12 February 2012

The Wednesday Letters

 
Judul Buku: The Wednesday Letters
Penulis: Jason F. Wright (2007)
Penerjemah: Maggie Tiojakin
Editor: Ratih Kumala
Tebal: xii + 336 hlm; 14 x 20 cm
 Cetakan 1, 2008
Penerbit: GagasMedia




Saat Pengampunan Mengalahkan Kebencian




Rabu Malam, 16 Juni 1948. Jack Cooper menulis sepucuk surat buat Laurel, perempuan yang dinikahinya hari itu. 

"Aku sudah berjanji hari ini di gereja dan aku akan berjanji lagi padamu malam ini. Mulai sekarang aku akan menulis surat padamu setiap minggu. Di mana pun kita berada –entah di dua sisi benua yang luas ini atau di dalam ruang tamu yang sempit –aku pasti akan menulis surat padamu. 

Aku akan membuat sebuah janji lagi. Laurel, aku akan selalu mendampingimu. Tak peduli apapun yang terjadi. Kita akan selalu bersama. Tanpa rahasia. Tanpa kejutan. Dan aku akan selalu setia kepadamu dalam segala hal". (hlm. 121)

Maka, setiap hari Rabu –dengan pengecualian beberapa situasi, Jack Cooper, melunaskan janjinya. Menulis surat untuk istrinya setiap minggu. Kebiasaan ini berlangsung terus hingga tahun demi tahun berlalu. Pada bulan November 1956, janji Jack yang dituliskannya ketika istrinya sedang lelap di malam pengantin mereka, mengalami ujian. Ujian yang nyaris membatalkan janji Jack yang kedua yaitu selalu mendampingi Laurel apapun yang terjadi. Untunglah, janji yang Jack cetuskan itu, tidak pernah dibatalkan, hingga maut menjemput mereka.

Rabu Malam, 13 April 1988. Setelah menikah hampir 40 tahun, Laurel meninggalkan Jack. Ia meninggal karena serangan jantung. Di penginapan Domus Jeffeson, penginapan di jantung Lembah Shenandoah (Virginia) yang mereka kelola bersama sejak tahun 1963. Padahal, Jack mengira dirinya yang akan lebih dahulu meninggal. Selama 18 bulan, Jack sibuk memerangi tumor otak ganas yang tidak bisa dioperasi. Maka, begitu menyadari Laurel tak bernyawa lagi, Jack memutuskan menulis "Surat Hari Rabu" yang terakhir –sebelumnya surat mingguan terakhir ini diharapkan Jack akan ditulis Laurel. Surat itu diamplopkan dan diletakkan di bagian Perjanjian Baru Alkitab King King James Version. Ia memeluk Laurel dan tidak lama kemudian menyusul Laurel menjejak alam baka. Rain Jesperson, teman dekat keluarga dan manajer penginapan Domus Jefferson yang menemukan surat itu dan mendapat tugas untuk meneruskannya kepada pengacara Jack. Tetapi, ternyata bukan hanya surat terakhir itu yang ditemukan.

Kematian Jack dan Laurel memaksa ketiga anak mereka kembali ke Domus Jefferson. Matthew, si sulung, menetap di Boston dan sedang bergumul dengan pernikahannya yang belum dikaruniai anak. Malcolm, si tengah, sedang berada di Brazil, bermaksud menyelesaikan novel yang tidak pernah tuntas dan sudah setahun tidak berkomunikasi dengan keluarga. Samantha, si bontot, janda satu anak yang berbakat akting, tetapi memilih menjadi polisi. 

Di antara mereka bertiga, Malcolm yang paling bermasalah. Ia pergi ke Brazil tidak sekedar untuk menyelesaikan novelnya. Ia sedang melarikan diri, berkelit dari jerat hukum setelah terlibat perkelahian di sebuah bar dan membawa uang jaminan ayahnya yang akan digunakan untuk membayar status tahanan luarnya. Sebelumnya, hubungannya dengan sang ayah memang tidak berjalan dengan bagus. Padahal dirinyalah yang dipikirkan Jack ketika maut siap menggamit jiwa. Malcolm juga memiliki masalah dalam percintaan. Ia menjalin cinta dengan Rain Jesperson, tetapi karena tidak pernah memberikan kepastian hubungan, ditinggalkan Rain, untuk bertunangan dengan Nathan Crescimanno, Jaksa Penuntut Umum Lembah Shenandoah. Sebelum pergi ke Brazil, Malcolm telah menyerang seseorang dan mematahkan hidung Nathan. Sekembalinya di Woodstock, Rain masih lajang dan telah menunda 3 kali rencana pernikahannya dengan Nathan. 

Tidak terlalu lama setelah berkumpul kembali, sejak terakhir berkumpul bersama tahun 1983 pada ulang tahun pernikahan orangtua mereka, ketiga bersaudara Cooper menemukan surat-surat yang ditulis Jack untuk Laurel. Ketika mereka membaca apa yang ditulis sang ayah, dengan anggapan Laurel ingin mereka membaca surat-surat itu, mereka menemukan sebuah rahasia yang dipendam oleh orangtua mereka. Kenyataan yang menghancurkan hati salah satu dari mereka. Karena salah satu anak itu, bukanlah anak kandung Jack, kendati benar-benar dilahirkan Laurel. 

"Laurel, penikahan kita memang tidak sempurna. Kita telah melalui banyak cobaan. Kita telah diuji dengan hal-hal yang lebih berat dari yang pernah kita bayangkan saat kita setuju untuk mengarungi bahtera ini. Tapi perjalanan ini sungguh mulia. Aku telah diangkat olehmu. Dan kau telah melakukan lebih dari itu. Kau telah menepati semua janjimu. Terima kasih karena telah memercayai rencana besar Tuhan sebelum aku siap menerimanya," demikian tulis Jack setelah bersama Laurel, ia berhasil melewati ujian yang dihadapinya (hlm. 319 – 320). Ujian yang nyaris mengikis habis janjinya pada malam pernikahan mereka dan membuat anak-anaknya terkejut.

Inilah sebuah novel tentang pengampunan yang membebaskan. Jason F. Wright, sebagai penulis, hendak menyampaikan gagasan tentang pengampunan yang agaknya dipelajarinya sebagai orang Kristen. Ketika seseorang bersalah kepada kita, kita memiliki pilihan untuk mengampuni atau tidak mengampuni orang tersebut. Baik Jack maupun Laurel telah memilih pengampunan bagi pencetus realita pahit yang nyaris menghancurkan pernikahan mereka. Bahkan, tidak hanya sekedar pengampunan. Meski pengampunan tidak otomatis berarti rekonsiliasi, keduanya memilih rekonsiliasi dengan orang yang bersalah kepada mereka. Dan mereka berharap, anak mereka juga akan memiliki jiwa penuh pengampunan, seperti mereka. Apakah harapan mereka menjadi nyata, Anda akan menemukan jawabannya sebelum novel usai. 

The Wednesday Letters (Surat Cinta di Hari Rabu) adalah novel ketiga penulis bernama lengkap Jason Fletcher Wright. Sebelumnya, penulis yang adalah pendiri situs politik PoliticalDerby.com ini, telah menulis novel debutan berjudul The James Miracle (2004) dan Christmas Jar (2006), yang masuk daftar bestseller New York Times.  Setelah The Wednesday Letters (2007), penulis artikel di lebih dari 50 koran dan majalah yang pernah tampil dalam film Troll 2 ini, telah menerbitkan novel bertajuk Recovering Charles (2008). Saat ini, bersama keluarganya, Jason F. Wright tinggal di Woodstock, Virginia, tempat ia melakukan penelitian untuk penulisan The Wednesday Letters.

Novel indah dan sangat menggugah hati ini merupakan kisah yang dituturkan salah seorang anak keluarga Cooper kepada putranya yang beranjak dewasa. Pembaca yang peka akan dengan mudah dibuat tersentuh ketika mengikuti plot yang dibentangkan Wright. Memang, novel ini mengetengahkan kisah cinta, tetapi bukan kisah cinta ala chicklit. Bukan kisah cinta mengada-ada layaknya kisah cinta kaum muda metropolitan. Novel ini merupakan perkelindanan unsur drama romantis dan tragedi, berpotensi membuat mata berkaca-kaca, tanpa mencengengkan pembaca. Semakin enak dibaca karena ditulis tanpa tendensi diberat-beratkan (meski tidak  bisa disebut enteng atau diringan-ringankan juga). Dan karena saya membaca edisi Indonesia, harus saya katakan, novel ini disulih dan disunting dengan bagus. Anda tidak akan mendapatkan susunan kalimat rancu yang mungkin membuat Anda mengurungkan untuk membaca novel ini. 

Novel ini dikemas dalam bentuk amplop berwarna merah. Ketika kita membuka buku dan membaca isinya, seolah-olah kita sedang membaca surat setebal 332 halaman (tebal halaman di atas –xxi + 336, mencakup keseluruhan buku). Kemudian, setelah kita selesai membaca "surat tebal" ini, pada bagian belakang sebelah dalam buku, kita akan menemukan amplop kecil berisi dua pucuk surat bertanggal 25 Agustus 2007. Surat siapakah itu? Yang jelas, Anda akan membaca surat yang ditulis mengikuti tradisi Jack Cooper. Dan, mungkin, setelah selesai melahap novel ini, Anda –yang adalah suami-suami, akan terpengaruh mengikuti tradisi Jack Cooper. 

Sebelum saya mengakhiri tulisan ini, saya mau mengutipkan buat Anda puisi yang ditulis Jack untuk Laurel menjelang Natal, 24 Desember 1958. 


Musim semi membawa kehidupan baru.
Keceriaan dan penghijauan.
Di musim panas datang matahari, kehangatan dan kedamaian
yang menyinari seluruh permukaan bumi.
Musim gugur membawa warna-warna yang indah.
Perlahan menghiasi dunia dengan kelembutan.
Musim dingin memberikan kekuatan.
Keindahan seputih salju
Lalu ada satu musim lagi…
Kau adalah semua yang ditawarkan Alam kepadaku.
Suatu berkah. Hadiah dari Sang Pencipta
Kau adalah musim kelima.
(hlm. 188)

2 comments:

vina said... Reply Comment

memang buku ini bagus.. aku sampai meneteskan air mata saat lauren meninggal duluan lalu jack setelahnya.....
belum lagi surat2 nya yang maknanya dalam...

Jody said... Reply Comment

setuju :)

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan