12 February 2012

The White Tiger




Judul Buku: The White Tiger
Pengarang: Aravind Adiga (2008)
Penerjemah: Rosemary Kesauly
Tebal: viii + 360 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, 2010
Penerbit: Sheila (imprint dari CV Andi Publisher)






Bagi Balram Halwai alias Munna, hidup di India serupa berada di dalam kandang ayam.  Jika Anda mengunjungi Old Delhi, pergilah ke belakang Masjid Jama, maka Anda akan melihat cara mereka mengurung ayam. Ratusan ayam betina dan ayam jantan dijejalkan dalam kandang kawat, saling mematuk dan mengeluarkan tahi di atas tubuh yang lain. Di meja kayu yang berada di atas kandang ayam, tukang jagal ayam duduk sambil menyeringai, memajang daging dan organ dalam ayam yang baru dipotong yang masih dilapisi darah. Ayam-ayam dalam kandang mencium bau darah saudara-saudaranya, melihat organ mereka bertebaran di mana-mana dan mereka tahu berikut adalah giliran mereka. Namun, mereka tidak memberontak, tidak berusaha melarikan diri dari kandang.

Tidak selamanya Balram berniat hidup seperti ayam-ayam dalam kandang yang menanti digorok. Walaupun untuk memberontak, ia harus melewati jalan yang tidak pendek.

Balram terlahir dalam keluarga pembuat gula-gula dari desa Laxmangarh di Distrik Goya, India Utara -yang disebut-sebut sebagai "Kegelapan" karena kelangkaan pendidikan dan listrik; Halwai berarti pembuat gula-gula. "Tapi, jika kami Halwai, kenapa ayah saya tidak membuat gula-gula dan malah menarik rickshaw? Kenapa juga saya tumbuh besar dengan memecah-mecah batu bara serta mengelap meja, bukannya makan gulab jamun serta kue-kue manis kapan pun saya mau? Kenapa saya kurus, hitam, dan tirus, tidak gemuk, putih, dan penuh senyum seperti bocah yang sering makan gula-gula?"(hlm. 69). Menurut Balram, kesusahan hidup yang menimpa keluarganya tidak lain disebabkan oleh kemerdekaan India sendiri, 15 Agustus 1947, yang membuat hukum rimba digalakkan dan para pemenang bertambah buncit. Akibat penerapan hukum rimba itu, toko gula-gula milik kakeknya direbut dengan bantuan polisi. "Singkat cerita –pada masa lalu, ada sekitar seribu kasta serta garis nasib di India. Sekarang ini, hanya tinggal dua: Kasta Perut Buncit dan Kasta Perut Rata. Dan hanya ada dua nasib: makan atau dimakan."(hlm. 70).

Sebetulnya Vikram Halwai ingin Balram, putranya yang takut kadal tapi pintar ini melanjutkan sekolahnya. Balram adalah anak paling pintar di kelasnya dan telah dijanjikan akan mendapat beasiswa. Namun utang keluarga dan kematian ayahnya membuatnya harus meninggalkan sekolah. Setelah bekerja di kedai teh Laxmangarh, ia pindah ke kedai teh di Dhanbad. Pekerjaannya sama, bergaya bak manusia laba-laba untuk mengelap meja dan memecahkan batu bara. Keinginan untuk hidup lebih layak mendorong Balram untuk belajar menyetir mobil, dan membawanya bekerja di rumah keluarga Bangau. Si Bangau (Thakur Randev) adalah salah satu tuan tanah di kampung halaman Balram selain si Kerbau, si Babi Hutan, dan si Gagak Hitam.

Balram menjadi sopir putra Bangau yang baru pulang dari Amerika, Mr. Ashok yang membawa istrinya yang cantik, Pinky Madam ke India.

Ketika pemilu diadakan di Dhanbad, Sosialis Agung, penguasa Kegelapan muncul di rumah keluarga Bangau dan menuntut uang sebesar 1, 5 juta Rupee. Sosialis Agung mencatat kemenangan di Kegelapan secara gemilang dengan cara-cara kotor, curang, dan kriminal. Ia menuduh keluarga Bangau telah melakukan penipuan pajak dan mengambil batu bara secara gratis di tambang milik pemerintah. Keluarga Bangau tidak mau memberikan uang yang ditagih Sosialis Agung. Mereka memutuskan mencari pertolongan di Delhi, langsung kepada pemerintah.

Balram dibawa ke Delhi setelah menyingkirkan sopir nomor satu di keluarga Bangau, Ram Persad, yang menyembunyikan identitasnya sebagai Muslim demi bekerja di keluarga Hindu. Gaji tiga ribu Rupee sangat menjanjikan, sekalipun Balram harus menginjak kota yang kacau dengan polusi dan ribuan gelandangan dari Kegelapan yang berseliweran di berbagai lokasi.

Awalnya, Pinky Madam mencoba mengatasi ketidakinginannya untuk terus tinggal di India. Namun suatu malam, setelah merebut setir dari Balram, menabrak seorang anak laki-laki sampai tewas, Pinky Madam memutuskan kembali ke New York. Mr. Ashok tidak bisa menerima kenyataan ini sampai akhirnya ia berjumpa dengan mantan kekasihnya.

Usaha menyuap pemerintah di Delhi gagal, apalagi Sosialis Agung semakin mengembangkan kemenangannnya hingga ke ibukota India ini. Keluarga Bangau pun memutuskan untuk menyetor 700 ribu Rupee kepada Sosialis Agung. Jika tidak, keluarga Bangau akan dihancurkan.

Di lantai Honda City yang dikemudikan Balram tergeletak botol Johnnie Walker Black yang telah dikosongkan dua utusan Sosialis Agung. Botol ini memang bagus dan kuat, di pasaran harganya mahal. Balram tidak bermaksud menjual botol kosong itu, karena dengan pecahannya Balram telah memutuskan untuk menghabisi nyawa majikannya yang baik hati. Kemudian kabur ke Bangalore, tempat yang menjanjikan masa depan. Tentu saja dengan merampok  700 ribu Rupee yang akan diberikan Mr. Ashok kepada Sosialis Agung. Demi memuluskan jalannya menjadi seorang entrepreneur autodidak yang sejati; Harimau Putih yang hanya muncul sekali dalam satu generasi –walau harus melakukan tindakan yang menurutnya membuat, "Semua krim pemutih kulit di pasar India takkan bisa membersihkan tangan saya lagi."

Ia telah berhasil mendobrak dan membebaskan diri dari kandang ayam.

The White Tiger adalah novel perdana pria kelahiran Madras, India, 23 Oktober 1974, yang dibesarkan di Australia, menamatkan studi di Universitas Columbia dan Universitas Oxford, dan pernah menjadi koresponden India untuk majalah Time. Aravind Adiga –nama pria itu, menjadi pengarang kelahiran India keempat yang memenangkan Man Booker Prize (2008), menyusul Salman Rushdie, Arundhati Roy, dan Kiran Desai (walau V. S. Naipul yang berdarah India pernah menerima penghargaan yang sama, ia bukanlah warna negara India). Setelah The White Tiger, Adiga telah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Between Assassinations (2009). 



Novel yang kabarnya akan diadaptasi ke dalam film ini ditulis menggunakan teknik epistolari ke dalam delapan bagian dengan judul yang menggunakan waktu penulisan Balram sang narator orang pertama –malam atau pagi. Balram dikisahkan sedang menceritakan biografinya kepada Wen Jiabao, Perdana Menteri Cina di Beijing lewat surat yang panjang-lebar. Menurut berita di All India Radio, Jiabao akan datang ke India dan berkunjung ke Bangalore, tempat Balram tinggal dan menjalankan jasa taksi untuk pekerja outsourcing.  Jiabao ingin mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang Bangalore yang sedang berkembang menjadi metropolis dan bertemu dengan beberapa entrepreneur India untuk mendengarkan kisah sukses mereka. Dan tentu saja, Balram merasa dirinya adalah salah satu entrepreneur yang dimaksud.

Dari segi cerita sesungguhnya The White Tiger tidak begitu istimewa. Namun Adiga menyajikan ceritanya dalam narasi yang dikemas dengan baik menggunakan bahasa menggelitik yang bernas dengan kejenakaan tersebar di mana-mana. Ia akan selalu berhasil menggiring pembaca pada pemahaman yang lebih mendetail mengenai kehidupan masyarakat India. 

Kerap dengan nada-nada sinis penuh sindiran dan ejekan ia mengelupas kebobrokan yang berkembang di tanah airnya sendiri. Kehidupan kelas bawah yang dililit kemiskinan dan pelecehan. Kehidupan kelas atas yang berlumur uang suap. Janji-janji omong kosong besar dari pemerintah untuk kesejahteraan rakyat. Rumah sakit yang tidak layak dengan pelayanan kesehatan yang luar biasa buruk. Korupsi yang menjalar hingga ke sekolah-sekolah desa di mana program makanan gratis hanya menjadi wacana dan seragam untuk para siswa jadi dagangan gurunya, dan kisah kondektur bis dari keluarga peternak babi yang bisa menjadi politikus.

Setelah lepas dari penjajahan Inggris, India tetap belum merdeka. Inilah yang menjadi kesimpulan Balram setelah membedah kehidupan masyarakat di negaranya. Dan saya yakin, inilah juga yang menjadi kesimpulan Aravind Adiga pribadi.

Mungkin seperti yang disampaikan Adiga lewat Balram di awal novel unik ini adalah gambaran menyeluruh novel ini. Bahwa semuanya hanyalah Omong Kosong Besar. Namun acapkali sebuah Omong Kosong Besar bisa merenggut simpati banyak orang. Maka bolehlah saya mengatakan bahwa saya berada di antaranya, tanpa perlu 'menjilat 36.000.004 bokong suci para dewa'.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan