12 February 2012

Garis Perempuan

 

Judul Buku: Garis Perempuan
Penulis: Sanie B. Kuncoro
Tebal: x+378 hlm; 20,5 cm
Cetakan: 1, Januari 2010
Penerbit: Bentang




Empat Perawan Menguak Takdir




Setiap perempuan adalah perawan. Sudah jalannya seorang perempuan menjadi perawan. Kecuali meninggal sebelum mendapatkan haid, seorang perempuan akan atau pernah menjadi perawan. Itulah yang tergambar sebagai titik tolak utama novel perdana pengarang perempuan berpseudonim Sanie B. Kuncoro ini.

Lebih lanjut Sanie mengungkapkan, bahwa keperawanan adalah milik berharga seorang perempuan. Kepada siapa yang punya keperawanan akan mempersembahkan selaput daranya, merupakan hak prerogatifnya. Tidak ada yang bisa menentukan, termasuk orang yang melahirkannya. Kecuali, tentu saja, nasib. Itulah yang menjadi modal utama novel bertajuk Garis Perempuan ini.

Adalah empat orang perawan, iniren dan congkouren, yang menjalin persahabatan sejak belia. Ranting, putri seorang janda penjual karak (kerupuk beras); Gendhing, anak dari pasutri buruh cuci dan tukang becak; Tawangsri, anak gadis seorang pedagang batik yang bersuamikan seorang lelaki yang tidak bisa diandalkan; Zhang Mey, gadis Tionghoa yang memiliki ayah seorang pengusaha dan ibu juragan becak.

Meski sehati, mereka memiliki nasib yang berbeda. Ranting, terlahir dalam kemiskinan dan tanpa ayah berhenti sekolah sebelum lulus SMA dan menggantikan ibunya yang sakit sebagai penjual karak. Ketidakmampuan mereka membayar biaya operasi penyakit yang kian parah memperhadapkan Ranting pada pilihan sulit: membiarkan ibunya meninggal atau menyerahkan keperawanannya kepada lelaki setengah baya yang menawarkan pelunasan biaya rumah sakit dan rumah yang lebih layak selaku istri ketiga. Ia pun menyerahkan dirinya pada apa yang ia percaya sebagai takdir. "Mungkin inilah cara Tuhan berbelas kasihan kepadaku. Tidak ingin dilihat-Nya aku sengsara menjajakan karak selamanya dan ingin diberikan-Nya kehidupan yang lebih baik dengan menjadi istri juragan. Bahwa kehidupan yang lebih baik secara financial itu kuperoleh dengan menjadi istri ketiga, barangkali memang begitulah takdirku," katanya (hlm. 86, dengan sedikit koreksi). Namun, setelah keperawanan ia persembahkan di ranjang perkawinan kepada lelaki separuh baya yang tidak ia cintai, ia berubah pandangan, "Aku tidak mau menjadi istri Basudewo selamanya. Terlalu murah hargaku kalau harus kuberikan seluruh hidupku kepadanya." (hlm. 96).

Nasib Gendhing sedikit lebih lumayan dari Ranting. Namun, meskipun masih berorangtua lengkap dan lulus SMA, ia tidak bisa menjangkau impiannya dari lembar halaman iklan Koran. Beruntung, ia bisa bekerja di salon milik majikan ibunya sambil menunggu pekerjaan lain yang sesuai dengan harapannya. Sebagai perempuan yang disebut-sebut memancarkan naraiswara (cahaya rahasia yang dipancarkan Ken Dedes), Gendhing berusaha mengelak dari godaan para lelaki pesolek yang mengunjungi salon. Sayangnya, nasib menyingkapkan takdirnya: ia bukan ratu atau dewi, tetapi prajurit yang memiliki kekuatan melaksanakan tugas yang dibebankan padanya dan mempertaruhkan dirinya atas nama kesetiaan. Ketika ibunya bertindak ceroboh dan terlilit utang, Gendhing memutuskan, "Aku tidak akan menjadikan diriku sebagai perempuan lain bagi seorang laki-laki, dengan atau tidak berdasarkan perkawinan yang sah. Yang kulakukan ini adalah transaksi. Cukup satu kali kulakukan, dia ambil perawanku, kuterima uangnya, lalu selesai."  Gendhing pun pasang harga pada seorang lelaki separuh baya kesepian setelah meyakinkan dirinya bahwa komodifikasi tubuh yang akan ia lakukan adalah, "…. Politik keperawanan, mengeksplorasi darah perawan demi sebuah timbal balik yang berdaya guna untuk kehidupan yang lebih baik, secara ekonomi." (hlm. 198).

Baik Ranting maupun Gendhing mengorbankan hak prerogatifnya demi untuk menyelamatkan keluarga dari masalah yang lebih besar lagi.

Tidak demikian nasib kedua sahabat mereka yang lain, Tawangsri dan Zhang Mey. Kedua perawan ini bisa lulus SMA dan memasuki perguruan tinggi karena ditopang kemampuan finansial yang memadai. Bagi mereka, walau tidak sepenuhnya, ada keleluasaan untuk mempersembahkan keperawanan kepada lelaki yang mereka inginkan.

Ketika bertemu dengan seorang lelaki yang mampu memuaskan kerinduannya akan kasih sayang ayahnya,  dan setelah melewati pembicaraan mengenai keperawanan dengan lelaki tersebut, Tawangsri memutuskan, "Akan kupergunakan hak pilihku untuk menentukan siapa laki-laki pertamaku. Sama seperti seorang laki-laki memilih perempuan pertamanya. Tidak ada keharusan bagiku untuk tetap menjadi perawan demi sebuah pernikahan. Menjadi tetap perawan atau tidak adalah suatu pilihan dan aku hanya akan melakukannya dengan seseorang yang kuinginkan, dengan atau tanpa pernikahan." (hlm.274). Namun, ketika gayung bersambut, apakah lelaki itu akan memperoleh keperawanan Tawangsri yang menurutnya bagai mitos?

Sampai mengenal lelaki idamannya, Zhang Mey dibayang-bayangi tradisi saputangan yang harus ia lewati sebagai perawan Tionghoa. Ketika ia menikah dengan laki-laki yang dikenan keluarga, ibu mertuanya akan menyiapkan saputangan putih untuk menampung darah perawannya. Sungguh bukanlah yang Zhang Mey harapkan, karena ia memiliki pilihan lain, seorang lelaki berlainan etnis yang mencintainya.  Seorang laki-laki yang tidak masuk perhitungan orangtuanya untuk menjadi penerima keperawanan anak perempuan mereka. Pada puncak ketakberdayaannya, Zhang Mey berujar, "… aku akan melaksanakan kewajibanku, menjalani tradisi atas nama kehormatan keluarga, menjadi pengantin yang perawan bagi seorang laki-laki yang terpilih sebagai suamiku pada masa nanti." (hlm. 351)

Topik keperawanan sudah pasti bukanlah hal yang baru dalam dunia fiksi Indonesia. Namun, Garis Perempuan memiliki berbagai kelebihan sebagai sebuah fiksi tentang keperawanan. Berbicara mengenai keperawanan (dan mempersembahkan keperawanan), mau tidak mau, akan mengarah pada perbincangan aktivitas seksual. Sebagai perempuan, boleh dikatakan, Sanie B. Kuncoro adalah pencerita yang terkendali. Kendati terbuka peluang baginya untuk mengeksplorasi seksualitas secara lebih gamblang, Sanie tidak mengambil pilihan ini.  Hal ini mengindikasikan bahwa meski mengangkat tema seks,  semua pengarang pasti memiliki filter. Dalam hal ini, tidak ada istilah munafik  ataupun dilakukan demi sesuatu yang disebut 'seni'.  Bagi pembaca dewasa –dan novel ini memang untuk pembaca dewasa, yang tidak eksplisit pun sudah bisa dipahami.

Berbekal sekian tahun menulis fiksi, memproduksi rangkaian kalimat cantik tidak menjadi kesulitan bagi Sanie. Penulisannya yang cenderung puitis sekalipun menjabarkan tragedi memberikan daya tarik yang emosional. Sanie memiliki kekayaan diksi dan kekuatan metafora yang tidak selalu bisa didapatkan dari pengarang perempuan lain dalam ranah olah kata fiksi Indonesia.  Meskipun harus diakui bahwa kerap kekayaan diksi yang ditampilkan Sanie dalam berbagai dialog kurang realistis. Karakter yang berbicara terasa janggal untuk bermain kata-kata canggih. Akibatnya, sangat terasa jika para karakter ini terlepas dari perwatakan dan latar yang sesungguhnya telah dirancang dengan unggul. 

Garis Perempuan sudah jelas bukanlah novel dengan satu konflik yang kompak. Novel beralur lurus ini adalah bagai empat novelet yang dikolaborasi menjadi  satu. Kisah hidup keempat perawan yang berusaha menguak takdir masing-masing ini dibentangkan satu demi satu dalam bagian-bagian yang judulnya menggunakan nama-nama mereka. Tidak ada yang mengikat konflik mereka menjadi satu; kecuali bahwa mereka sama-sama perempuan yang menjalani kehidupan perawan dan menjalin persahabatan yang erat. Namun, ini bukanlah kelemahan dan sama sekali tidak mengganggu kenikmatan membaca.

Latar budaya lokasi berlangsungnya novel ini harus dikukuhkan sebagai salah satu kekuatan yang tidak bisa diabaikan dari Sanie. Sanie jelas menguasai budaya Jawa dan Tionghoa yang menjadi akar keempat tokoh novelnya termasuk perbedaan yang hingga saat ini masih menjadi kesenjangan antar kedua budaya. Pembaca yang bukan Jawa dan bukan Tionghoa tidak akan kebingungan walau terdapat percakapan dalam kedua bahasa itu. Sanie memberikan artinya secara langsung dan menyediakan glosarium untuk 'kata-kata sulit' ini.

Akhirnya, sehubungan dengan problem mengenai keperawanan, yang memperhadapkan perempuan pada makhluk bernama laki-laki, secara arif Sanie menyampaikan bahwa memang ada laki-laki yang memandang bahwa keperawanan adalah sesuatu yang secara mutlak berhak didapatkannya, tetapi ada juga laki-laki, seperti Tenggar (hlm. 351) yang bisa berkata kepada perempuan yang ia cintai, "Ketika kau bersama seorang nanti, akan kuanggap kau hanyalah tersesat. Entah berapa lama ketersesatanmu, kenanganmu terhadapku akan membawamu kembali padaku".

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan