27 May 2012

Pintu Terlarang (Cover Film)


Judul Buku: Pintu Terlarang
Pengarang: Sekar Ayu Asmara
Tebal: 264 hlm; 13,5 x 20 cm
Cetakan: 2,  Mei 2012 (Edisi Cover Film)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
                





Anak adalah kuncup yang hanya akan mekar mewangi dengan siraman kasih sayang", demikian pernyataan Sekar Ayu Asmara dalam novel dewasa pertamanya, Pintu Terlarang. Pernyataan yang sungguh benar, karena pada saat anak-anaklah karakter manusia dibentuk yang kemudian mengejawantah dalam pribadi orang dewasa. Realitas membuktikan kuncup itu terkadang tidak mekar mewangi, tapi melayu karena ulah orangtua. Banyak anak-anak menjadi korban penganiayaan orangtua mereka sendiri. Dan di antaranya, banyak pula yang tidak bisa mengatasi efek yang ditimbulkan. Kalau tidak tewas lantaran tubuh tidak cukup kebal, menjadi gila gara-gara hancurnya mekanisme pertahanan diri.

Adalah Pusparanti, seorang jurnalis sebuah majalah metropolis, menemukan kasus lelaki gila yang disekap dalam sel isolasi sebuah rumah sakit jiwa. Lelaki itu masuk rumah sakit jiwa lantaran membunuh kedua orangtuanya. Sudah 18 tahun ia berada di sana dan dokter yang menanganinya telah menyimpukan jika ia tidak lagi berpeluang kembali ke tengah-tengah masyarakat. Jiwanya sudah sedemikian tercabik akibat siksaan secara fisik dan emosional yang ia alami. Lelaki itu memang korban child abuse.

Manakala Ranti berhasil menggali faktor pemicu kegilaan si pasien, ia menemukan juga kekerasan terhadap anak dilakukan oleh seseorang yang dekat dengannya. Kekerasan ini pun bersifat fatalistik.


Sementara itu, Gambir, seorang seniman patung, sedang menikmati kesuksesan berkat patung-patung perempuan hamil. Talyda, istrinya yang cantik dan perfeksionis, berperan besar dalam usahanya menghasilkan koleksi nan mahal itu. Kegeniusan Talydalah yang membuat Gambir bisa menghasilkan patung-patung yang terlihat hidup.

Gambir dan Talyda belum mempunyai anak. Talyda pernah hamil, tapi mengalami keguguran. Belakangan ketahuan kalau Talyda memang tidak ingin melahirkan anak Gambir. Di belakang Gambir, Talyda melakukan rangkaian perselingkuhan, termasuk dengan para lelaki yang dikenal Gambir. Perselingkuhan itu dilakukan Talyda agar ia bisa hamil dan melahirkan anak yang bukan darah daging Gambir.  Menik Sasongko, ibu Gambir yang selalu meremehkan pilihan hidup Gambir sebagai seniman, diam-diam menjadi dalang di balik tindakan Talyda. 
  
Begitu mengendus perselingkuhan Talyda, amarah Gambir terpicu. Kemarahannya yang tidak terkendali membuat ia memutuskan melakukan pembalasan. Sebuah acara perjamuan malam Tahun Baru yang diselenggarakan Talyda atas inisiatif Menik Sasongko dipilih Gambir sebagai momen pembalasan. Siapapun tidak bisa melecehkan dan mengkhianatinya. Lebih daripada itu, ia telah memutuskan membuka pintu terlarang yang selama ini dijaga ketat oleh Talyda supaya tidak dibuka. 


Awal perkenalan saya dengan nama Sekar Ayu Asmara adalah saat ia menjadi penulis lirik lagu yang antara lain dinyanyikan Fariz RM. Lama tidak terdengar, mendadak namanya muncul sebagai salah satu produser film Ca Bau Kan (2001). Kiprahnya dalam dunia film itu dilanjutkan dengan menjadi sutradara, produser, dan penulis skenario film Biola Tak Berdawai (2003). Dari informasi tentang Sekar (Pintu Terlarang: Akur, 2004), saya baru tahu jika ia telah menulis buku anak-anak berjudul Onde-onde dan Misteri Es Krim Yang Hilang. Menyusul Pintu Terlarang, Sekar yang kita kenal sebagai sutradara film Belahan Jiwa (2005) dan Pesan dari Surga (2006) serta penulis beberapa skenario film telah menerbitkan novel Kembar Keempat (Akur, 2005; Gramedia, 2010) dan Doa Ibu (Gramedia, 2009). Pintu Terlarang (Akur, 2004; Gramedia, 2009, cetakan pertama) telah diekranisasi oleh Joko Anwar dan beredar pada Januari 2009. Fachri Albar berperan sebagai Gambir dan Marsha Timothy sebagai Talyda. 

Sekar menggulirkan kisahnya menggunakan tiga perspektif. Pertama, dari perspektif Ranti (orang pertama) yang menceritakan investigasinya terkait seorang lelaki gila yang terkurung dalam sel isolasi. Kedua, dari perspektif si lelaki gila (orang pertama) yang mengurai kehidupan mengenaskan yang dialaminya. Cerita si lelaki gila ini dicetak miring, kecuali bagian pamungkas (bab 38). Ketiga, kisah Gambir dan Talyda, diceritakan dari sudut pandang orang ketiga. Mencapai penghujung novel, ketiga cerita ini akan berkelindan menghasilkan twist yang menggetarkan.

Novel ini menegaskan kualitas Sekar sebagai pengarang brilian yang mampu mengaduk-aduk emosi dan pikiran pembaca. Hal serupa ditampakkannya dalam film Belahan Jiwa yang skenarionya ia tulis sendiri. Belahan Jiwa mengisahkan persahabatan empat perempuan yang terlibat asmara dengan seorang lelaki yang sama. Kisah dalam film ini diakhiri dengan sebuah twist ending yang tidak terlupakan. Efek yang ditimbulkan membaca Pintu Terlarang hampir sama dengan efek yang dihasilkan menonton Belahan Jiwa. Kita harus menyimak tuntas kisahnya sebelum pemahaman terbentuk di dalam benak. Dengan gesit, Sekar berhasil mengggiring drama psikologis menjadi thriller yang mengguncang. 
 
Satu yang mengganggu kenikmatan membaca adalah kegemaran Sekar membuka sejumlah adegan terkait Talyda yang perfeksionis dengan repetisi kalimat bergaya puitis mengenai “Kesempurnaan”.

Kesempurnaan:
“Kesempurnaan bukanlah bintang yang niscaya gemintang di pundak malam. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 11).

“Kesempurnaan bukanlah kuncup bunga di ladang yang pasti merekah mewangi. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 18).

“Kesempurnaan bukanlah buah rambutan yang pasti meranum pada penghujung musim. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 21).

“Kesempurnaan bukanlah matahari yang pasti terbit di ufuk timur. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 24)

“Kesempurnaan bukanlah seperti kemarau yang pasti disusul musim hujan. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 25).

“Kesempurnaan bukanlah ombak yang pasti menderu ke bibir pantai. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 32).

“Kesempurnaan bukanlah rembulan yang pasti beranjak ketika sore hari mengelupas. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 37).

“Kesempurnaan bukanlah seperti padi yang pasti menguning menjelang panen. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 42).

“Kesempurnaan bukanlah rembulan yang akan membulat penuh pada purnama. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 64).

“Kesempurnaan bukanlah seperti udara yang bebas dihirup demi menyambung nyawa. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 95).

“Kesempurnaan bukanlah kepompong yang pasti bermetamorfosa menjadi kupu-kupu. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 102).

“Kesempurnaan bukanlah kisah yang pasti memiliki akhir. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 104).

“Kesempurnaan bukanlah sungai yang pasti mengalir menuju hulu. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 131).

“Kesempurnaan bukanlah mata uang yang pasti bersisi dua. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 134).

“Kesempurnaan bukanlah lagu yang pasti berakhir pada koda. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 136).

“Kesempurnaan bukanlah berlian yang pasti mencapai kualitas puncak pada hitungan karat. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 170).

“Kesempurnaan bukanlah anak rajawali yang pasti tumbuh bersayap. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 172).

“Kesempurnaan bukanlah tahun yang pasti genap berjumlah dua belas bulan. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 199).

“Kesempurnaan bukanlah penyu yang pasti menghampiri pantai untuk bertelur. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 202).

“Kesempurnaan bukanlah pementasan drama yang berakhir pada babak ketiga. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 204).

“Kesempurnaan bukanlah kunang-kunang yang pasti bersinar di persawahan malam. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 238).

“Kesempurnaan bukanlah lilin yang akan berpijar hingga sumbu terakhir. Kesempurnaan tidak terjadi begitu saja. Kesempurnaan haruslah diupayakan.” (hlm. 250).

Cukup menjemukan.

Tapi, yang terpenting di sini adalah lewat novel ini dengan tegas Sekar mengingatkan pembaca soal perilaku mendidik dan memperlakukan anak-anak yang tidak benar. Anak-anak, meskipun mungkin kelahirannya tidak diinginkan, tetap insan yang tidak berdosa. Tidak benar mendorong anak-anak yang tidak berdosa ke dalam pemahaman bahwa sebenarnya ia tidak layak dilahirkan ke dunia. Kekecewaan hidup yang dialami orangtua tidak patut dilampiaskan kepada anak-anak. Anak-anak berhak atas kehidupan yang dibangun dari proteksi orangtua. Lelaki gila dalam novel ini dipaksa dengan kekerasan untuk mendakwa dirinya sebagai 'anak nakal' dan 'pembawa sial'. Karena itu, ia patut mendapatkan hukuman sekalipun jiwanya harus mampus. Saya yakin, seperti saya ketika membaca novel ini, Anda akan merasa tertusuk selama membaca.

5 comments:

destinugrainy said... Reply Comment

Saya baca buku ini jauh sebelum filmnya keluar. Begitu filmnya keluar, saya langsung nonton. Tapi lebih berasa "tegang" baca bukunya ketimbang nonton filmnya :)
Sudah baca Kembar Keempat?

Jody said... Reply Comment

Sudah. Tapi Pintu Terlarang masih jauh lebih bagus, menurut saya. Begitu juga Doa Ibu.

Jody said... Reply Comment

BTW, saya baca Pintu Terlarang pertama kali yg terbitan Akur tahun 2004.

destinugrainy said... Reply Comment

mas Jody aku GR-nya apa?

Jody said... Reply Comment

Di sini, tapi tidak begitu aktif :)

http://www.goodreads.com/user/show/1964165-jody-setiawan

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan