12 February 2012

Dear John



Judul Buku: Dear John
Pengarang: Nicholas Sparks (2006)
Penerjemah; Barokah Ruziati
Tebal: 392 hlm; 20 cm
Terbit: Cetakan 1, Juni 2010
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Cinta berarti kau mendahulukan kebahagiaan orang yang kaucintai daripada kebahagiaanmu sendiri, tak peduli betapa menyakitkan pilihan yang mungkin harus kauhadapi.








Begitu banyak pengarang yang meyakini bahwa cinta tidak ada matinya. Terbukti dari masa ke masa karya fiksi yang memanfaatkan cinta sebagai materi pokok terus diterbitkan. Dalam berbagai varian, semisal novel dan cerita pendek. Bahkan, ada pengarang tertentu yang menjadikan cinta sebagai spesialisasi. Tidak dapat diungkiri bahwa mayoritas cerita semacam ini didominasi pengarang perempuan. Tengok saja novel-novel romantis Harlequin atau Chicklit yang diterbitkan dalam jumlah besar dengan banyak pengarang.  

Nicholas Charles Sparks meramaikan genre ini dengan kualitas tersendiri. Ia (tentu saja) lelaki, tetapi tidak kalah dengan pengarang perempuan dalam memproduksi novel-novel romantis. Setelah sukses dengan novel pertamanya, The Notebook (1996), ia mengisbatkan diri sebagai penulis kisah-kisah cinta terlaris di dunia. Menyusul novel perdananya, ia telah menerbitkan novel romantis sukses lain yang difilmkan semisal Message in a Bottle, A Walk to Remember, dan Nights in Rodanthe.

Dear John adalah buku keduabelas Sparks yang telah diterbitkan. Ditulis menggunakan perspektif orang pertama, novel ini membabarkan kisah cinta John Tyree, anggota angkatan darat Amerika Serikat. Pada sebuah liburan musim panas, ia berjumpa Savannah Lynn Curtis, seorang mahasiswi bertampang menarik. John sedang berada di kampung halamannya, Wilmington, North Carolina, selama cuti dua minggu dari pekerjaannya di Jerman. Sedangkan Savannah menghabiskan kesenggangan masa kuliah dengan melibatkan diri dalam kelompok surarelawan untuk membantu pembangunan rumah bagi keluarga miskin. Kelompok tersebut digagas teman sekampung Savannah, Tim Wheddon.

Apakah arti mencintai orang lain dengan sungguh-sungguh? Itulah pertanyaan yang bergaung di hati John enam tahun sejak pertama kali mereka bertemu. "Ada suatu masa dalam hidupku ketika aku mengira aku tahu jawabannya: Itu berarti kepedulianku kepada Savannah jauh lebih dalam daripada kepedulianku pada diri sendiri dan kami akan menghabiskan sisa hidup kami berdua. Tidak akan butuh banyak perjuangan. Savannah sekali waktu pernah berkata kepadaku bahwa kunci kebahagiaan adalah mimpi-mimpi yang dapat diraih, dan mimpi-mimpinya sama sekali tidak di luar batas kewajaran. Pernikahan, keluarga... hal-hal mendasar. Itu artinya aku akan punya pekerjaan tetap, rumah berpagar putih, dan minivan atau SUV yang cukup besar untuk mengangkut anak-anak kami ke sekolah atau ke dokter gigi atau mengantar mereka latihan sepakbola atau resital piano. Dua atau tiga anak, dia tidak pernah menyatakannya dengan tegas, tapi aku punya firasat bahwa ketika saatnya tiba, dia akan menyarankan agar kami membiarkan alam menjalankan tugasnya dan mempersilakan Tuhan membuat keputusan." (hlm. 9).

Cinta semacam itu tampaknya tidak terlalu muluk, apalagi mereka berjumpa dalam kegembiraan musim panas yang memberi peluang bermimpi setinggi langit. Mereka berbagi kisah: kegemaran, keluarga, kegagalan hubungan, dan impian masa depan. Satu sama lain meyakini telah menjadi hal terbaik dalam hidup masing-masing. Bagi John, Savannah berperan dalam mengembalikan keimanannya yang memudar, dan terutama, penerimaan keadaan ayahnya yang berbeda. Untuk yang terakhir sempat menimbulkan pertikaian, karena Savannah curiga ayah John mengidap sindrom Asperger.

Bertemu dan membiarkan cinta berbiak sesungguhnya tidak membuat John sepenuhnya kehilangan perspektif. "Kami adalah dua orang yang jauh berbeda. Dia seorang gadis gunung, berbakat, dan manis, dibesarkan oleh orangtua yang penuh perhatian, dengan hasrat untuk membantu mereka yang membutuhkan;  aku seorang tentara bertato, keras, dan nyaris seperti orang asing di rumahku sendiri," kata John (hlm.138). Kesadaran ini tidak mengurungkan hasrat John menghabiskan masa depan bersama Savannah. Memang musim panas itu tidak berlangsung selamanya, waktu masih ingin mengeram kemesraan mereka. Sehabis cutinya, John harus kembali ke Jerman.

Perpisahan tidak menggebah kerinduan, apalagi mereka sudah  berniat menikah bila John mengakhiri tugas. Mereka memutuskan saling mengirim surat. Savannah-lah yang pertama kali menulis dan memutuskan bahwa dibanding kontak lewat telepon dan email, surat di kotak surat  yang paling menciptakan kepenasaranan. "Aku suka kejutan menemukan sepucuk surat di kotak suratku dan kegelisahan yang kurasakan saat bersiap-siap membukanya. Aku suka karena surat bisa dibawa-bawa untuk kubaca di waktu luang, dan aku bisa bersandar di pohon dan merasakan embusan angin di wajahku saat melihat kata-katamu di atas kertas. Aku senang membayangkan dirimu saat menulisnya: baju yang kaupakai, keadaan di sekelilingmu, caramu memegang bolpoin. Aku tahu ini klise dan mungkin tidak benar, tapi aku selalu membayangkan kau duduk di dalam tenda menghadap meja darurat, dengan lampu minyak menyala di sampingmu sementara angin bertiup di luar. Itu jauh lebih romantis daripada membaca sesuatu di mesin yang juga kaugunakan untuk mengunduh musik dan riset makalah,"  kata Savannah (hlm.207).

Surat yang datang dan dikirim secara rutin memang mujarab meminimalkan jarak. John sekali pun tidak menyangsikan bahwa Savannah mencintai dan menyayanginya. Meskipun demikian, keyakinan ini tidak menumpulkan kesadaran John bahwa cinta dan sayang dalam hubungan mereka sejatinya belum mencukupi.  "Kedua hal tersebut adalah batu bata dalam hubungan kami, tapi tidak akan stabil tanpa lapisan semen berupa waktu yang dilewatkan bersama, waktu tanpa ancaman perpisahan yang membayangi." Tidak mengherankan jika sesaat ia sempat berpikir: "Hubungan kami mulai terasa bagai gerakan memutar mainan gasing anak-anak. Saat kami bersama, kami punya kekuatan untuk menjaganya terus berputar, dan hasilnya adalah keindahan, keajaiban, dan rasa takjub yang nyaris seperti pesona kekanakan; saat kami berpisah, putarannya tanpa dapat dicegah mulai melambat. Kami menjadi terhuyung-huyung dan tidak stabil, dan aku tahu aku harus mencari cara agar kami tidak roboh ke tanah."(hlm. 249-250).

Menghitung mundur hari-hari yang tersisa sebelum meninggalkan angkatan darat mungkin menjadi cara tercespleng. Kekuatiran John akan hubungan mereka menjadi terasa kurang beralasan. "Aku yakin tidak ada hal di dunia yang dapat mencegah kami untuk bersama," kata John (hlm. 250). Namun, itu sebelum 11 September 2001. Kala menyaksikan keruntuhan Menara Kembar, tidak bisa dicegah lagi, gelombang patriostisme menguasai John. Rencana pengunduran diri dibatalkan. John mendaftar ulang untuk masa tugas dua tahun dan dikirim ke Irak. Ia percaya Savannah memahami keputusan yang diambilnya sampai surat-surat yang selalu dimulai dengan "Dear John" itu berkurang. Keretakan tak bisa diatasi, dan di tengah kemencekaman suasana  konflik, John menghadapi kenyataan surat Savannah tidak akan datang lagi.

Apa sebenarnya arti cinta sejati?  Pertanyaan itu kembali bergaung sebelum novel berakhir. John akhirnya menemukan jawabannya pada kunjungan ketiga di kampung halaman Savannah.  "Aku menjual koleksi koin ayahku karena akhirnya aku mengerti apa sebenarnya arti cinta sejati.... Cinta berarti kau mendahulukan kebahagiaan orang yang kaucintai daripada kebahagiaanmu sendiri, tak peduli betapa menyakitkan pilihan yang mungkin harus kauhadapi." (hlm. 385-386). Lalu, apa hubungan menjual koin koleksi ayah John dengan cinta sejatinya? Anda harus menemukan sendiri!

Novel ini sekali lagi menjadi bukti kepiawaian Nicholas Sparks merakit kisah cinta yang mampu mengharu-birukan hati pembaca tetapi tidak sampai banjir bandang airmata. Kisah cinta John dan Savannah dilarungnya dalam aliran plot yang bergerak perlahan tetapi tak sempat terkendala lanturan menuju akhir. Narasinya lepas dan pada tempat-tempat tertentu sangat mengevokasi. Selama membaca, saya tidak pernah sempat berpikir untuk meninggalkan novel ini sebelum kalimat penutup.

Melalui novel ini Sparks tidak hanya mendefinisikan arti cinta sejati lelaki-perempuan, tetapi juga antara orangtua, yang diwakili ayah, dengan anak. Sparks menggambarkan John yang hampir terlambat menyadari cintanya pada ayahnya. Padahal jelas, ketersinggungannya atas kecurigaan Savannah jika ayahnya mengidap sindrom Asperger sesungguhnya merupakan wujud cintanya. Mereka memang bertolak belakang. Ayahnya pasif dan suka menyendiri; pada sebagian besar malam dalam hidup John, ketimbang bercengkerama bersama, ayahnya lebih memilih menekuni koleksi koinnya. Tidak terhindarkan lagi, John menganggap koin-koin itu telah memberi kontribusi negatif pada hubungan mereka. Ia pun meninggalkan kegemaran mengoleksi koin sebagai bentuk pemberontakannya. Bahkan, menjadi tentara merupakan kulminasi pemberontakannya, konfrontasi atas kehendak ayahnya agar masuk universitas. Bergaul dengan Savannah mencelikkan John: kalau orang lain menyayangi ayahnya, bagaimana mungkin dirinya tidak?

Setelah membaca novel ini, pertanyaan yang mungkin menyeruak dalam pikiran pembaca adalah: manakah yang lebih penting, cinta pada kekasih atau cinta pada negara? Bagi sementara orang, cinta pada kekasih mungkin yang terpenting, tetapi rupanya bagi Sparks, cinta pada negara menempati posisi di atasnya. Bukankah ini bentuk cinta sejati yang lain?

Omong-omong, novel ini telah difilmkan oleh sutradara Lasse Hallstrom dengan dua pemain utama, Channing Tatum sebagai John dan Amanda Seyfried sebagai Savannah (2010). Mungkin, inilah yang ikut mendorong penerbitan edisi Indonesia novel yang diterbitkan pertama kali tahun 2006. Namun harus diakui, edisi Indonesia ini sama sekali tidak mengecewakan, karena diterjemahkan dengan tingkat keterbacaan yang tinggi. 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan