militer yang juga sekian lama menghuni ceruk terdalam benak Mace.

Selain Pum yang diperkenalkan sebagai narator pertama, untuk melengkapi seluruh kisah dalam novel ini, pengarang menambahkan dua narator -Kwee dan Leksi (Aku). Jika sejak awal Kwee telah memberitahu pembaca bahwa Pum adalah seekor anjing tua (hlm. 12), identitas Kwee baru terungkap pada halaman terakhir novel. Meskipun begitu, pembaca sudah bisa memastikan jika Kwee seekor hewan. Yang jelas, baik Pum maupun Kwee, adalah hewan-hewan yang dekat dengan kehidupan masyarakat Papua, terkadang bahkan seperti bagian dari keluarga. Pum, sepanjang hidupnya, tinggal bersama Mabel, bahkan ketika Mabel meninggalkan Lembah Baliem dan berpindah-pindah kota (dan naik pesawat terbang?),  sedangkan Kwee, sepanjang hidupnya, dekat dengan Mace.

Dari perspektif kedua hewan yang tidak akur inilah kisah hidup perempuan tiga generasi–Mabel, Mace, dan Leksi, dikupas tuntas. Tidak aneh, mengingat mereka menjadi saksi perjuangan hidup keluarga Mabel. Tampil memukau, tapi menimbulkan sangsi. Pengarang sama sekali tak mempertimbangkan umur kedua hewan ini.

Dikisahkan Pum telah hidup berpuluh-puluh tahun dengan Mabel. Padahal, lama hidup anjing tidak setara hidup manusia. Ada pendapat yang mengatakan jika 1 tahun hidup anjing (tahun kalender) setara dengan 7 tahun manusia. Pendapat lebih baru menyatakan umur anjing berukuran sedang pada tahun pertama hidupnya setara dengan 15 tahun manusia, bertambah 9 tahun pada tahun kedua, setelah itu bertambah 5 tahun setiap tahun. Lama hidup anjing dipengaruhi berbagai faktor, antara lain jenis kelamin (betina lebih lama hidup dari jantan) dan ukuran tubuh (ukuran kecil lebih lama hidup dari yang besar). Anjing tertua yang pernah hidup tercatat mencapai usia hingga 27 tahun. Nah, berapa umur Mabel? Berapa umur Pum?

Narator anak kecil yang mengisahkan tidak hanya dunia anak-anak tapi juga dunia orang dewasa bukan hal yang baru. The Famished Road (Ben Okri) dan Bright Angel Time (Martha McPhee) menggunakan anak kecil sebagai narator. Sebagai narator mumayiz, tidak hanya jenaka, Leksi juga seorang anak yang cerdas. Di dalam kepolosan, kecerdasannya merekah manakala menghadapi orang dewasa.

Lewat novel ini, pengarang menyampaikan realitas kehidupan Tanah Papua yang kerap terabaikan. Hal-hal yang secara langsung mempengaruhi keinginan warga Papua termasuk di dalamnya keinginan melepaskan diri dari negara kesatuan RI. Karakter Mabel bagaikan nurani Tanah Papua sendiri yang pedih menyaksikan perutnya dieksploitasi untuk keuntungan orang asing, menyaksikan saudara sesama Papua menjual tanah tabu agar bisa hidup lebih eksklusif dari warga lain, dan menyaksikan emas di tanah leluhurnya digerogot namun masih banyak warga Papua hidup dalam kemiskinan.

Di tanah nenek moyangnya sendiri, orang Papua masih hidup dalam penjajahan. Yang menyedihkan, bukan hanya dijajah orang asing yang memandang mereka bodoh atau militer yang tak pantang menggunakan tindakan represif. Tapi juga oleh sesama Komen. Perempuan adalah gender paling menderita. Mereka hidup untuk suami serta mengurus anak, kebun, rumah, dan babi. Mereka memangkur sagu agar tempat sagu tetap penuh. Mereka mencari tambahan dana dengan cara membuat noken. Hanya untuk dijajah para suami yang semestinya memberi mereka pengayoman.

"Salah atau benar, perempuan yang selalu menderita," kata Mabel (hlm. 169). "Sejak dulu hingga sekarang nasib perempuan tidak berubah. Mereka terlalu bodoh untuk melawan, dan terlalu takut untuk bersuara. Tertindas di bawah kaki suaminya sendiri. Seumur hidup menjadi budak, hingga kematian datang membebaskan mereka" (hlm. 170). Sebagai perempuan yang paham harkatnya, Mabel memutuskan hidup tanpa suami. Karenanya, ia merasa sengit jika ada perempuan yang menganggap takdirnya harus hidup dalam tindakan represif  lelaki. Dalam hal ini, pengarang menghadirkan Mabel bak seorang feminis tapi tanpa sadar menciptakan bias: seolah-olah semua lelaki Papua bertabiat nista; dari anak-anak hingga dewasa.

Selain posisi perempuan, Mabel juga mengecam perusahaan emas yang telah mengeruk emas Papua tapi mengabaikan kesejahteraan pribumi. Maka, ia tidak menantang ketika seorang warga mencela dengan keras perusahaan emas yang tidak pernah mau mendengar suara Komen (hlm. 172). Karena baginya sendiri, perusahaan emas inilah yang telah membiakkan berbagai masalah di Papua, termasuk perang suku yang berkobar di Timika.

Puncaknya adalah kritik Mabel pada partai politik yang doyan obral janji pada masa pilkada. Begitu terpilih, begitu berkuasa, mereka lupa aspirasi warga, hidup senang di atas penderitaan warga. Kritik Mabel inilah yang bersengkarut dengan dendam kesumat Komen yang dikecamnya dan menggiringnya ke dalam jebak militer.

Bagi Anindita, perjuangan rakyat miskin selalu menemui jalan buntu. Tidak ada pamungkas yang optimis bagi perjuangan hidup mereka. Yang ada dan tersisa hanya satu: mimpi buruk.

Sebagai pengarang dengan track record yang cukup bagus di ajang lomba menulis (sebelumnya masuk daftar pemenang 4 lomba menulis), pantaslah Anindita didaulat sebagai Pemenang 1 Sayembara Menulis Novel DKJ 2008. Selain memilih seting Papua yang langka dimanfaatkan penulis kita, boleh dibilang ia sudah terasah menghasilkan karya yang ditulis dengan baik. Rangkaian kalimatnya lugas namun dikomposisi dengan baik, pada banyak tempat sarat dengan makna yang menggugah. Beberapa istilah Papua dan dialog-dialog berdialek Papua diimbuhkan, tidak sekadar menghidupkan narasi, tapi juga untuk menambah rasa 'percaya' pembaca pada setingnya. 

Mengangkat penderitaan warga Papua, Anindita mengindikasikan diri sebagai penutur kesedihan yang tak kehilangan selera humor. Sebagai contoh, di tengah kesedihan sirnanya keindahan Papua, lewat mata Pum, ia menyinggung penurunan kepercayaan masyarakat pada satu partai. Tetangga Mabel -Helda, bertahun-tahun memakai kaos partai berwarna kuning kendati warga lain telah mengganti pilihan warna. Mendadak, kaos kuning itu lenyap dari jemuran. Ternyata, sudah digunakan Yosi, putri Helda, untuk mengelap kencing adiknya.

Selera humor Anindita terpeleset ketika Mace menanggapi pertanyaan Leksi mengenai alasan Mace tidak menikah lagi (hlm. 46). "Untuk apa kau berharap ada seorang pace kalau hanya tangan ketiganya saja yang bisa bekerja. Sementara dua tangan lainnya yang kelihatan hanya digunakan untuk memegang botol Tomi-tomi atau memukul perempuan."

Tidak ada seks blakblakan di dalam novel etnografis ini. Tidak ada ayat-ayat suci didakwahkan di sini. Anindita menepis kedua elemen yang sering mewarnai dunia fiksi Indonesia ini, sekalipun tidak tertutup peluang baginya untuk menginjeksikan kedua elemen itu ke dalam plot. Boleh dibilang, novel sejenis Saman (Ayu Utami), ompong dalam Sayembara Menulis Novel DKJ 2008. Tahun 2008 adalah tahun realitas etnis sehingga Anindita berhak menyandang kemenangan.

Salah satu tradisi menarik Papua yang diangkat pengarang adalah tradisi membuat noken di kalangan perempuan Papua. Noken adalah tas tradisionil yang dibawa dengan cara digantung di atas kepala. Noken yang bagus dan kuat harus dibuat dari kulit kayu atau pelepah sagu. Di dalam noken inilah perempuan membawa hasil kebun, anak babi, dan anak kecil. Lebih dari itu, noken adalah lambang kedewasaan perempuan Komen. Perempuan yang siap menikah adalah perempuan yang sudah mahir membuat noken. Di dalam novel ini, Mabel menerima permintaan membuat noken dari benang meski ia tahu gampang putus. Sehingga pada akhirnya, bagi Mabel, noken tidak hanya menjadi lambang kematangannya sebagai seorang perempuan, tapi sekaligus sebagai simbol keterpurukannya.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan