19 May 2012

Memori


Judul Buku: Memori
Pengarang: Windry Ramadhina
Desain Sampul: Jeffri Fernando
Tebal:viii + 304 hlm; 13 x19 cm
Cetakan: 1, 2012
Penerbit: GagasMedia





Salah satu keunggulan novel-novel produksi GagasMedia adalah desain sampul yang ciamik. Demikian pula desain sampul yang dikerjakan Jeffri Fernando untuk novel ketiga Windry Ramadhina yang bertajuk Memori. Apa yang hendak disampaikan dalam novel terwakili dengan baik dan elegan dalam sampul. Rumah. 

Novel ini memang bercerita tentang rumah. Setelah meninggalkan rumah ayahnya bertahun-tahun termasuk empat tahun menetap di Virginia, Mahoni, seorang arsitek, kembali ke rumah ayahnya. Ia memutuskan pulang walaupun tidak akan bertemu dengan ayahnya lagi. Sebuah kecelakaan mobil telah memutuskan kemungkinan mereka bisa bertemu.

Sebenarnya, Mahoni sangat mencintai ayahnya, hanya saja sikapnya berubah semenjak laki-laki itu berpisah dengan Mae, ibu Mahoni, kemudian menikahi Grace. Mahoni mengikuti ibunya, dan setelah lulus kuliah bertahun-tahun kemudian, ia pergi ke Amerika. Di Virginia, ia bekerja di sebuah biro arsitek yang meneguhkan idealismenya selaku arsitek.

Rencana untuk segera balik Virginia terpaksa tertunda karena tidak ada yang akan mengawasi Sigi, anak ayahnya dan Grace. Padahal Mahoni membenci Sigi sebagaimana ia membenci Grace. Tapi yang terjadi kemudian, demi Sigi, ia malah urung balik Virginia, dan tinggal lebih lama di Jakarta. Meskipun keputusannya ini membuatnya harus mengorbankan ambisi untuk bekerja sama dengan arsitek yang dipujanya, Frank O. Gehry.

Kepulangannya ke Jakarta secara tidak terduga membuka jalan ke ‘rumah’ lain yang ia tinggalkan begitu lulus kuliah. Terkadang, rumah memang berbentuk darah dan daging, dan rumah yang satu ini bernama Simon Marganda, si pemuja arsitek Rem Koolhaas. Tapi, rumah yang adalah kekasih masa lalunya ini telah dimiliki perempuan lain.

Semula, saya mengira, tulisan di sampul belakang novel dikutip dari dalam novel, sebagaimana mestinya. Ternyata, tulisan tidak penting itu berdiri sendiri dan tidak terkait secara signifikan dengan isi novel. Tulisan di sampul belakang ini berpotensi menyesatkan pembaca karena apa yang terkandung di dalamnya bukanlah inti permasalahan dalam novel. Memori memang bermuatan kisah cinta, tapi hanya salah satu lapisan dari berbagai lapisan cerita lainnya.

Lapisan dalam Memori terdiri dari jalinan cinta yang rumit, hubungan anak dan orangtua yang tidak harmonis, kegagalan rumah tangga yang menggerogot nyali, kebencian yang tidak bisa dilampiaskan, dan rasa kekeluargaan yang tumbuh pelan-pelan seiring terbangunnya kebersamaan. Semua materi itu diletakkan dalam sebuah dunia profesi bernama arsitek lengkap dengan problematika yang biasa muncul di dalamnya. Baik Mahoni maupun Simon berprofesi sebagai arsitek seperti pengarang.

Meskipun tidak istimewa dari segi cerita, Memori bukanlah novel yang membosankan dibaca. Pengarang sangat bertalenta dalam hal membangun karakterisasi dan mengolah rangkaian kalimat. Hal yang sama telah ia tunjukkan dalam dua novel sebelumnya, Orange dan Metropolis. Sehingga dalam waktu singkat, didukung penyuntingan yang apik, novel ini akan bisa dikhatamkan.

Berbeda dengan Orange dan Metropolis, dalam novel ini pengarang menggunakan sudut pandang orang pertama. Penggunaan sudut pandang ini hampir sempurna kalau saja ia tidak sempat sedikit terpeleset. Seharusnya, adegan Sofia mengajak bersulang teman-teman di Studio Moss tidak boleh muncul karena narator tidak menyaksikannya (hlm. 276-277).

Lalu, mengapa judul novel ini Memori? Karena memori yang menggerakkan kehidupan Mahoni. Ia meninggalkan Jakarta dan pergi ke Virginia karena memori. Ia meninggalkan Virginia dan kembali ke Jakarta karena memori juga. Lantas, setelah tinggal di rumah almarhum ayahnya, rombongan memori yang umumnya getir itu bermunculan satu demi satu, kemudian dinikmati oleh kita, para pembacanya. 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan