25 December 2012

The Christmas Shoes


Judul Buku: The Christmas Shoes
Pengarang: Donna VanLiere (2001)
Penerjemah: Joas Adiprasetya
Tebal: 198 halaman
Cetakan: 1, November 2005

Penerbit: Gradien Books

 


Jika kita bersikap terbuka, Allah dapat memakai bahkan hal terkecil pun untuk mengubah kehidupan kita ... untuk mengubah kita. Mungkin hal itu adalah seorang anak yang tertawa, rem mobil yang membutuhkan perbaikan, obral daging panggang, langit tak berawan, sebuah perjalanan ke hutan untuk menebang pohon Natal, seorang guru sekolah dasar, sebuah pipa Dunhill Billiard ... atau bahkan sepasang sepatu (hlm. 194).

 


The Christmas Shoes (Sepatu Natal) adalah novel yang ditulis berdasarkan lagu Natal berjudul sama karya Eddie Carswell dan Leonard Ahlstrom (NewSong). Lagu ini mengisahkan tentang seorang yang tanpa semangat Natal sedang antre di sebuah toko untuk mencoba membeli hadiah Natal. Di depannya ada seorang anak laki-laki kecil yang memegang sepasang sepatu yang akan dibelinya untuk ibunya yang sedang sakit. Ketika hendak membayar, ternyata uangnya tidak cukup. Anak itu berpaling dan melihat si aku yang tanpa semangat. Ketika si anak berkata: "'Katakan, pak, apa yang harus kulakukan. Bagaimana pun harus kubelikan Ibu sepatu Natal ini', si Tanpa Semangat Natal memberikannya uang. Akhirnya ia pun berkata: "Kutahu telah kualami sekilas kasih surgawi. Tatkala ia berterima kasih padaku dan berlari keluar. Aku tahu Alah telah mengirimkan anak kecil itu untuk mengingatkanku akan makna Natal sesungguhnya." 
 
Kisah di dalam The Christmas Shoes karya Donna VanLiere adalah kilas balik apa yang terjadi lima belas tahun sebelumnya, pada hari Natal 2000. Saat itu, Robert Layton, salah satu karakter utama, sedang mengunjungi makam ibunya, Ellen Katherine Layton. Meskipun dimaksudkan sebagai kenangan Robert Layton, Donna VanLiere tidak hanya menggunakan sudut pandang Robert sebagai narator orang pertama, tetapi juga sudut pandang orang ketiga.

Robert Layton, pada tahun 1985, berusia tiga puluh delapan tahun. Setelah tujuh tahun bekerja di sebuah firma hukum, akhirnya ia diangkat menjadi partner. Menjadi partner membuat waktu Robert tersita oleh pekerjaannya, yang tidak pernah surut, sekalipun pada musim Natal. "Aku kehilangan kebebasan, demi memperoleh kemapanan bekerja di sebuah firma yang kebih besar," katanya (hlm. 35). Padahal ia memiliki keluarga: seorang istri yang cantik, Kate Abbott, dan dua orang anak perempuan, Hannah dan Lily, yang membutuhkan perhatiannya. Robert nyaris tidak menyadarinya hingga Kate menyarankan perpisahan bila Natal telah usai. "Aku tidak bisa terus berpura-pura bahwa segala sesuatunya baik-baik saja. Itu tidak benar. Kondisi ini sudah berlangsung cukup lama. Hidup di bawah atap yang sama tidak berarti kita hidup bersama. Aku butuh lebih dari itu," kata Kate (hlm. 41).

Meskipun disembunyikan, Ellen tidak sulit menemukan permasalahan yang sedang menimpa Robert. "Penaklukan seksual membuat beberapa laki-laki merasa lebih berkuasa. Tapi penaklukanmu tidak dilakukan di atas ranjang. Penaklukanmu ada di tempat kerja. Kau hanya sebaik kemenanganmu terakhir -namun kemenangan-kemenangan kecil di rumah menjadi tidak berarti- langkah-langkah pertama, coretan-coretan crayon di pintu lemari es, saat gigi putrimu tanggal untuk pertama kalinya dan ia menerima kunjungan Peri Gigi. Tak satu pun dari semua itu berarti bagimu. Momen-momen sepele itu -kemenangan-kemenangan sesehari yang sederhana itu -tidak berarti apa pun bagimu, namun itu semua adalah segala-galanya di dunia bagi Kate," Ellen mencoba membuka pikiran Robert (hlm. 87). "Keberhasilan-keberhasilan sesehari itu tidak pernah cukup untukmu. Kemenangan di tempat kerjalah yang membuatmu merasa seperti seorang laki-laki, bukan gadis-gadis kecil yang melingkarkan lengan mereka di sekeliling kakimu dan memanggilmu Ayah. Kekuatan yang tinggi di tempat kerjalah yang mengisi bateraimu, bukan kekuatan yang kaumiliki saat membantu membentuk kehidupan orang lain." (hlm. 88).  Ellen berkesimpulan, pernikahan Robert gagal tidak lain karena  Robert terlalu mementingkan diri sendiri. Robert memberikan segalanya bagi keluarganya, tapi bukan dirinya sendiri.

"Jangan memperlakukan istri dan anak-anakmu seakan-akan mereka tidak istimewa, Robert," kata Ellen. "Mereka harus menjadi orang-orang yang paling istimewa bagimu di dunia ini." (hlm. 94). Tidak mudah bagi Robert mematuhi perkataan ibunya, hingga ia bertemu Nathan Andrews, seorang anak laki-laki berumur delapan tahun.

Nathan Andrews adalah anak sulung Jack dan Maggie Andrews. Meskipun bukan keluarga kaya -karena Jack hanya bekerja sebagai montir di bengkel mobil lokal, keluarga Andrews hidup bahagia. Mereka selalu ada bagi satu sama lain dan menghadapi hidup dengan apa adanya. Kebahagiaan mereka nyaris merosot ke titik nadir tatkala Maggie didiagnosis mengidap kanker rahim. Tapi meskipun mengalami kelemahan tubuh, iman Maggie tidak pernah goyah. Katanya kepada anak laki-lakinya: "Sebentar lagi, kau mungkin mendengar orang-orang dewasa berkata seperti, 'Kasihan sekali, Allah memanggilnya pada usia begitu muda'. Tapi mereka keliru, Nathan. Mereka keliru, dan ibu tidak ingin kau mendengarkan mereka. Ketika mereka berkata sesuatu seperti itu, Ibu ingin kau selalu ingat apa yang baru kukatakan kepadamu saat ini. Allah tidak mengambil Ibu, Ia menerima Ibu." (hlm. 125).

Menyadari kondisi ibunya, Nathan ingin membelikan sepatu untuk Maggie. Ia mendapatkan sepatu yang diinginkannya di rak diskon yang berantakan: sepatu berwarna cerah keperakan, bersinar dengan batu-batu imitasi berwarna merah, biru, dan hijau, dan hiasan yang berkilauan. Tapi, recehan yang dibawanya tidak cukup untuk membawa pulang sepatu itu. Ia berpaling dan bersirobok pandang dengan Robert Layton yang sedang antre di belakangnya.

"Pak, saya perlu membeli sepatu ini untuk ibuku," katanya dengan air mata menggenangi pelupuk mata. "Ibuku sekarang sedang sakit, dan saat kami makan malam ayahku berkata bahwa Ibu mungkin akan pergi meninggalkan kami menjumpai Yesus malam ini. Aku ingin Ibu tampak cantik ketika berjumpa dengan Yesus." (hlm. 140).

Lalu, terjadilah apa yang dinyatakan dalam syair lagu The Christmas Shoes: 


I knew I caught a glimpse of heaven's love
(Kutahu telah kualami sekilas kasih surgawi)
As he thanked me and ran out
(Tatkala ia berterima kasih padaku dan berlari keluar)
 I knew that God had sent that little boy
(Aku tahu Allah telah mengirimkan anak kecil itu)
To remind me what Christmas is all about
(Untuk mengingatkanku akan makna Natal sesungguhnya)

Robert Layton pun menerima sebuah pelajaran penting di malam Natal, bahwa terkadang hal-hal terkecil, hal-hal yang mungkin akan dianggap tak berarti oleh sebagian orang, bisa mengubah sebuah kehidupan. Itulah makna yang diberikan Sepatu Natal yang dibeli Nathan Andrews untuk ibunya. 

Senyatanya, The Christmas Shoes adalah sebuah novel yang ditulis tanpa berbelit-belit, lugas, gampang dicerna dan langsung membidik sasaran. Tapi ketidakrumitannya membuat novel ini terasa begitu indah, mengharukan sekaligus menghangatkan hati. Begitu meresap, perlahan dan dalam, sehingga tanpa sadar, sambil membaca mata telah berkaca-kaca. Tidak berlebihan kalau saya menyatakan novel ini akan menjadi salah satu hadiah Natal terindah bagi siapa pun yang membacanya.

Secara menakjubkan, kematian menjadi momen yang paling mencerahkan dalam novel ini. Dari dua kematian yang ada, dua karakter utama -Robert dan Nathan- akan menemukan arah hidup mereka. Donna VanLiere menuliskan tentang kematian pada bagian terakhir kilas balik dari Robert Layton (hlm. 181) sebagai berikut:


Kuasa kematian terbatas -  
Ia tak dapat menghapus ingatan
Atau membunuh cinta kasih  
Ia bahkan tak dapat memusnahkan
Sebuah iman yang kecil
Atau, secara permanen menciderai
Pengharapan terkecil kepada Allah
Ia tak dapat menembus jiwa
Dan ia tak dapat melumpuhkan roh   
Ia hanya dapat memisahkan kita untuk sementara
Hanya itu kuasa yang dapat diklaim oleh kematian
- Tak ada lainnya 

(hlm. 181)

The Christmas Shoes telah diadaptasi ke dalam film televisi berjudul sama dan ditayangkan perdana di CBS pada 1 Desember 2002. Rob Lowe berperan sebagai Robert Layton, Kimberly Williams sebagai Maggie Andrews, Maria Del Mar sebagai Kate Abbott, Hugh Thomas sebagai Jack Andrews, dan Max Morrow sebagai Nathan kecil. 

Setelah The Christmas Shoes (2001), Donna telah menerbitkan The Christmas Blessing (2003), The Christmas Hope (2005), The Christmas Promise (2007), The Christmas Secret (2009), The Christmas Journey (2010), dan The Christmas Note (2011). Semua novel Natal yang kemudian dikenal sebagai Christmas Hope Series ini diterbitkan oleh St. Martin's Press. 

 ***


* Novel ini dibaca ulang dalam rangka Natal 2012, sudah pernah di-review sebelumnya, bisa dibaca di sini. Tulisan ini adalah review baru.
** Bagi yang belum pernah mendengar lagu The Christmas Shoes, boleh menyimaknya di sini. Dapatkan Chord-nya bagi yang ingin mencoba menyanyikannya.  


The Christmas Shoes
(Sepatu Natal)
by Eddie Carswell and Leonard Ahlstrom)

 

It was almost Christmas time
(Saat itu Natal hampir tiba)
And there I stood in another line
(Dan di sana aku berdiri di antrean)
Trying to buy that last gift or two
(Mencoba membeli satu atau dua hadiah terakhir)
Not really in the Christmas mood
(Sekalipun tak sungguh memiliki semangat Natal)
Standing right in front of me
(Berdiri di depanku)
Was a little boy waiting anxiously
(Seorang anak kecil yang menanti dengan gelisah)
Pacing 'round like little boys do
(Terus bergerak seperti kebanyakan anak kecil)
And in his hands, he held a pair of shoes
(Dan di tangannya, digenggamnya sepasang sepatu)

And his clothes were worn and old
(Dan bajunya sobek dan usang)
He was dirty from head to toe
(Sekujur tubuhnya kotor)
And when it came his time to pay
(Dan ketika tiba saat baginya untuk membayar)
I couldn't believe what I heard him say
(Tak kupercaya apa yang diucapkannya)

CHORUS


Sir, I want to buy these shoes
(Pak, ingin kubeli sepatu ini)
For my momma, please
(Untuk ibuku, tolonglah)
It's Christmas eve and these shoes are just her size
(Ini Malam Natal dan sepatu ini cocok untuknya)
Could you hurry, sir
(Bisa cepatkah, Pak)
Daddy says there's not much time
(Ayah berkata tak cukup waktu lagi)
You see she's been sick for quite a while
(Kau tahu ibu telah lama sakit)
And I know these shoes will make her smile
(Dan aku tahu sepatu ini akan membuatnya tersenyum)
And I want her to look beautiful
(Dan aku ingin ia terlihat cantik)
If momma meets Jesus tonight
(Jika ibu berjumpa Yesus malam ini)

They counted pennies for what seemed like years
(Mereka menghitung uang receh begitu lama)
Then the cashier said, son, there's not enough here
(Kemudian kasir berkata, Nak, uangmu tak cukup)
He searched his pockets frantically
(Ia merogoh sakunya dengan gugup)
And then he turned and he looked at me
(Dan kemudian ia berbalik dan memandangku)
He said, Momma made Christmas good at our house
(Ia berkata, ibu membuat Natal indah di rumah kami)
Though, most years, she just did without
(Selama bertahun-tahun ia terus melakukannya)
Tell me, sir, what am I going to do
(Katakan, Pak, apa yang harus kulakukan)
Somehow I've got to buy her these Christmas shoes
(Bagaimana pun harus kubelikan Ibu sepatu Natal ini)

So I laid the money down
(Lalu kuletakkan uang)
I just had to help him out
(Aku harus menolongnya)
And I'll never forget the look on his face
(Dan aku tak akan pernah melupakan wajah itu)
When he said Momma's gonna look so great
(Ketika ia berkata ibunya akan terlihat cantik)

REPEAT CHORUS

I knew I caught a glimpse of heaven's love
(Kutahu telah kualami sekilas kasih surgawi)
As he thanked me and ran out
(Tatkala ia berterima kasih padaku dan berlari keluar)
 I knew that God had sent that little boy
(Aku tahu Allah telah mengirimkan anak kecil itu)
To remind me what Christmas is all about
(Untuk mengingatkanku akan makna Natal sesungguhnya)


Review kedua buku di bawah ini akan segera menyusul:








0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan