01 July 2012

Ibuk,


Judul Buku: Ibuk,
Penulis: Iwan Setyawan
Editor: Mirna Yulistianti
Tebal: 312 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 1, Juni 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 


Ibuk melalui hidup sebagai perjuangan. Tidak melihatnya sebagai penderitaan (hlm. 140).

 
Dalam novelnya yang pertama -9 Summers 10 Autumns, Dari Kota Apel ke The Big Apple- Iwan Setyawan menulis, "Ibuku, Ngatinah, adalah cinta, kesederhanaan, dan ketegaran." (hlm. 30). Pernyataannya ini dikembangkan dalam novel keduanya yang diberi judul Ibuk,.

Perjuangan Ngatinah alias Ibuk yang dilandasi cinta, kesederhanaan, dan ketegaran ini dimulai di Pasar Batu, ketika ia membantu neneknya berdagang baju bekas, setelah putus sekolah. Di pasar inilah, pada umur 17 tahun, ia bertemu Abdul Hasyim atau Sim yang dicap sebagai playboy pasar. Sim berumur 23 tahun, sudah putus sekolah, dan saat itu bekerja sebagai kenek angkot. 

Cinta membutuhkan sebuah keberanian untuk membuka pintu hati
, tulis Iwan (hlm. 15). Maka Sim pun segera melakukan pendekatan untuk membuka pintu hati Tinah. Hingga suatu hari ia mengungkapkan keinginan memperistri Tinah dengan mengatakan, "Kamu mau gak hidup susah sama aku. Kita, hidup berdua...." (hlm.  20).

Mereka pun menikah hanya berbekal keberanian untuk menjalani hidup bersama. Dari pernikahan mereka lahir lima orang anak. Bagi Isa, Nani, Bayek, Rini, dan Mira, Sim adalah Bapak dan Tinah adalah Ibuk. "Membesarkan lima orang anak membutuhkan napas yang panjang. Tak pernah mudah, tak pernah berhenti." (hlm. 37-38).  Di sinilah Ibuk harus menunjukkan perannya sebagai seorang ibu.

Tanpa mengesampingkan peran Bapak sebagai pencari nafkah, yang membawa angkotnya sejak pagi hingga malam, Ibuklah yang bertanggung jawab memastikan setiap hari keluarganya bisa makan. Ibuklah yang mencari solusi manakala anak-anak mengalami permasalahan terkait dengan sekolah mereka, butuh buku atau sepatu baru dan sudah harus membayar SPP dan uang bangunan, padahal sedang tidak punya uang. Setiap hari Bapak menyetor penghasilannya sebagai sopir angkot untuk membuat dapur tetap mengepul. Jika ada yang tersisa, uangnya ditabung atau dibelikan perhiasan emas karena Ibuk tahu pada saat-saat sulit, uang atau perhiasan yang ada bisa membantu. Dan jika uang atau perhiasan tidak ada lagi, Ibu tidak segan meminjam uang demi anak-anak, apalagi kalau Bapak tidak menyetorkan uang lantaran angkotnya bermasalah. 

 
Cinta, itulah yang melahirkan tekad dalam diri Ibuk untuk membantu membuka jalan kepada kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Saat memandang langit-langit dapur yang penuh jelaga Ibuk merenung. "Dapur ini penuh dengan jelaga. Hidup ini mungkin akan penuh jelaga juga. Tapi anak-anakkulah yang akan memberi warna terang dalam hidupku. Ini hartaku. Dan kini saatnya, semua yang telah keluar dari rahimku bisa hidup bahagia. Tanpa jelaga." (hlm. 52).

Suatu saat dalam kehidupannya, Bayek, anak laki-laki satunya yang tidak lain adalah Iwan Setyawan sendiri, menuliskan puisi untuk Ibuk. Dalam puisi itu, Bayek mengenang apa yang telah dilakukan Ibuk:

Kau bangun jembatan agar mereka tak melalui kail yang keruh/Kau gendong jiwa mereka agar selalu hangat/Kau nyalakan lentera hati mereka.../

Kau tak hanya berjanji./Kau berikan nafasmu/Kau genggam anak-anakmu./Kau genggam erat./ Di tanganmu yang halus, kau pastikan/Mereka tidak terjatuh... 

 (hlm. 71).

Ketika Bayek lulus SMA dan akan melanjutkan kuliah di IPB, tidak ada dana untuk memuluskan perjalanannya. Tapi Ibuk memutuskan Bayek tetap harus pergi. Ibuk tidak hanya meminjam uang, melainkan juga bersepakat dengan Bapak untuk menjual angkot yang telah menjadi sandaran hidup mereka. Demi Bayek bisa kuliah dan tidak menjadi sopir angkot seperti dirinya, Bapak pun rela melepaskan angkot yang dibelinya setelah sekian lama bekerja keras.

Karena masih menulis kisah yang bersumber dari pengalaman pribadi dan keluarganya, Iwan menjadikan Ibuk, sebagai novel pelengkap dari novel sebelumnya. Di sini Iwan mempertebal peranan Ibuk bagi kehidupan keluarga, melengkapi bagian kehidupannya di New York yang tidak dimunculkan dalam novel sebelumnya, dan menambahkan apa yang terjadi setelah novel pertama diterbitkan.

Keseluruhannya tetap sedap dibaca karena Iwan memang menulis kisahnya tetap dengan kelugasan dan kerenyahan seperti dalam 9 Summers 10 Autumns. Pada beberapa tempat, meskipun mengulang kisah dalam buku pendahulunya, Ibuk, tetap terasa mengharukan. Tidak membutuhkan waktu lama, novel ini segera bisa ditamatkan. Ukuran huruf yang memanjakan mata tentu saja ikut berpengaruh.

Selama membaca, saya membayangkan jika Iwan berani bereksperimen dalam hal sudut pandang atau narator. Novel pertama menggunakan narator orang pertama, dari sudut pandang Iwan sendiri, sedangkan novel ini menggunakan narator orang ketiga yang sempat disela narator orang pertama. Meskipun peranan Ibuk dalam novel ini sangat terasa, saya membayangkan Iwan akan menggunakan Ibuk sebagai narator orang pertama sehingga semua perasaannya bisa lebih tergali, termasuk pada masa-masa Bayek bekerja di New York. Ibuk memang  tidak sedang bersama Bayek, tapi bisa disiasati melalui penuturan kembali dari kisah yang ia dengar dari anaknya. Kemungkinan ini cukup besar, apalagi jika membaca kata-kata Pramoedya Ananta Toer yang dikutip di bagian penutup novel. "A mother knows what her child's gone through, even if she didn't see it herself." (hlm. 290).

Selain hubungan Bayek dan Ibuk yang mendalam, hubungan Bayek dengan empat saudara perempuannya juga menjadi bagian yang menggugah dalam novel ini. Hati terasa hangat mengikuti kisah Bayek yang begitu dekat dengan keempat saudaranya dan bertekad menyelesaikan misi untuk membahagiakan mereka.

Tapi bagian paling menarik, tentu saja, perjalanan cinta Bapak dan Ibuk.

"40 tahun lebih mereka mengarungi lautan kehidupan. Berawal dari pasar sayur Batu, mereka berlayar. Terus berlayar. Cinta mereka tak pernah usang, bahkan semakin kuat. Badai kerap mengempas perjalanan hidup tapi perahu mereka juga semakin kuat, cinta mereka semakin kokoh. Mereka adalah belahan jiwa satu sama lain." (hlm. 245).

Di penghujung perjalanannya, setelah hidup dalam cinta keluarganya, terutama cinta Ibuk, Iwan menulis: "Mencintai tidak bisa menunggu." Sungguh indah, dan inspiratif. 

 


Catatan:
Ibuk, (pakai koma di belakang) adalah novel kedua yang ditulis Iwan Setyawan. Novel pertamanya, 9 Summers 10 Autumns, Dari Kota Apel ke The Big Apple (Februari, 2011) menjadi national best seller dan pada tahun penerbitannya mendapat penghargaan Buku Terbaik Jakarta Book Award dan Saniharto Award. Versi bahasa Inggris dari novel ini,  9 Summers 10 Autumns, From the City of Apples to The Big Apple diterbitkan pada Oktober 2011. Novel ini akan diadaptasi menjadi film layar lebar yang rencananya dirilis pada Hari Ibu, 22 Desember 2012. Film yang akan menjadi karya penyutradaraan Ifa Isfansyah berdasarkan skenario yang ditulis Fajar Nugros ini mendapuk Oka Antara sebagai Iwan, Dewi Irawan sebagai Ibuk, dan Alex Komang sebagai Bapak.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan