18 February 2014

Barbitch


Judul Buku: Barbitch
Pengarang: Sagita Suryoputri
Penyunting: Mirna Yulistianti
Tebal: 178 halaman
Cetakan: 1, September 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama




Berbagai perempuan bisa kita temukan dalam kumpulan cerpen Barbitch karya Sagita Suryoputri. Bukan perempuan konvensional yang tunduk pada norma dan etika yang berlaku. Bukan perempuan biasa. Perempuan-perempuan dalam cerpen-cerpen Sagita bersikap seenak perutnya dalam menyikapi kehidupan dan tidak pantang melakukan hal-hal yang dianggap negatif oleh masyarakat.

Raya -karakter perempuan dalam cerpen pembuka yang bertajuk BFF- adalah seorang pemabuk yang mencari nafkah dengan cara melacur. Ia berasal dari keluarga disfungsional dan memiliki masa lalu yang kelam. Ia menjalin persahabatan dengan Bram -seorang penulis sekaligus penjual narkoba paruh waktu- yang bisa menerima ketidakberesan hidup dan perilakunya. Bagi Raya, Bram merupakan pantulan cermin dari sosoknya. Bram sangat mengenalnya dan paham berbagai kebiasaan dan kesukaannya. Seperti persahabatan kedua manusia berbeda gender dalam film  When Harry Met Sally, cinta pun muncul di antara mereka. Bram yang tidak bisa menahan dirinya. Pertanyaannya, apakah Raya bisa menerima cinta seorang sahabat? Sebagai sebuah cerpen, BFF sebenarnya bisa dipadatkan agar lebih fokus dan lebih jelas mau dibawa ke mana. Perampingan akan membuat cerpen ini tidak terlalu menjemukan dibaca.

Barbitch yang dijadikan judul cerpen dan dinobatkan sebagai judul kumpulan cerpen ini merupakan singkatan dari Barbie Bitch. Cerpen ini berkisah tentang perempuan-perempuan yang tidak berparas cantik ataupun bertubuh molek seperti Barbie. Tapi mereka bersikeras bergaya seperti Barbie dan tidak segan mengambil jalan pintas. Mereka adalah Vega, Mila, dan Mentari yang menjadi narator cerpen. Sangat sedikit kesan yang tersisa setelah membaca cerpen yang terasa kerontang ini.

Narator cerpen Lipstik Merah Tua kerap melihat ibunya bersolek dan memakai  lipstik merah muda. Suatu kali ia bertanya: “Kenapa Mama pakai warna itu?”  Ibunya menjawab: “Mama kurang suka dan nggak cocok pakai warna merah tua, Mama jadi kelihatan lebih tua.” (hlm. 52). Setelah berumur 19 tahun dan menjadi pramugari, ia memilih memakai lipstik merah tua. Alasannya: "Karena aku suka. Supaya terlibat lebih dewasa." (hlm. 63). Kisah dalam cerpen ini juga kurang jelas mau dibawa ke mana. Awalnya saya mengira akan berkisah tentang pertemanan sang narator dengan Mey Mey, tapi ternyata kisahnya tidak berkembang ke sana. Tiba-tiba, kisah yang dibuka oleh narator yang masih SMP telah berpindah kepada narator yang sudah bekerja, punya pacar tapi tetap memoroti laki-laki beristri.

Perempuan lain yang menganggap memoroti laki-laki berduit yang terpikat padanya merupakan hal yang wajar muncul lagi dalam cerpen Kakak. Sejak SMA kelas dua, perempuan yang menjadi narator cerpen ini telah berhubungan dengan laki-laki berduit berusia lebih dari 50 tahun. Laki-laki itu meminta si perempuan memanggilnya Kakak. Berkat Kakak, perempuan ini bisa memenuhi segala kebutuhannya, bahkan menuntaskan masalah finansial keluarga. Tapi mereka akhirnya berpisah. Perempuan yang akhirnya menjadi pramugari ini yang memutuskan, dan kelak mesti menyaksikan perubahan Kakak ketika mereka bertemu lagi.

Wajar kalau kekasihnya memutuskan hubungan dengan Mala untuk keempat kalinya. Mala yang adalah narator cerpen Pesta seorang perempuan pemabuk yang dituduh kekasihnya tidak bisa memperbaiki dan mempertahankan hubungan mereka.  Untuk mengobati kesedihan dan kesepiannya, Mala mencemplungkan diri ke dalam pesta demi pesta. Apakah ia akan tetap berpesta terus dan tidak mau berubah?  Mungkin ia akan berubah, karena katanya: Tiba-tiba aku kangen sama siang. Maaf ya malam, aku harus pulang. (hlm. 96). Terlalu rempong berpuitis-ria, cerpen ini semakin tidak jelas arahnya. Dan yang menjengkelkan, nama Pratama berubah menjadi Radja di halaman yang sama (hlm. 86).

Judul Stranger in My Bed sebenarnya mengundang tanya. Perempuan yang menjadi narator cerpen ini sama sekali tidak menceritakan orang asing di ranjangnya. Ia menceritakan enam dari dua puluh lima laki-laki yang pernah mendatangi hidupnya; salah satunya datang dua kali. Mereka datang lalu pergi, dengan atau tanpa alasan. Meskipun demikian, perempuan ini tidak putus asa, karena ...

Kini yang tersisa hanyalah aku, sebungkus rokok, dan sebotol vodka. Daripada menangis, aku lebih memilih untuk merayakan ketidakhadirannya. Ada rasa hangat yang mengalir, seusai aku meneguk gelas kelima. Kunikmati hangat yang tersebut sambil menunggu datangnya pria kedua puluh enam untuk menjemputku  pergi makan malam (hlm. 107).

Warna menggantungkan hidupnya pada Prabu, laki-laki beristri dan memiliki tiga orang anak. Ia merasa keadaan demikian membuat hidupnya sempurna, beruntung, dan berbahagia. Sesungguhnya, kehidupan yang dijalaninya merupakan kompensasi dari kehidupan masa lalunya. Dulu ia hidup miskin dan cuma bisa tinggal di kos-kosan. Sekarang ia tidak perlu kuatir dengan uang dan tinggal di apartemen mewah. Tapi untuk mencapai semua itu, ia terpaksa menjual keperawanan, bersedia menjadi perempuan piaraan laki-laki beristri, dan menebalkan muka serta telinga.

Persetanlah.
Karena aku tahu...
aku PANTAS, sayang. (hlm. 127).

Itulah sebabnya kisah perempuan bernama Warna ini diberi judul Pantas.

Dan lagi-lagi, pengarang membuat kita kesal. Mengapa nama Idan berubah-ubah menjadi Karmen? (hlm. 111).

Laksmi mencari kebahagiaan tapi tidak kunjung menemukannya. Dua tahun menikah dengan Panji, ia belum punya momongan. Panji memang tetap menjadi suami yang baik, ia tidak mencari cinta di luar rumah, tapi hal ini tidak membuat Laksmi bersyukur. Mendadak laki-laki yang namanya dijadikan judul cerpen ini, Bara Pati, muncul dalam kehidupan Laksmi. Dan beruntungnya, laki-laki berparas oriental itu membuat Laksmi menemukan kebahagiaan. Tapi, bagaimana dengan Panji? Apakah suaminya rela dikhianati? Lagi pula, siapa sebenarnya Bara Pati? Cerpen ini sejatinya akan lebih menarik jika pengarang mampu menyembunyikan identitas Bara Pati dan baru mengungkapkannya di bagian akhir. Dari segi penulisan, sebaiknya konsisten kalau mau menampilkan cetak miring (halaman 139-140 jelas tidak konsisten).

"Nanti kalau aku terlahir kembali, aku mau jadi kucing, ah. Seperti Penelope Cruz di film Vanilla Sky yang dulu kita pernah nonton. Ingat nggak, Mas? Nanti kamu pungut dan pelihara aku ya, hihi…” Itulah yang dikatakan Milka -perempuan yang percaya reinkarnasi- pada kekasihnya, Joshua -yang tidak suka kucing (hlm. 156-157). Setelah lima tahun berpacaran, Milka belum mendapatkan kejelasan hubungan mereka. Memang bukan hubungan yang mudah lantaran Jo berasal dari keluarga terpandang sedangkan Milka dari keluarga berantakan yang tidak jelas asal-usulnya. Milka sendiri tidak  berusaha untuk mendapatkan respek dari keluarga Jo, bekerja sebagai penari dan mabuk-mabukan. Tidak heran kalau akhirnya Jo meninggalkannya dan menikahi perempuan pilihan keluarga, Fiona. Satu-satunya milik Milka yang dibawa Jo ke dalam kehidupan pernikahannya adalah Hana, kucing yang dilahirkan Chica (kucing milik Milka). Mungkinkah  Hana adalah Milka yang terlahir kembali? Apa yang akan terjadi dalam hidup Jo dengan kehadiran Hana? Horor di bagian penutup cerpen ini cukup mengejutkan. Satu catatan: Hana -nama kucing itu, disebutkan merupakan gabungan nama Joshua dan Fiona (hlm. 173). Pertanyaanya: bagaimana Joshua dan Fiona digabung dan menjadi Hana?

Jujur saja, sulit bagi saya untuk menyukai cerpen-cerpen dalam kumpulan cerpen ini. Selain pada dasarnya tidak cukup menarik, teknik penyajian pun masih  sangat biasa dan cenderung datar. Penambahan rangkaian kalimat yang tidak penting pun terasa mengganggu, apalagi kalimat-kalimat puitis yang tidak ada kontribusinya selain memanjangkan cerita.

Menulis cerpen memang bukan hal yang gampang. Tidak seperti novel, kalimat-kalimat dalam cerpen tidak boleh boros,  dan dalam durasinya yang singkat, harus bisa disimpulkan. Latihan, dan terus mengasah kemampuan sangat penting untuk bisa menulis cerpen yang baik. Dan itulah yang dibutuhkan Sagita Suryoputri mengingat Barbitch adalah kumpulan cerpen pertamanya. 

Sagita Suryoputri pernah bekerja sebagai pramugari selama lima tahun di dua maskapai penerbangan swasta terkemuka di Indonesia. Ia adalah pemilik kedai bir dan pasta bernama Beergasm di Kemang, Jakarta Selatan, yang ia sebut dalam salah satu cerpennya, BFF (hlm. 34). 

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan