30 August 2012

Gadis Pakarena


Judul Buku: Gadis Pakarena
Pengarang: Khrisna Pabichara
Penyunting: Salahuddien Gz
Tebal: 180 halaman
Cetakan: 1, Juli 2012
Penerbit: Dolphin


 



Bagi sang narator, seorang laki-laki Makassar, Kim Mei adalah Gadis Pakarena. Meskipun berdarah Tionghoa, Mei belajar karawitan, bisa memainkan tunrung pakanjarak -tetabuhan kendang asal Makassar- dan menguasai tari Pakarena. Mereka saling mencintai, tapi suku, agama, ras, dan adat mengusik hubungan mereka. Keluarga sang narator membenci keluarga Mei, sedangkan keluarga Mei memandang remeh keluarga sang narator. Tapi kata sang narator, "Sungguh, aku lebih memilih cinta daripada tradisi yang abai meletakkan manusia pada tempat yang sesungguhnya." Maka ia meminta Mei untuk bertemu dua puluh tahun kemudian setelah mereka dipisahkan, di Cina tepatnya di tepi danau Dong Hu, di kota asal leluhur Mei, Wuhan. Akankah ia bertemu dengan sang kekasih? Sebuah luka lama yang masih menganga dalam lembaran gelap sejarah Indonesia diungkapkan dengan bisikan pedih di bagian akhir kisah ini. Inilah sebuah kisah kasih tak sampai yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan tapi memberikan kesedihan yang asing begitu kita menamatkannya.

Kisah di atas terdapat dalam cerpen yang judulnya digunakan sebagai judul kumpulan cerpen karya Krishna Pabichara, Gadis Pakarena. Cerpen-cerpen dalam kumpulan ini pernah dipublikasikan dalam kumpulan cerpen bertajuk Mengawini Ibu (Kayla Pustaka, 2010). Penerbit Dolphin menerbitkan kembali kumpulan cerpen ini dengan menambahkan dua cerpen baru, Laduka dan Pembunuh Parakang.

Kisah kasih tak sampai tidak hanya terjadi lantaran suku, agama, ras, dan adat. Tutu, narator dalam cerpen Selasar ditinggalkan Lebang, kekasihnya, sebulan sebelum pernikahan mereka. Tutu tidak bisa memahami keputusan Lebang mengkhianatinya dengan melakukan silariang atau kawin lari. Apalagi, Lebang kawin lari dengan Rangka, laki-laki beristri dua dan beranak delapan. Bagaimana mungkin Lebang mau dijadikan istri ketiga? Ada selentingan yang menyatakan bahwa Lebang terkena doti, mantra pengasihan yang dirapalkan Rangka. Setahun setelah Lebang menghilang, Tutu masih menunggu dengan kesetiaan yang tidak mampu dipahami kedua orangtua Lebang. Mungkinkah dia akan bertemu lagi dengan Lebang?  Seperti halnya dalam Gadis Pakarena, dalam cerpen ini pengarang menunjukkan bahwa laki-laki pun bisa patah hati karena asmara.

Lebang, yang meninggalkan Tutu, menceritakan kisah silariang-nya dalam cerpen Lebang dan Hatinya. Cerpen ini akan memperjelas ending dalam cerpen Selasar terkait dengan nasib Lebang. Ada yang sedikit mengganjal dalam cerpen kedua Tutu-Lebang-Rangka ini. Dalam kisah yang disampaikan Lebang, kita mengetahui bahwa ia minggat dengan Rangka pada hari yang sama setelah Tutu dan Rangka terlibat pertikaian. Sedangkan dalam Selasar, sebelum kabur, Lebang masih sempat menulis surat untuk Tutu meskipun hanya berisi dua kata:  Selamat Tinggal. 

Dalam cerpen Pembunuh Parakang, Rangka yang diposisikan sebagai narator orang pertama akan mengungkap alasan di balik tekadnya menghancurkan hidup Tutu yang adalah teman masa kecilnya. Parakang adalah makhluk jadi-jadian yang mengincar orang sekarat, dan Tutu memiliki kemampuan melihat parakang. Gara-gara Tutu, ibu Rangka yang adalah parakang, meninggal. Gara-gara Tutu pula, Rangka kehilangan gadis idamannya, Natisha Daeng Lebang. 

Lebang muncul kembali sebagai narator orang pertama dalam cerpen Hati Perempuan Sunyi. Dalam cerpen ini Lebang akan mengisahkan perkawinannya dengan Rangka yang terjadi di Prancis. Lebang juga akan membeberkan bisnis kotor yang dilakoni Rangka. Cerpen ini sebagaimana tiga cerpen Tutu-Lebang-Rangka lainnya, bisa berdiri sendiri. Tapi jika pengarang meniatkan empat cerpen ini sebagai satu kesatuan, kisah perkawinan di Prancis dan bisnis kotor Rangka, merupakan hal yang janggal. Dalam Pembunuh Parakang, Rangka menyatakan bahwa ia menetap dengan kedua istri dan anak-anaknya di Makalehi, sebuah pulau kecil di utara pulau Sulawesi (hlm. 142). Jadi, bagaimana mungkin mendadak Rangka muncul sebagai pebisnis di Eropa? 

Berbeda dengan Lebang dalam keempat cerpen tentang kehidupannya, Aisha dalam cerpen Silariang melakukan silariang dengan Tola, kekasihnya, sebagai bentuk perlawanan terhadap keluarga. Ketidaksetujuan ayah Aisha menikahkan putrinya dengan Tola disebabkan dendam lama. Ayah Aisha pernah meminang adik perempuan ayah Tola tapi ditolak mentah-mentah oleh kakek Tola. Kendati awalnya tidak merestui hubungan Tola dan Aisha, keluarga Tola akhirnya memutuskan melamar Aisha. Seperti yang sudah bisa diduga, ayah Aisha membalas dendam dengan menetapkan mahar yang tidak bisa dibayarkan keluarga Tola. Karena tidak bisa menikah dengan baik-baik, Aisha dan Tola memutuskan melakukan silariang. Tindakan mereka menimbulkan aib bagi keluarga Aisha yang berarti siri' yang mesti ditebus dengan nyawa. Sedangkan bagi pihak keluarga Tola, tindakan mereka menyebabkan keluarga Tola harus menanggung pacce. Lima tahun setelah meninggalkan Makassar, mereka belum bisa berdamai dengan keluarga. Sampai suatu hari, seorang mendatangi rumah mereka dan berkata, "Tola, kamu pasti tahu, badik yang tercabut dari sarungnya pantang kembali sebelum darah membasahinya!" (hlm. 98). Pembaca sudah bisa menduga apa yang akan terjadi walaupun pengarang tidak menceritakannya. 

Kisah kasih yang diporakporandakan oleh adat kembali dihadirkan dengan latar Turatea dalam cerpen Rumah Panggung di Kaki Bukit. Ada tiga kelas sosial dalam masyarakat Bugis, kelas terendah adalah ata, kemudian daeng, dan yang tertinggi adalah karaeng. Lelaki ata maupun daeng tidak akan gampang menikahi perempuan karaeng, sedangkan lelaki karaeng bisa menikahi perempuan mana pun yang disukai dari ketiga kelas. Lelaki ata atau daeng bisa menikahi perempuan karaeng jika  memenuhi syarat pammole cera' yaitu kaya, berilmu, dan alim. Kana, perempuan karaeng, saling mencintai dengan Bori, lelaki daeng. "Cinta memang tak memandang martabat," kata ayah Kana. "Tapi, pikirkan kehormatan keluarga. Tak layak kamu bersanding dengan Bori." (hlm. 65). Penolakan yang dialaminya memicu Bori mengadu nasib di Jakarta. Kana menunggunya dengan setia hingga lima belas tahun kemudian Bori mengabarkan kepulangannya dan telah memenuhi syarat pammole cera'. Bori pernah berjanji akan membangun bagi mereka berdua sebuah rumah panggung di kaki bukit dengan pelataran laut Makassar dan pemandangan menawan setiap senja. Juga sebuah keluarga bahagia dan cinta sepanjang masa. Tapi, apakah Bori masih tetap Bori yang dikenal dan dicintai Kana? Cerpen ini mengedepankan betapa getirnya pembalasan dendam, dan perempuan yang mesti menanggung akibatnya. 

Pengarang mengangkat kisah kasih yang sederhana dengan pengungkapan yang puitis dan bernas dalam cerpen Dilarang Mengarang Cerita di Hari Minggu. Cerpen yang dijadikan penutup kumpulan cerpen ini menyodorkan kisah kasih antara seorang pengarang asal Sumatra dengan gadis Makassar. Sungguh bukan hal yang mudah bagi mereka untuk bersatu lantaran keluarga sang gadis menganggap pengarang adalah pendusta. Kisah kasih mereka hampir berakhir hingga si gadis muncul dan bersedia menikahi si pengarang. Ada satu permintaan sang gadis, permintaan yang sangat sulit bagi si pengarang: jangan mengarang cerita di hari Minggu!

Keluarga juga menjadi tema yang dibesut pengarang, baik yang fungsional maupun disfungsional. Mengawini Ibu menceritakan apa yang terjadi dalam sebuah keluarga disfungsional sehubungan dengan urusan syahwat. Naura Shabina tidak bisa merespons libido tinggi Daen Sambang, sang suami, setelah mengalami kecelakaan. Karenanya, ia tidak protes ketika secara demonstratif Daeng Sambang memuaskan syahwatnya dengan berbagai perempuan yang namanya berawalan huruf N seperti dirinya. Apa yang dilakukan Daeng Sambang memicu kemarahan Rewa, putranya. Di mata Rewa, Daeng Sambang telah mengabaikan tradisi sipakatau -memanusiakan manusia. Lalu apa yang dilakukan Rewa untuk membalas perbuatan ayahnya? Ia meniduri perempuan yang diinginkan Daeng Samba untuk menjadi ibunya. 

Laduka, tokoh utama dalam cerpen Laduka, membangun keluarga disfungsional dengan Tari, mantan kekasihnya. Ketika hendak fokus dengan kehidupannya dan meninggalkan Tari, ia justru terpaksa harus menikahi perempuan itu. Padahal Tari hamil bukan akibat perbuatannya. Setelah menikah, Laduka mengadu nasib ke Jakarta. Ia tidak pernah kembali ke kampungnya, Tamarunang, hingga tiba saatnya Rewa, putranya, disunat. Ia kembali ke Sulawesi Selatan menumpang kapal laut, dan sementara gelombang menghantam kapal yang disesaki penumpang, kita bertanya-tanya: apakah Laduka akan bertemu dengan keluarganya?

Pandangannya mengenai tiga perempuan dalam hidupnya dituangkan pengarang dalam cerpen Riwayat Tiga Layar. "Tiga layar itu hanya dapat kubedakan, tidak dapat ditiadakan," katanya. Layar pertama, yaitu ibunya, adalah tanah, sabar dan tabah. Layar kedua, istrinya, adalah air, sejuk dan meneduhkan. Layar ketiga, putrinya, adalah angin yang sejuk dan menyejukkan. Sebagai laki-laki dalam keluarganya, ia menyebut dirinya layar keempat yang adalah api. "Aku bukan pemusnah karena tanah melemahkanku. Aku berguna karena air mencukupiku. Aku tak pernah mati karena angin menghidupiku," katanya lagi (hlm. 164). Dalam kelugasannya, cerpen ini adalah sebuah kisah keluarga yang manis dan indah.  

Pengarang tidak semata-mata membincang kisah kasih dan keluarga dalam cerpen-cerpennya. Ia juga mengais problematika yang bersumber dari budaya asalnya.  

Dalam kepercayaan tradisional Bugis, terdapat empat macam gender. Keempat gender yang dimaksud yaitu oroane (laki-laki), makunrai (perempuan), calalai (perempuan yang berpenampilan seperti laki-laki), dan calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti perempuan). Kombinasi dari keempat gender tersebut adalah golongan bissu. Umumnya, yang menjadi bissu adalah calabai karena dianggap suci dan tidak kotor karena tidak mendapat haid. Untuk menjadi bissu, seorang calabai harus mendapatkan panggilan spiritual, bisa berupa mimpi, sakit, atau pertanda lain. Apabila si calabai sudah bertekad bulat menjadi bissu, selama beberapa waktu, ia akan belajar di rumah puang matowa, pimpinan komunitas bissu. Ketika lulus, ia akan dilantik menjadi bissu baru dalam sebuah upacara yang disebut mapparebba. Upacara dilakukan sambil duduk mengelilingi arajang (bajak), tempat Tuhan yang mereka imani, Batara, akan muncul. Sebagai bissu, ia akan menjadi penghubung antara Batara, penguasa, dan manusia. Ia bertanggung jawab menentukan kapan musim tanam tiba ataupun tanggal-tanggal baik dan berbagai amanat lainnya. Kisah unik calabai yang menjadi bissu inilah yang dimunculkan pengarang dalam cerpen Arajang

Kulau bassi, batu hitam bertuah yang bisa membuat kebal terhadap segala jenis senjata, menjadi warisan yang tidak diinginkan narator cerpen Haji Baso. Karena tidak ingin menggunakan batu itu untuk kepentingan dirinya sendiri, ia meminjamkan kepada Baso, sepupunya. Begitu kulau bassi berada di tangannya, kehidupan Basso kontan berubah. Ia menjadi penguasa Pulogadung dan kaya raya berkat kemampuan mencopet. Setiap hari ia menampung perantau dari kampungnya dan mendidik mereka menjadi pencopet ulung. Haji Tutu, ayah Baso, ingin Baso naik haji dengan harapan Baso bisa bertobat. Baso merespons keinginan ayahnya, dan jadilah ia Haji Baso. Sayangnya setelah menjadi haji, Baso tetap tidak berubah. Siapa yang salah? Baso atau sang narator yang meminjamkan kulau bassi kepada Baso?     

Setelah ditampilkan dalam cerpen Haji Baso, Silariang, Lebang dan Hatinya, badik dimunculkan lagi dalam cerpen Ulu Badik Ulu Hati. Sebagaimana cerpen Haji Baso, kisah dalam cerpen ini berlatar tempat di luar Sulawesi Selatan. Sampara, seorang lelaki Makassar yang sudah lama menetap di sebuah kampung di kaki Gunung Pongkor, Bogor, kehilangan putri semata wayangnya. Putrinya dibunuh dan ditemukan dengan kelamin koyak dan kepala remuk di mulut kampung. Di dekatnya, ditemukan pula pakaian milik Hasan, jawara yang menjadi sahabat Sampara. Kematian putri Sampara diikuti kematian Hasan, di TKP yang sama. Hasan ditemukan mati dengan badan penuh tikaman badik, dan badik yang tertancap di ulu hatinya adalah badik milik Sampara. Benarkah Hasan yang membunuh putri Sampara sehingga Sampara membalas dengan menikamkan badiknya ke tubuh Hasan? Atau mereka hanyalah korban adu domba terkait tambang emas dan apa yang mereka lakukan sebagai gurandil (penambang emas liar)? Sebuah kisah yang dibuka dan ditutup dengan mengenaskan. 

Gadis Pakarena
karya Khrisna Pabichara kental dengan nuansa lokal Sulawesi Selatan, termasuk dalam cerpen-cerpen yang kisahnya terjadi di luar daerah. Kita akan mengenal lebih dekat kebudayaan Bugis-Makassar sekaligus problematika yang biasa muncul di dalamnya. Menariknya, sebagai orang Makassar, pengarang tidak terlilit semangat menggebu-gebu untuk membela secara mentah-mentah orang-orang sedaerah. Semua karakter ditampilkan secara jujur dan manusiawi. Kebaikan dan kejahatan adalah bagian dari kehidupan mereka sebagai manusia, seperti orang-orang di tempat lain. 

Pengarang mendedahkan kisah-kisahnya dengan cita rasa yang cenderung puitis. Tapi, dalam kepuitisannya, rangkaian kalimatnya tidak menjadi berlebihan sehingga membosankan diikuti. Di tangannya, kisah yang sederhana pun, hadir dengan memukau dan enak dibaca.

Jujur, saya kurang suka dengan kutipan yang diletakkan sebelum cerpen dengan huruf yang dicetak lebih besar dan tebal. Menurut saya hal ini tidak perlu karena malah ada beberapa yang sebenarnya bisa dikategorikan spoiler. Kutipan sebelum cerpen Laduka, Gadis Pakarena, dan Arajang cukup mengganggu kenikmatan membaca.

4 comments:

Oky said... Reply Comment

Nice review as always :D

Ini buku yg kental dengan aspek budaya ya. Indonesia harus punya lebih banyak lit seperti ini.

Anonymous said... Reply Comment

unsur budayanya kental sekali ya... bisa jadi acuan utk tahu ttg budaya bugis makassar... dan penulis banyak menjabarkan hal2 detil dari budaya setempat itu.

utk kutipan di awal bab yg bersifat spoiler, sayang sekali ya.. semoga penerbit mengetahui masukan ini dan memperbaiki utk berikutnya.

Jody said... Reply Comment

@Oky: setuju. Kita memang hrs punya karya2 spt ini, karena bukan cuma menarik, juga memperkaya khazanah sastra kita.

Terima kasih.

Jody said... Reply Comment

@Mademelani: buku ini menjadi semacam perkenalan bagi budaya Bugis Makassar... saya suka dengan konflik2 yg muncul karena perbenturan budaya dlm buku ini.



Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan