12 February 2012

9 dari Nadira


 

Judul Buku: 9 dari Nadira
Pengarang: Leila S. Chudori
Tebal: xi + 270 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Oktober 2009
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)

 



Leila Salikha Chudori dulu dikenal sebagai penulis cerita-cerita remaja tahun 1980-an. Ia telah menghasilkan banyak karya fiksi remaja semisal Seputih Hati Andra, Sebuah Kejutan, dan Kelopak-kelopak yang Berguguran. Setelah itu secara mengejutkan, namanya muncul sebagai cerpenis di koran seperti Kompas dan Suara Pembaruan serta majalah Horison dan Matra dengan tema dan teknik bercerita yang lebih mumpuni dari kisah-kisah remajanya. Lebih matang dan intelektual. Tidak ada nama penulis perempuan yang bisa menandingi pencapaian Leila yang luar biasa. Ia membukukan sejumlah cerpennya dalam kompilasi bertajuk Malam Terakhir (Grafiti, 1989). Usai kumpulan cerpen ini nama Leila nyaris tidak berkibar di dunia perbukuan Indonesia. Kalau tidak salah karyanya pernah disertakan dalam sebuah buku antologi penulis perempuan –saya lupa judulnya. Kemudian tahun 2006 namanya dikenal sebagai penulis drama TV kurang sukses, Dunia Tanpa Koma, yang ditayangkan RCTI.

Tahun 1991, cerpennya yang berjudul Melukis Langit dipublikasikan majalah Matra. Inilah yang menjadi awal terciptanya cerpen-cerpen tentang Nadira yang kemudian dihadirkan dalam buku yang disebut Leila sebagai kumpulan cerpen dengan judul 9 dari Nadira (Oktober, 2009).

Buku kumpulan cerpen ini, seperti judulnya, berisi sembilan cerpen tentang Nadira Suwandi, yang sedikit banyak disandarkan pada kehidupan pribadi Leila sendiri. Seperti Leila, Nadira seorang wartawan majalah berita yang berayah wartawan, bungsu dari tiga bersaudara, pernah bersekolah di Kanada, penulis dengan kehidupan pribadi dan kegemaran setara. Tidak heran Leila bisa menjiwai tokoh Nadira dengan mendalam.

Sambil menyaksikan riak-riak Pedder Bay, selama dua jam Nadira menceritakan sejarah kehidupannya selama 19 tahun, kepada salah satu lelaki yang mencintainya (At Pedder Bay). Setelah lulus kuliah di Kanada, Nadira kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai wartawan di majalah Tera. Ia berhasil mengukir namanya sebagai salah satu wartawan berbakat dengan mewawancarai Presiden Cory Aquino dan seorang psikiater pembunuh sejumlah perempuan paruh baya. Yang terakhir –tentu saja- menjadikannya buah bibir seisi kantor. Ia sukses menonjok si psikiater saking jengkelnya. Mengapa Nadira sampai menonjok orang yang ia wawancara? Karena si psikiater menghina ibunya. Menurutnya, Kemala Yunus –ibu Nadira yang mati akibat bunuh diri- menuntaskan hidupnya karena sudah lelah hidup.

Kematian ibunya memang tidak bisa dipahami Nadira. Secara berulang ia bertanya-tanya: mengapa ibunya memutuskan mati? Memang pada hari kematian ibunya Nadira tidak tersedu-sedu seperti kakak sulungnya, Yu Nina. Ia juga tidak bersimbah air mata seperti Kang Arya. Ia bahkan bertindak pragmatis, mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakaman ibunya. Dan tentu saja, mencari seruni berwarna putih, kembang kesayangan Kemala Yunus (Mencari Seikat Seruni). Ia bukan tidak bersedih, tetapi seperti pengakuannya, ia memiliki kekuatan luar biasa untuk mengunci gudang air matanya.

Atasannya di kantor, Utara Bayu, mencintai Nadira. Sejak Nadira menjadi salah satu wartawan di majalah Tera, ia telah merampas perhatian Tara. Semua orang bisa membaca perasan Tara, tetapi Nadira tidak. Tara tergolong lelaki yang tidak ekspresif, sehingga tidak pernah nyaman mencurahkan perasaannya. Ketika satu ekspresi simpati ditujukannya kepada Nadira dengan menawarkan cuti paska kematian ibunya, Nadira menolak. Ia tidak tahu saking pedulinya, Tara berusaha menemukan tasbih milik Kemala yang Nadira dambakan (Tasbih).

Setelah kepergian ibunya, Nadira yang tinggal serumah dengan ayahnya tidak lagi betah berada di rumah. Ia lebih sering menghabiskan waktunya untuk pekerjaan, bahkan ia tidur di kantor, di kolong meja kerjanya (Melukis Langit). Sepeninggal ibunya, Nadira juga berubah, ia terlalu sibuk dengan tragedi dalam hidupnya (Sebilah Pisau). Hingga akhirnya, Niko Yuliar, lelaki dengan ciuman maut, menyeruak masuk ke dalam hidup Nadira. Ia bangkit dari kolong meja, bersolek, kemudian secara mengejutkan minta cuti untuk menikah. Bagi Nadira, setelah kematian ibunya ia seperti berada dalam kubur, dan Niko telah mengulurkan tangan untuk mengangkatnya. Nadira memutuskan hendak hidup bahagia, menyamakan kegemaran dengan Niko, dan mempersetankan keraguan Arya, kakaknya, soal integritas lelaki yang ia hasrati (Ciuman Terpanjang). Kendati lelaki, Arya memiliki kepekaan yang tajam. Hal sama telah terjadi ketika Nina ingin menikahi seorang koreografer dan penari bernama Gilang Sukma. Akhirnya Nina menceraikan Gilang, dan sesudah itu kerasan tinggal di New York (Nina dan Nadira).

Seperti apa yang dialami Nina, Arya memang benar. Pernikahan Nadira dengan Niko berlangsung singkat. Walaupun telah memiliki satu anak , Niko tidak pernah meninggalkan kebiasaan memangsa perempuan. Saat Niko terlibat hubungan berbahaya dengan istri seorang pengusaha terkemuka, Nadira memutuskan mencerai suaminya (Kirana).

Adakah harapan bagi Tara yang seolah dadanya tertancap pisau ketika Nadira memutuskan menikah? Rupanya, tidak. Sebab, setelah bercerai, Nadira mengambil sabatikal dan memutuskan kembali ke Kanada. Tidak ada yang tersisa untuk Tara, kecuali cinta dari wartawan cantik bernama Kara Novena (Utara Bayu).

Seperti yang Leila mau, 9 dari Nadira hadir sebagai kumpulan cerpen. Artinya, masing-masing cerita bisa dinikmati sendiri-sendiri. Tampaknya ketika mulai menulis tentang Nadira, Leila juga tidak punya maksud merekatkan kesembilan kisahnya dalam satu buku. Memang, semua Nadira yang dikisahkan dalam buku ini adalah Nadira yang sama. Bahkan mungkin, jika tidak membaca seluruh cerpen yang ada, pembaca tidak akan memahami sepenuhnya kehidupan Nadira yang kompleks dan problematis. Oleh sebab itu, kumpulan cerpen ini hadir sebagai sebuah novel. Hanya karena ditulis satu per satu –dalam jarak waktu yang tidak dekat untuk setiap bagian, kecuali untuk proses revisi- gaya penulisannya memang tidak sama seperti penulisan sebuah novel. Sebagai contoh secara tiba-tiba kisah Nadira tidak lagi dituturkan dari perspektif Nadira –atau Nina, Arya, dan Tara, melainkan oleh 'karakter asing' yang hanya sekali muncul pada bagian yang dinarasikannya. Sebilah Pisau adalah kisah Nadira yang dituturkan Kris, salah satu ilustrator di majalah Tera. Ia memperhatikan dan mengamati kehidupan Nadira, mengungkapkan persepsinya sendiri, dan diam-diam membuat sketsa-sketsa yang berhubungan dengan Nadira. Terlepas dari penceritaan yang menarik –apalagi disertai dengan sketsa-sketsa karya Ario Anindito, sesungguhnya Sebilah Pisau sekadar repetisi cerita yang sudah dibaca dan dipahami oleh pembaca.

Ide cerita tentang Nadira cukup menarik. Ia adalah seorang perempuan muda cerdas, semangat dalam bekerja, pragmatis, tetapi punya kecenderungan eksplosif. Namun ia juga rapuh dan menyimpan kegetasannya dalam diam. Saat terjerat kemarahan, ia tidak bisa membahasakan kemarahannya, malah mencelupkan kepala ke dalam bak mandi –karena dulu kerap dihukum Nina dengan cara kepalanya dicelupkan dalam jamban berisi kencing. Ia mengira kerapuhan yang ditimbulkan oleh ketidakseimbangan dalam keluarganya bisa dilenyapkan dalam pelukan laki-laki, tetapi ternyata tidak seperti itu. Pernikahan tidak menyediakan solusi bagi kehidupannya yang hampir merenggut kewarasannya. Leila menyisakan satu pertanyaan pada lembar terakhir ceritanya: apa yang akan terjadi dengan kerapuhan Nadira?

Kemampuan merangkai kalimat yang sedap dibaca masih bisa ditemukan di sini. Sejak menjadi penulis cerita-cerita remaja, Leila memang dikenal gesit bermain kata-kata. Sekarang kegesitan Leila makin terasah; semakin bernas dan intektual. Namun saya sedikit kehilangan pesona Leila yang ia tebar dalam kumpulan cerpen Malam Terakhir. Memang menarik menengok dunia wartawan yang sesungguhnya –termasuk politik kantor yang melibatkan kecemburuan akan prestasi seseorang. Menarik pula mengikuti kehidupan keluarga disfungsional yang ditampilkan melalui keluarga Suwandi. Ibu bunuh diri, ayah mengalami post power syndrome, kakak perempuan yang terus dibayangi masa lalu, kakak lelaki yang betah melajang demi cintanya pada hutan. Namun daya pikat ini jauh lebih encer dari kandungan Malam Terakhir yang bergizi. Kegesitan Leila bermain kata-kata juga membuat Leila terjebak untuk menghomogenkan seluruh pencerita yang mengambil bagian. Baik surat atau buku harian yang melengkapi narasi Leila, ditulis dengan gaya bahasa yang sama. Dan sebenarnya buku harian Kemala Yunus terkesan tidak realistis: terlalu melimpah dialog untuk sebuah buku harian. Satu lagi, kendati cerpen terakhir menjadi pemantik kesedihan ternyata tidak cukup menggetarkan. Yang bisa dipungut di sana untuk melengkapi karakterisasi Nadira adalah: sesungguhnya ia termasuk salah satu penganut aliran seks bebas.

Tentu saja ini tidak berarti kumpulan cerpen 9 dari Nadira boleh dilewatkan kemunculannya. Apalagi bagi pembaca yang pernah tertenung cerita-cerita Leila di masa lalu. Semoga buku ini bisa menjadi karya pembuka untuk karya-karya Leila selanjutnya.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan