10 November 2012

Kubah



Judul Buku: Kubah
Pengarang: Ahmad Tohari
Tebal: 216 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: ketiga, September 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

 



Setelah dua belas tahun menjadi tahanan politik di Pulau Buru, Maluku Utara, Karman dibebaskan.. Ada perasaan terasing melandanya ketika pulang kampung. Bukan hanya karena kampungnya telah berubah seiring perjalanan waktu. Tapi karena ia sedang dalam keadaan kehilangan dan merasa tidak berarti apa-apa. Sewaktu dibuang ke Pulau Buru, satu-satunya yang membuat ia tetap hidup adalah harapan untuk kembali bersama dengan istri dan anak-anaknya. Sekarang istrinya, Marni, telah menceraikannya dan menikahi pria sekampung yang menceraikan istrinya pula, Parta. Salah satu dari tiga anaknya pun telah meninggal. 

Tapi pertanyaan terbesar, tentu saja, apakah masyarakat Kampung Pegaten bisa menerima dirinya yang telah meninggalkan agama dan menjadi komunis kemudian berakhir sebagai tahanan politik? Tahun 1977, ketika ia pulang, geger Oktober 1965 sudah kehilangan gaungnya di kampung. Orang-orang yang pernah tersangkut organisasi komunis telah berbaur kembali. Sehingga bisa dipastikan, Karman, yang juga telah bertobat lantaran perkenalannya dengan Kapten Somad di Pulau Buru, akan bisa diterima oleh masyarakat kampung.

Kubah, novel pertama Ahmad Tohari, berpijak pada peristiwa Gestapu tahun 1965. Di sini, Tohari tidak melontarkan sinisme terhadap peristiwa yang hingga saat ini masih dikungkungi kabut ketidakjelasan. Atau mempertanyakan kebenaran dan sekian banyak manusia yang menjadi korban dalam aksi pembasmian yang dilaksanakan pihak militer. Bisa jadi karena saat buku ini pertama kali diterbitkan (1980), Indonesia sedang berada dalam cengkeraman rezim Soeharto yang menjadikan para komunis sebagai pemikul dosa sejarah yang amat berat dan tak tertanggungkan. Tanpa tedeng aling-aling Tohari menandaskan bahwa pilihan hidup Karman menjadi komunis adalah pilihan yang keliru, dan oleh karena itu, ia mesti menanggung akibat dari pilihannya.  

Sebagian besar isi novel ini bukanlah tentang pemulihan Karman dari bekas tahanan politik kembali menjadi bagian masyarakat Pegaten. Kita tidak akan banyak mendapatkan pergumulan pribadi Karman untuk mendapatkan kembali tempatnya di tengah masyarakat, padahal hal ini berpotensi melahirkan kisah yang lebih menggugah perasaan. Semua seolah berlangsung dengan mudah, tidak ada kontra, seakan-akan peristiwa menggegerkan di tahun 1965 itu tidak pernah terjadi dan memberikan dampak apa-apa. Bahkan Tohari menyatakan bahwa: "Geger peristiwa Oktober 1965 sudah dilupakan orang." (hlm. 38). Padahal, saat itu tahun 1977, dan rezim yang berkuasa masih sedang gencar-gencarnya mempropagandakan dosa-dosa komunis. 

Masa lalu Karman, dari seorang Muslim yang beribadah di Masjid Haji Bakir hingga menjadi komunis yang kemudian terdampar sebagai tahanan politik, menjadi bagian paling utama dalam novel ini. Tohari bisa dikatakan berhasil menyampaikan transformasi yang dialami Karman, lengkap dengan motif di belakangnya. Meskipun harus diakui, bagian utama ini juga menyimpan bagian-bagian yang terkesan hanya dijejalkan untuk mempertebal novel. 

Tanpa sepengetahuannya, Haji Bakir telah menjadi katalisator transformasi Karman menjadi seorang komunis. Tidak hanya dianggap telah berlaku tidak adil lantaran menyilih sawah satu setengah hektar milik keluarga Karman dengan satu ton padi. Tapi juga karena dua kali menolak Karman saat meminang Rifah, putrinya. Selain mendamaikan Karman dengan masyarakat Pegaten, Tohari merasa perlu terlebih dahulu mendamaikan Karman dengan Haji Bakir. Hal ini ditunjukkannya melalui pernikahan Jabir, putri Rifah, dengan Tini, putri Karman. Pendamaian ini - dengan Haji Bakir dan masyarakat Pegaten- menyatu dalam usaha pemugaran masjid pada bagian akhir novel. Karman menyodorkan dirinya untuk membuat kubah baru bagi Masjid Haji Bakir. 

".. Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan yang istimewa. Se-sen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa. Bagaimana juga sepulang dari pengasingan, ia merasa ada yang hilang pada dirinya. Ia ingin memperoleh kembali bagian yang hilang itu. Bila ia dapat memberi sebuah kubah yang bagus kepada orang-orang Pegaten, ia berharap memperoleh apa yang hilang itu. Atau setidaknya Karman bisa membuktikan bahwa dari seorang bekas tahanan politik seperti dia masih dapat diharapkan sesuatu!." (hlm.  209-210).

Sejujurnya, saya kurang bisa menikmati Novel Terbaik 1981 Yayasan Buku Utama Kementerian P & K ini. Bahkan sedikit merasa bosan dengan kejadian yang disisipkan dalam hidup Karman di seputar tahun 1965. Saya semakin merasa kurang puas tatkala rekonsiliasi antara Karman dan warga Pegaten berlangsung tanpa kesulitan, tanpa perlawanan sedikit pun.  Terasa tidak realistis.

Saya pikir, usaha Karman membuat kubah masjid Haji Bakir perlu mendapatkan porsi penceritaan yang lebih. Supaya makna mahkota masjid itu benar-benar terasa selama membaca novel yang sudah diterbitkan dalam bahasa Jepang ini.




Foto Ahmad Tohari diambil di sini


2 comments:

lasmi said... Reply Comment

membaca karya-karya Ahmad Tohari, membuatku terhanyut ke dalam alur cerita yang disuguhkan, terharu, terkesan, dan menusuk sampai ke dalam hati ini. Ahmad Tohari berjuang untuk orang terpinggirkan baik dalam tulisannya, maupun dalam kehidupan nyata. Semoga beliau tetap sehat dan ada dalam lindungan Allah Swt. amin....

Jody said... Reply Comment

Aku juga suka karya-karya Ahmad Tohari, tapi kurang sreg dengan buku ini.

Terima kasih telah berkunjung :)

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan