12 February 2012

The Road to The Empire


 

Judul buku: The Road to the Empire
Penulis: Sinta Yudisia
Penyunting: Taufan E. Prast
Tebal: 584 hlm; 13 x 20,5 cm
Cetakan: 1, Desember 2008
Penerbit: Lingkar Pena Publishing House

 

Jalan Panjang Pangeran Islam Mongol



Meskipun ada, tidak banyak penulis fiksi Indonesia yang memanfaatkan sejarah bangsa lain untuk dihadirkan dalam karya-karyanya. Padahal, penulis-penulis luar, terutama dari negara berbahasa Inggris, banyak mendedahkan masa lalu bangsa lain dalam karya-karyanya. Sebut saja Lian Hearn, penulis Kisah Klan Otori atau Lesley Downer, penulis The Last Concubine.

Sinta Yudisia Wisudanti, kelahiran Yogyakarta 18 Februari 1974, yang telah menghasilkan hampir 40 buku, antara lain Lafadz Cinta dan Pink, melesat keluar dari kerumunan penulis fiksi Indonesia dan dengan berani menyeret masa lalu bangsa Mongol untuk dijadikan panggung konflik novel anyarnya, The Road to The Empire. Pemenang berbagai lomba menulis fiksi ini menghidupkan kembali salah satu penguasa berdarah Mongol bernama Takudar Khan yang dikenal sebagai pemeluk agama Islam. Sebelumnya ia telah menulis kisah Takudar dalam Sebuah Janji (Takudar 1) dan The Lost Prince (Takudar 2). Bisa dikatakan keduanya menjadi Trilogi Takudar jika digabungkan dengan The Road to The Empire.

Kisah dalam Takudar 3 ini dimulai dari Tuqluq Timur Khan, seorang keturunan Jenghiz Khan yang menguasai imperium Mongolia suatu masa (tidak dijelaskan latar waktu cerita ini). Timur Khan memiliki tiga anak lelaki: Takudar, Arghun, dan Buzun. Dalam perburuan di Gurun Gobi, ia bertemu dengan sekelompok musafir di bawah kepemimpinan Syaikh Jamaluddin. Karena mengganggu keasyikan sang kaisar, para musafir itu diputuskan akan dipancung. Namun sebelum terjadi, keislaman Syaikh Jamaluddin telah memikat Timur Khan. Bahkan sesudah mengenal Syaikh Jamaluddin, Timur Khan berjanji akan memeluk Islam, setelah ia sukses mempersatukan Mongolia. Kesepakatan dijalin antara mereka: jika kelak tidak bisa bertemu, Rasyiduddin, putra Jamaluddin, dan Takudar, putra Timur Khan, yang akan menyaksikan janji itu digenapi. Benar saja, sebelum Timur Khan melaksanakan janjinya, ia tewas dibunuh bersama permaisurinya, Ilkhata.

Sebelum benar-benar direnggut maut, Ilkhata meminta Takudar untuk meninggalkan Ulan Bataar. Takudar pun melarikan diri, pergi ke arah barat (pembaca tidak diberikan peta untuk memahami detail perjalanan Takudar) ditemani gadis Mongol dari klan Tar Muleng bernama Ying Chin. Dalam perjalanan selanjutnya, Takudar akan dikenal sebagai Baruji sedangkan Ying Chin akan dikenal sebagai Almamuchi dan Uchatadara.

Setelah Takudar menghilang, Arghun Khan, adiknya, menduduki singgasana yang seharusnya menjadi haknya. Arghun malih menjadi seorang kaisar yang sangat ambisius, bersemangat tinggi menguasai dunia, dan berhasrat meneruskan apa yang telah dirintis leluhurnya, Jenghiz Khan. Ambisi terpuncaknya adalah menaklukkan Jerusalem. Sedangkan Buzun, si bungsu, mengabdi di kekaisaran sebagai kepala perbendaharaan negara. Tanpa gembar-gembor, ia merindukan abangnya dan tidak berhenti berusaha mencari di mana Takudar berada.

Pelarian Takudar berakhir di Madrasah Baabussalaam, Syakhrisyabz, ketika ia bertemu Rasyiduddin (Salim), putra Syaikh Jamaluddin. Di dalam diri Baruji, Takudar ingin melupakan masa lalu. Tetapi para syaikh, gubernur Muslim, dan para pendekar dengan cita-cita yang sama, terus mengobarkan semangatnya untuk mengambil kembali tahta Mongol. Membayangkan akan adanya pertumpahan darah dalam perang melawan saudara-saudaranya, Takudar yang welas asih menjadi bimbang. Meskipun begitu, ia tetap bertekad belajar strategi perang. Ia meminta bantuan Almamuchi untuk mendapatkan Kitab Rahasia Sejarah yang merupakan kisah perjalanan hidup kaisar paling ditakuti kaum Muslim, Jenghiz Khan. Almamuchi menitipkan Takudar kepada Karadiza, gadis Muslim temperamental dari Tabriz, dan pergi meninggalkan Syakhrisyabz.

Di istana Mongolia, atas saran Yan Che, Arghun terpikir untuk mencari permaisuri. Selama ini ia telah mencintai Urghana, putri Panglima Albuqa Khan –yang telah mendukungnya menuju singgasana. Sayangnya, gadis itu tidak pernah merespons cintanya. Hati si jelita telah kadung tertambat di diri Buzun.  Pun ketika Arghun memutuskan menyeleksi istri dari perempuan-perempuan cantik Mongol, Urghana tetap bergeming. Ia tak menghiraukan dorongan Ankhnyam, ibunya, untuk bersaing dengan kedua adik perempuannya. Ia bahkan minta Arghun agar tidak mengusik adik-adiknya. Namun ditolak, bahkan akhirnya disekap dalam penjara karena mencoba menantang kaisar.

Han Shiang, selir Timur Khan yang memiliki sepasang anak, tidak tinggal diam. Ia berambisi menjadikan Bayduna sebagai istri Arghun walaupun keduanya masih sedarah. Sebelum merealisasikan ambisi ini, ia menyerahkan diri kepada Panglima Albuqa Khan untuk dijadikan selir. Dan tidak cukup hanya merancang jalan putrinya ke peraduan kaisar Mongol, ia juga mendorong putranya, Uljaytu, bergabung dalam kesatuan prajurit Mongol dengan harapan bisa menjadi perwira tinggi.

Melalui perjuangan yang tidak ringan, Almamuchi berhasil mendapatkan Kitab Rahasia Sejarah di Tseterleg. Perjalanan kembali ke Syakhrisyabz tertunda karena ia  bertemu Hoelun, ibunya, terlebih dahulu. Ia meminta ibunya untuk pergi bersama, tetapi menerima penolakan tegas. Setibanya di madrasah, ia mendapati Baruji dan Salim telah pergi menuju markas para pejuang di Khotar. Madrasah dihancurkan, orang-orang dibunuh, dan perempuan-perempuan diperkosa. Almamuchi harus melarikan diri untuk tidak jatuh sebagai korban kebiadaban prajurit Mongol. Karadiza -yang ditugaskan menunggunya- menolongnya meski langsung memusuhinya lantaran terlambat datang.

Sementara itu, rombongan penaklukan Jerusalem meninggalkan Ulan Bataar. Keputusan ini sontak menjadi ancaman bagi masyarakat Muslim. Sebab, dalam perjalanan, Arghun Khan tak tahan untuk tidak menyerang daerah-daerah Muslim. Maka Takudar harus menangguhkan diri, menggetaskan belas kasih yang tumbuh untuk adiknya Arghun, yang tidak tanggung-tanggung menyakiti masyarakat Muslim.

Di Tanah Cekung Turpan yang berbentuk piring, akhirnya Takudar bertemu Arghun. Sejarah berkelebat di benak Takudar: Jenghiz Khan dikalahkan pangeran Muslim Jaladdin yang menghabisi 30 ribu pasukannya di daerah Balwan yang berbentuk piring. Apakah ia akan seberuntung Jaladdin? Jawabannya tentu saja sudah bisa dirumuskan.

Riset dunia maya memberikan suplai data mengenai Takudar, yang dalam bahasa Mongol berarti 'sempurna'. Tidak banyak, namun cukup membuat saya mempertanyakan latar sejarah yang digunakan Sinta Yudisia. Yang saya temukan, Takudar atau Ahmad Tegüder atau Ahmad Takudar Oghlu (1247-1284) bukanlah kaisar  imperium Mongolia sebagaimana Jenghiz Khan. Ia adalah penguasa ketiga dari Dinasti Il-Khanid yang didirikan ayahnya -Hulagu Khan, sebagai wilayah pecahan Kekaisaran Mongolia. Hulagu Khan adalah saudara Khubilai Khan (1260-1294), pendiri Dinasti Yuan dan cucu Jenghiz Khan.  Setelah Hulagu meninggal 8 Februari 1265, Abaqa Khan, putra sulungnya menggantikan posisinya (1265-1282).

Selanjutnya, Takudar -saudara Abaqa, menggantikan abangnya dan berkuasa tahun 1282-1284. Takudar yang dibabtis dengan nama Nicholas, setelah berkuasa memproklamasikan dirinya sebagai Muslim dan menganiaya orang Kristen. Ia-lah yang pergi ke Khorasan dengan angkatan perang untuk menangkap Arghun Khan, keponakannya, dan pangeran-pangeran Mongol lain dengan tujuan membunuh mereka. Tetapi setelah pengikutnya meninggalkannya, ia ditangkap dan dibunuh atas perintah Arghun tahun 1284. Arghun yang adalah putra Abaqa pun merebut kekuasaan Takudar dan memerintah tahun 1284-1291. Ia mencoba meneruskan keinginan pendahulunya untuk menginvasi Syria dan Palestina serta merebut Jerusalem. Untuk itu, ia minta pertolongan raja-raja Barat (Byzantium, Italia, Prancis, dan Inggris). Hingga meninggal pada 10 Maret 1291, ia  tak pernah merealisaikan keinginan itu. Ia digantikan saudaranya Gaykhatu yang berkuasa tahun 1291-1295.

Sebagai tambahan, Gaykhatu digantikan Ghazan, putra Arghun (1295-1304). Setelah beberapa bulan pada tahun 1295 sempat dipegang Baydu, sepupu Gaykhatu, kekuasaan beralih ke tangan Uljaytu, saudara Ghazan (1304-1316). Uljaytu menjadi ayah Abu Sa'id yang menggantikan dirinya pada tahun 1316 dan menjadi penguasa dinasti Il-Khanid hingga dinasti itu berakhir pada tahun 1335.

Apakah Takudar yang saya sebutkan di atas yang dimaksud Sinta Yudisia? Apakah Arghun Khan pengganti Takudar yang dijadikan Sinta sebagai adik Takudar? Ataukah Sinta memiliki catatan sejarah yang berbeda?

Apapun yang telah ditulis Sinta Yudisia, ia telah menampilkan bakat menulis epik yang patut dibanggakan. Benar tidak sejarah yang dipinjam Sinta, ia sudah menunjukkan keberanian menulis kisah heroik yang sedap dibaca. Secara sinematis, Sinta berhasil mendedahkan panorama Mongolia yang eksotis di bawah naungan Hoh Tenger dengan budayanya yang khas, memberi kesempatan pembaca berimajinasi akan del indah memesona, tarian bielgee dan nyanyian jangar diiringi petikan moriin khuur. Semuanya dihadirkan dalam pergelutan karakter-karakter pria yang berambisi menduduki singgasana serigala. Yang pada gilirannya menjadikan Mongol seting bangkitnya heroisme, pudarnya persaudaraan, bergelimangnya intrik dan siasat perang, maraknya konspirasi, dan hilangnya keunikan perempuan di tangan lelaki bejat.

Bagi Sinta, Takudar adalah seorang pahlawan. Lewat karakter ini, Sinta seperti hendak menghadirkan sosok hero baru di ranah fiksi Indonesia. Takudar yang lembut hati dan menghindari kegegabahan serta meletakkan persaudaraan di atas kepentingan pribadi tampaknya bisa menjadi model yang pas.

Terlepas dari keraguan saya tentang sosok Takudar Khan, saya mengacungkan dua jempol kepada Sinta Yudisia. Selain cerita heroik bermuatan pesan-pesan moral yang berguna, ia juga telah merangkai kalimat-kalimat  bernas yang sedap dibaca. Walau ada yang kurang mengena seperti ungkapan: "Dada Takudar menggelembung berisi air mata dan kesedihan..." (hlm. 523). Mungkin, kejelian penyunting harus tetap dipertahankan supaya tidak mengendur di bab-bab terakhir dalam novel yang cukup gemuk ini. Saya masih menemukan kata "mengubah" ditulis "merubah", misalnya.

Pertanyaan terakhir: benarkah Albuqa Khan bukan dalang pembunuhan Timur Khan dan permaisuri Ilkhata seperti yang tersirat dalam dialognya dengan Takudar? (hlm. 528). Saya berharap bisa mendapatkan ketegasan jawaban  dalam  novel ini. 

2 comments:

Fauziyyah Arimi said... Reply Comment

lanjutannya buku ini, yang judulnya Takhta Awan, udah dibaca belum mas?
udah terbit awal tahun ini

Jody said... Reply Comment

@Faraziyya: sebenarnya udah punya, tapi belum sempat baca. Agak susah baca sekuel yang terbit agak lama setelah pendahulunya. Tapi udah ada rencana untuk segera baca.

Terima kasih.

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan