15 June 2013

Pasung Jiwa

 
Judul Buku: Pasung Jiwa
Pengarang: Okky Madasari
Tebal: 328 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, Mei 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama



Seluruh hidupku adalah perangkap.

Tubuhku adalah perangkap pertamaku. Lalu orangtuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang tertata di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengungkungku, tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku (hlm. 9)



Sasana dilahirkan sebagai laki-laki. Tapi ia mendambakan keindahan jasmani seperti perempuan. Ia belajar bermain piano tapi lebih menyukai musik dangdut yang memberinya kesempatan meliuk-liukkan tubuhnya dengan genit. Ketertarikannya pada dangdut menyulut kegeraman orangtuanya. Hingga sebelum menemukan Sasana tersihir oleh irama dan goyang dangdut, mereka telah berupaya menciptakan seorang pianis. 

Sasana melanjutkan kuliah di Malang, setelah lulus SMA. Ia berkenalan dengan Cak Jek, pemuda asal Batu yang sudah meninggalkan kuliahnya, dan bersama-sama menjadi pengamen. Cak Jek yang memainkan gitar dan Sasana bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya seheboh-hebohnya. Lambat laun Sasana meninggalkan kuliah dan beredar di jalan-jalan Kota Malang. Karena ingin menjadi profesional seperti keinginan Cak Jek, mereka membentuk Orkes Melayu. Cak Jek memberikan blus seksi warna-warni, rok-rok mini, BH, dan sepatu hak tinggi kepada Sasana dan mengubah Sasana menjadi Sasa. Bersama-sama, mereka mencapai ketenaran di Kota Malang. Mereka diundang untuk mengisi berbagai hajatan seperti sunatan, kawinan, dan perayaan tujuh belas Agustus. 

Suatu hari, Marsini -putri Cak Man, pemilik warung kopi di mana Sasa bertemu Cak Jek- menghilang setelah menuntut kenaikan upah di pabrik sepatu tempatnya bekerja di Sidoarjo. Sasana dan Cak Jek memutuskan untuk menemui pemilik pabrik, tapi karena mendapatkan penolakan, mereka mengadakan unjuk rasa di depan pabrik sepatu tersebut. Unjuk rasa berakhir rusuh. Sasa yang tampil hanya mengenakan BH, celana dalam, dan sepatu hak tinggi berwarna merah sambil memamerkan goyangan di tengah jalan mencetuskan kehebohan yang membuat tentara turun tangan. 

Sasa terpisah dengan Cak Jek. Ia ditangkap dan dikurung di tahanan Koramil. Di sana harga dirinya dicerabut, berhari-hari mengalami pelecehan dan penyiksaan secara seksual oleh para tentara. Dalam keadaan jiwa yang nyaris binasa, ia dilepaskan dan melarikan diri dari Kota Malang. Ia kembali ke rumah orangtuanya di Jakarta, tapi harus berakhir di rumah sakit jiwa. 

Ke mana Cak Jek setelah unjuk rasa di Sidoarjo? Ia pun ditangkap dan disiksa tentara. Setelah dibebaskan, ia diusir dari Kota Malang. Ia pun kembali ke nama aslinya, Jaka Wani. Akhirnya, ia pun memutuskan mengadu nasib di Batam. Tapi pekerjaan berkutat dengan kaca televisi tidak menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Apalagi ketidakadilan juga terjadi di sana. Supervisor, mandor, dan bahkan satpam pabrik itu tanpa malu-malu menggagahi para pekerja perempuan. Setelah para pekerja itu hamil, mereka tidak mau bertanggung jawab, dan terpaksa perempuan-perempuan malang itu harus melakukan aborsi. Pertemuan dan kerjasamanya dengan Elis, seorang pelacur, kian membuat Cak Jek terpuruk. Di Batam, setelah menggagas aksi mogok kerja, ia pun dikejar-kejar dan terpaksa harus melarikan diri dari kota itu. Akhirnya, Jaka Wani pun menghilang dari Batam. 

Apakah Sasana akan bertemu lagi dengan Cak Jek, laki-laki yang sudah menciptakan Sasa dan dianggapnya sebagai kakak? Ada perjalanan panjang yang mesti mereka tempuh untuk bertemu kembali. Tapi di ujung perjalanan itu, Sasa akan menemukan Cak Jek yang lain, Cak Jek yang telah berubah. Mereka berada di kutub yang berseberangan di mana sakit hati dan kebencian mengisi ruang kosong di antara kedua kutub itu. 

Kehendak bebas, seperti yang disebutkan dalam blurb di sampul belakang novel ini, adalah pertanyaan yang dikemukakan Okky Puspa Madasari dalam novelnya, Pasung Jiwa. Apakah kehendak bebas benar-benar ada? Apakah manusia bebas benar-benar ada?

Seluruh perjalanan hidup Sasana (Sasa) adalah pergulatan untuk mengekspresikan kehendak bebas. Sejak kecil, ia telah hidup dalam perangkap yang menindas kehendak bebasnya. Ia dilahirkan sebagai anak laki-laki tapi menyimpan jiwa perempuan dalam tubuhnya. Ia tidak ingin menjadi pianis, tapi diupayakan seintensif mungkin oleh orangtuanya untuk berlatih. Ia ingin membebaskan jiwa melalui irama dan goyangan dangdut tapi berhadapan dengan larangan. Ia mempertontonkan kepada khayalak jati dirinya sebagai transgender, tapi mengalami pelecehan, penghakiman, bahkan pemerkosaan. Apakah ia berhasil mengekspresikan kehendak bebasnya? Melewati masa-masa sebelum lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaannya hingga masa-masa sesudahnya, Sasana tetap diperhadapkan dengan tantangan raksasa. Bahkan, ketika ibunya merestui apa yang ingin dilakukannya dalam hidupnya, kehendak bebasnya direnggutkan. Kesimpulannya adalah kehendak bebas itu ada dan merupakan hak asasi manusia, tapi manusia juga yang berusaha menindasnya, karena ada sementara orang yang tidak mau menerima perbedaan dan bersikukuh dalam kemunafikan moral. 

Melalui Masita, dokter yang sedang mengambil spesialisasi di bidang psikiatri, Okky menyampaikan kehendak bebas dari perspektif pribadinya. 

Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda (hlm. 146) 

Orang-orang di luar kalianlah yang punya masalah. Mengganggap kalian harus disingkirkan karena kalian merusak tatanan (hlm. 151).

Selain masalah kehendak bebas, Okky juga mengangkat ketidakadilan untuk menjadi bagian dari novelnya. Sasa telah merasakan ketidakadilan dalam hidupnya ketika digencet dan dibuat babak belur oleh kakak-kakak kelasnya di SMA. Jaka Wani, dalam sisa hidupnya setelah unjuk rasa di Sidoarjo, mesti berperang dengan ketidakadilan. Di Batam ia menyaksikan ketidakadilan bekerja, di tempat asalnya pun demikian. Dan celakanya, dalam merespons ketidakadilan ia pun menjadi bagian dari ketidakadilan dan terperangkap dalam kemunafikan. 

Okky sangat berhasil dalam mengemas karakternya. Penjiwaannya mengenai kedua karakter utamanya sangat intens. Apalagi ia memberikan kesempatan Sasana (Sasa) dan Cak Jek (Jaka Wani/Jaka Baru) menjadi narator orang pertama dalam novel ini. Keduanya bersuara sesuai dengan kepribadian dan jati diri. Sasa dengan kewariaannya dan Cak Jek dengan maskulinitasnya. 

Sasana memang karakter yang paling hidup dalam novel ini dan digali dengan sedalam-dalamnya. Meskipun waria dan dipanggil bencong, ia tidak mau dilecehkan. Uniknya atau malah anehnya, ia tidak menunjukkan ketertarikan pada laki-laki dan tidak berniat mengoperasi kelaminnya. 

Aku si Sasa. Saudara kembar Sasana. Kami kembar, tapi kami berbeda. Kami satu tubuh, tapi kami dua jiwa. Kami tak saling meniadakan. Kami sepasang jiwa yang saling merindukan. Menjadi dua bukanlah kesalahan. Menjadi satu bukanlah keharusan. Sasana memang berpenis, tapi Sasa punya lubang dan puting. Sasa menyanyi dan bergoyang, Sasana bersiul dan menabuh gendang. Kami satu, tapi kami dua. Kami dua, tapi kami satu (hlm. 232-233).

Okky pun sangat blakblakan dan keras dalam menyampaikan segala sesuatu, apalagi yang berhubungan dengan ketidakadilan dan kemunafikan moral. Tidak heran kalau sering kata-katanya serasa menghunus, menembus, dan mengoyak-ngoyak nurani pembacanya. Tidak perlu tersinggung ketika ia menyingkap borok-borok dalam eksistensi kita sebagai manusia.

Bagian pamungkas novel ini cukup mendebarkan. Meskipun terkesan Okky sedang meromantisasi realita, saya suka dengan adegan yang diciptakannya. Okky tidak terlalu banyak bicara, tidak memberi arah ke mana kisahnya akan berlanjut. Tapi sebagai pembaca kita tahu apa yang terjadi di bagian pamungkas itu sangat riskan dan akan menimbulkan permasalahan yang mempertaruhkan kehidupan para pelakunya.

Pasung Jiwa yang diluncurkan bertepatan dengan peringatan 15 tahun runtuhnya Orde Baru ini adalah novel keempat Okky Madasari. Sebelumnya ia telah menerbitkan novel Entrok (2010), 86 (2011), dan Maryam (2012). Maryam membuatnya meraih Khatulistiwa Literary Award tahun 2012. Sesuai minatnya yang telah ditunjukkannya sejak novel perdananya, Okky selalu mengusung isu-isu kemanusiaan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat Indonesia. 





Catatan:
Kasus Marsini mengingatkan pada kasus Marsinah, aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik, kemudian ditemukan dalam keadaan tewas dengan tanda-tanda penyiksaan berat pada 8 Mei 1993 (Wikipedia). Marsini adalah nama kakak perempuan Marsinah.

Marjinal adalah band beraliran anarko-punk asal Jakarta yang menciptakan sebuah lagu berjudul Marsinah yang didedikasikan untuk perjuangan Marsinah (Wikipedia)


1 comments:

Serpihan Aksara said... Reply Comment

Terus pas kedua tokoh utama itu ketemu setelah jaka wani kabur dari Batam ceritanya gmna? Ceritain donk

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan