07 November 2012

¿Quién mató a Palomino Molero?


Judul Buku: Siapa Pembunuh Palomino Molero? 
Judul Asli : ¿Quién mató a Palomino Molero?
Penulis: Mario Vargas Llosa (1986)
Penerjemah: Ronny Agustinus
Dari: Edisi ke-7 (1997)
Tebal: xiv + 192 hlm; 13 x 18,5 cm
Cetakan: 1, Mei 2012
Penerbit: Komodo Books
 
 





"Bocah itu tergantung pada pohon khurnub tua dengan posisi yang begitu absurd sampai-sampai lebih mirip orang-orangan sawah atau boneka karnaval rusak ketimbang mayat. Entah sebelum atau sesudah dibunuh ia dihajar dengan kekejaman tiada tara: hidung dan mulutnya robek, darah kering bergumpal-gumpal, mukanya lebam penuh luka sayat dan sundutan rokok. Dan seakan itu belum cukup, Lituma melihat mereka juga mencoba mengebirinya, karena buah zakarnya melorot menutupi pangkal paha. Ia bertelanjang kaki, bagian pinggang ke bawah bugil, dengan kemeja compang-camping." (hlm. 7).

Palomino Molero, putra semata wayang seorang janda, dikenal banyak orang sebagai pemuda dari Piura yang piawai menyanyikan bolero. Ia adalah seorang penerbang yang bertugas di Pangkalan Angkatan Udara yang dikomandani Kolonel Mindreau. Ia tewas meninggalkan tanda tanya besar: siapa yang telah membunuh dirinya sedemikian rupa? 

Letnan Silva dan bawahannya, Lituna, dua polisi desa, bergerak untuk mengivestigasi pembunuhan yang menghebohkan Talara itu. Meskipun tidak semua merespons dengan baik upaya mereka, tapi mereka berhasil menanyai beberapa orang. Kolonel Mindreau, komandan pangkalan Angkatan Udara, yang meremehkan Guardia Civil. Dona Asunta, ibu Palomino, yang tidak bisa memahami keputusan Palomino untuk sukarela mendaftar ke Dinas Militer di Angkatan Udara. Dona Lupe yang sempat menampung Palomino sebelum pemuda itu diculik, kemudian ditemukan mati. Letnan Ricardo Dufo, pacar dari putri Kolonel Mindreau yang merasa hancur gara-gara dijauhkan dari pacarnya padahal setahun lagi akan menikah. Alicia Mindreau, sang pacar, yang tidak cantik tapi menarik, yang kepadanya setiap malam sebelum meninggal, Palomino mempersembahkan serenadenya. 

Dari penyelidikan mereka terungkap bahwa kematian Palomino terkait dengan kisah cinta yang pincang karena perbedaan status sosial. Kisah cinta ini dibayang-bayangi oleh dendam, inses, dan kegilaan dengan porsi yang tidak pasti yang berakhir menjadi tragedi. Yang pasti, kedua polisi desa itu berhasil menyingkapkan tabir kasus pembunuhan Palomino Molero. Kendati keberhasilan mereka tidak pelak akan menjadi hukuman bagi mereka.
 
Novel ¿Quién mató a Palomino Molero? yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Siapa Pembunuh Palomino Molero? dan berseting Peru tahun 1950-an adalah karya penulis Peru bernama lengkap Jorge Mario Pedro Vargas Llosarset. Selain sebagai penulis, ia juga dikenal sebagai politikus yang pada tahun 1990 maju dalam pemilihan presiden membawa ide reformasi tapi dikalahkan oleh Alberto Fujimori. Ia memenangkan hadiah Nobel Sastra pada tahun 2010 "untuk pemetaan struktur kekuasaan dan gambaran yang tajam atas perlawanan individu, pemberontakan, dan kekalahannya." Saat ini, ia adalah sastrawan Amerika Latin yang paling berpengaruh di dunia. 

Tidak hanya memiliki kisah beraroma misteri yang tajam, novel yang tidak begitu panjang ini mengedepankan berbagai karakter yang menarik dan mengesankan karena sangat apa adanya. Terutama, tentu saja, karakter kedua polisi desa yang mengusut kasus pembunuhan Palomino Molero. Lituma adalah prototipe bawahan yang hanya mengikuti atasannya, mengamati sambil berpikir, mengapresiasi situasi dan keadaan orang-orang yang mereka temui. Letnan Silva, polisi yang baik, memiliki kecakapan dalam hal mengorek informasi dari orang-orang yang diwawancarai dengan cara persuasif. Ia putih dan tampan serta gampang menyita perhatian cewek, tapi justru tergila-gila pada Dona Adriana, perempuan gendut  yang sudah bersuami. Kisah Letnan Silva dan Dona Adriana mengambil tempat yang cukup dalam novel ini, tidak berlebihan, tapi membuat novel ini semakin menggairahkan untuk diikuti. 

Karena tidak membaca versi asli yang ditulis dalam bahasa Spanyol -lagi pula saya tidak bisa berbahasa Spanyol- saya tidak bisa mengapresiasi lebih baik penggunaan bahasa dan pemilihan diksi dari sang pengarang. Tapi hasil terjemahan ke dalam bahasa Indonesia menunjukkan bahwa novel ini ditulis dengan bahasa kalangan bawah yang cederung vulgar. Ronny Agustinus yang antara lain telah menerjemahkan dengan gemilang
La casa de los espíritus (Rumah Arwah) dan Retrato en sepia (Potret Warna Sephia) karya Isabelle Allende ke dalam bahasa Indonesia berhasil menyilih kekasaran bahasa Llosa dalam bahasa Indonesia. Kita misalnya akan mendapatkan kata-kata seperti lonte, taik, tai, kutukupret, bunting, bangsat, jembut, digunakan dengan luwes dalam terjemahannya. Secara keseluruhan, hasil terjemahan edisi Indonesia sangat bagus, bahkan memberi kesan merupakan karya asli sang penerjemah. Dan yang pasti, dengan hasil terjemahan seperti ini, novel ini tidak cocok untuk dikonsumsi pembaca anak-anak dan remaja.

Apa yang ingin disampaikan penulis kelahiran Peru 28 Maret 1936 ini lewat kisah pembunuhan Palomino Molero, investigasi kasus kematiannya, kemudian penciptaan versi berbeda dari apa yang ditemukan kedua polisi desa itu pada akhir kisah? Jawabannya adalah bahwa kekuasaan kalangan ataslah yang menentukan bagaimana hukum dijalankan, dan keadilan bukan milik kalangan bawah. Sebuah kondisi menyedihkan yang kemungkinan besar masih berlangsung di Peru saat ini, dan juga masih terjadi di negara kita, Indonesia yang kita cintai.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan