08 April 2013

Penari Kecil



Judul Buku: Penari Kecil
Penulis: Sari Safitri Mohan
Penyunting: Donna Widjajanto
Tebal: 384 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Februari 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 


Penari Kecil adalah julukan bagi Ira, putri bungsu dari pasangan pengusaha tailor, Ibrahim dan Sofia. Julukan ini diberikan Ibrahim  karena sewaktu batita,  Ira selalu menari-nari setiap kali mendengar lagu Tiny Dancer (Penari Kecil) dari Elton John diputar di radio. 
 
Pada umur sembilan tahun, Ira mulai belajar menari, dan sejak saat itu, tidak berniat melepaskan kegemarannya pada tari. Meskipun ayahnya mencoba menepis keinginan Ira menjadi penari dengan alasan tidak menghasilkan uang, Ira tetap bertekad menjadi penari. Oleh karena itu, selulus SMA, bukannya melanjutkan kuliah ke fakultas ekonomi atau teknik, sesuai kehendak Ibrahim, Ira bersikukuh masuk sekolah seni untuk memperdalam kemampuan menari. 
 
Mengapa Ira sangat suka menari? Karena ketika menari, Ira akan merasakan kebahagiaan dan melupakan segala masalah di sekelilingnya. Ia tidak akan mengingat kemarahan-kemarahan ayahnya dan semua ketegangan yang ditimbulkan laki-laki itu di rumah. 
 
Ibrahim bukanlah seorang ayah yang mau bermanja-manja dengan anak-anaknya. Ia membesarkan Ira dan Intan, kakak Ira, dengan disiplin, galak, dan perfeksionis. Jika ada yang tidak berjalan sesuai kehendaknya, dengan mudah kemarahannya akan meledak. Ia pun sangat hemat dalam berbicara,sehingga menimbulkan kegentaran di dalam hati kedua anak perempuannya. Ibrahim ibarat kitab suci berjalan: penuh petuah, larangan, dan aturan. Tidak gampang membuatnya senang.
 
Meskipun tersiksa dengan sikap ayahnya, Ira belajar untuk tidak menangis di hadapannya. Karena bagi Ibrahim, menangis adalah tanda kelemahan. Itulah sebabnya, Ira berhasil menahan tangis tatkala ayahnya  mengeluarkan kecoak dari dalam stoples untuk menguji keberaniannya. 
 
Dalam soal kepatuhan, Intan yang takut pada ayahnya adalah yang nomor satu. Sedangkan Ira, tidak selalu menerima mentah-mentah kata-kata ayahnya. Ia selalu membuat penyesuaian dalam melaksanakan peraturan ayahnya demi mendapatkan apa yang ia inginkan. Tapi ketika passion-nya pada tari terancam, serta-merta ia akan menabrak peraturan ayahnya. Makanya, kendati tidak diizinkan Ibrahim, selulus SMA, ia tetap masuk sekolah seni.
 
Aku tidak pernah mau jadi ekstremis. I like everything in moderation. Lebih menyehatkan. Aku hanya mau jadi ekstremis dalam menari (hlm. 331). 
 
Pacaran bukanlah hal yang diperkenankan Ibrahim selama anak-anaknya masih SMA. Ia mematuhi peraturan tak tertulis itu meski ada teman sekolah yang mulai mengindikasikan ketertarikan padanya. Tapi setelah menjadi mahasiswi sekolah seni, Ira merespons tawaran cinta  seorang pemuda. Sesuatu yang tergolong berani mengingat sang pemuda tidak seagama dengannya. Akibatnya, Ira tidak pernah berani mengenalkan kekasihnya kepada orangtuanya. Dan bagaimana pun baiknya sang pemuda, hubungan mereka retak di tengah jalan. 
 
Setelah lulus sekolah seni, Ira berusaha melepaskan diri dari kungkungan ayahnya. Ia meninggalkan Yogyakarta dan bekerja di Forum Seni Indonesia -lembaca sejenis LSM yang bertujuan melestarikan budaya Indonesia dan mengenalkan ke mancanegara- di Jakarta. Tibalah saatnya untuk menjadi penari yang bisa melanglang buana karena bakat dan passion-nya. Tapi di tengah-tengah pengelanaannya, Ira menyadari, ia tidak akan pernah terbebaskan dari ayahnya, sekalipun ia telah mencoba berkelit dari peraturan sang datuk yang tanpa kompromi. 

Satu hal yang harus aku jamin adalah bahwa aku benar. Aku tak mau sampai menunduk di depan Papa jika akhirnya keputusanku salah. Aku harus menghadapi Papa dengan wajah tegak. Tanpa tangis, tanpa penyesalan. Aku tidak bisa hidup kalau tahu aku salah. Itu sama saja mengakui bahwa ayahkulah yang menang (hlm. 331).
 
Dan karena dia ayahku, itulah kenapa aku tak bisa kehilangan muka. Ia hanya memberi respons pada hal-hal yang buruk. Dia sangat tenang dan diam pada hal-hal yang membanggakan dan menyenangkan. Aku tidak akan memberikan alasan pada ayahku untuk marah-marah padaku. Aku tidak akan mau menunduk dan merasa bersalah di depannya (hlm. 332).
 
Membaca novel Penari Kecil kita seakan-akan tidak sedang membaca novel melainkan sebuah autobiografi dari seorang penari. Penulis membuat kita menelusuri kehidupan Ira, sejak ia dilahirkan hingga ia mengarungi kehidupan dengan laki-laki yang dicintai dan mencintainya. Sebelumnya, penulis menguraikan kisah Ibrahim dan Sofia, orangtua Ira, untuk menjelaskan terbentuknya sosok Papa yang Ira dan Intan kenal. 
 
Layaknya sebuah autobiografi seseorang yang dirangkai dari berbagai masalah kehidupan yang dialaminya, Penari Kecil memiliki multikonflik. Pernikahan dan pertengkaran Ibrahim dan Sofia. Ketidakhadiran anak laki-laki yang membuat Ibrahim frustrasi. Ketakutan dan kepatuhan Intan pada ayahnya. Kecerdasan Ira dalam merespons segala peraturan ayahnya. Pemberontakan Intan yang membuat syok seisi keluarga. Kisah cinta Ira yang terhalang perbedaan agama. Keberanian Ira untuk melanggar keinginan ayahnya dalam menentukan masa depannya. Penari Kecil tidak hanya menjabarkan konflik internal dalam keluarga Ibrahim dan Sofia. Tapi juga konflik yang menimpa keluarga salah satu saudara laki-laki Sofia. Di dalamnya terdapat seorang istri yang tabah menghadapi kebejatan suaminya, dan anak-anak yang terguncang karena ayah yang tidak bertanggung jawab. 
 
Penulis merangkai semua kisah dan konflik dalam novel ini dalam alur yang lurus, jelas, dan mengalir lancar. Kita akan didorongnya untuk terus berkutat membaca kesederhaaan rangkaian kalimat yang tanpa berbunga-bunga. Karakterisasinya pun sangat kuat, membuat kita dengan gampang memahami tindakan para tokohnya sekalipun tidak menyenangkan hati kita. Setiap konflik yang diimbuhkan penulis ke dalam alur membuat novel ini terasa membumi dan dekat dengan keseharian kita. Kita akan mengenal setiap konflik yang ada, karena kemungkinan besar pernah kita alami atau kita saksikan dalam kehidupan orang di sekeliling kita. Penulis menandaskan bahwa kehidupan sebuah keluarga tidak akan pernah steril konflik karena walaupun terikat secara genetika, tidak otomatis membuat paradigma setiap anggota keluarga menjadi identik. 
 
Secara keseluruhan saya suka dengan cara penulis berkisah. Tapi saya kurang suka pada bagian pamungkas yang terasa dipaksakan. Saya berharap, pada akhirnya, reformasi akan terjadi dalam keluarga Ira. Ibrahim akan membiarkan anak-anaknya memilih dan menentukan hidup mereka sendiri. Tapi ternyata, hingga novel hampir selesai, Ibrahim tidak pernah memodifikasi peraturan yang telah ditetapkannya sejak dini. Keputusan yang diambil laki-laki yang mencintai Ira membunuh harapan saya.
 
Menyoal latar tempat yang dipakainya, penulis berhasil meyakinkan saya. Sejak dari Yogyakarta -tempat kelahirannya- hingga New York -tempat tinggalnya sekarang, ia berhasil membuat saya percaya jika narator orang pertamanya benar-benar pernah berada di tempat-tempat itu. Deskripsinya mengenai tempat kejadian perkara memang tidak berlebihan tapi cukup representatif. 
 
Apakah Ira berhasil mempertahankan keteguhannya untuk tidak berurai air mata di hadapan ayahnya? Temukan sendiri jawabannya dalam novel bersampul hitam-putih dengan ilustrasi seorang perempuan yang sedang menari ini.

Sebelum menerbitkan Penari Kecil, Sari Safitri Mohan telah menerbitkan Tak Akan Habis Duniaku (2004), Rembulan Gading (2010), dan Negeri Neri (2012). 


0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan