19 June 2014

Interlude




Judul buku: Interlude
Pengarang: Windry Ramadhina
Editor: Gita Romadhona & Ayuning
Desain & Ilustrasi cover: Levina Lesmana
Tebal: viii + 372 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2014
Penerbit: GagasMedia





Romansa masih menjadi andalan Windry Ramadhina dalam novel keenamnya, Interlude. Kecuali Metropolis (2009), novel-novel Windry sebelumnya yaitu Orange (2008), Memori (2012), Montase (2012), dan London mengambil tema romansa. Kelebihannya, Windry mampu menghasilkan karya dengan tema generik yang simpel tapi tetap menarik dibaca. 

Sejoli karakter utama dalam novel ini adalah Hanna dan Kai, dua anak muda yang hidup menanggung beban psikologis yang berbeda. 

Hanna Sjahrir yang berparas jelita adalah seorang gadis korban pemerkosaan. Setahun setelah peristiwa yang dialaminya, ia meninggalkan rumah orangtuanya dan melanjutkan kuliah yang tertunda dua semester. Meskipun setahun telah berlalu, bayangan pemuda yang memerkosanya masih tetap mengusik ketenangannya. Apalagi rekan-rekan mahasiswanya menggunjingkannya dan menghadiahinya tatapan yang tidak biasa. Ia indekos sendirian di sebuah apartemen, dan hanya ditemani suara-suara yang direkamnya menggunakan alat perekam suara. Sementara itu, sembari menepis rasa takut yang selalu muncul, sebulan sekali ia masih harus bertemu terapisnya. 

Dia ingin terjun ke laut dan berubah menjadi buih seperti Putri Duyung Kecil. Dengan begitu, lukanya akan luruh bersama air dan dia bisa menghilang. Dia bisa lari dari dunia, dari masa lalunya, dari tatapan dan gunjingan yang menghakiminya... (hlm. 72-73). 

Kai Risjad adalah seorang pemuda produk dari keluarga disfungsional. Setelah anak-anak pasangan Risjad dewasa, hubungan pasutri itu malah menuju kehancuran dan terancam bercerai. Suasana dalam rumah yang tidak nyaman, membuat anak-anak keluarga Risjad meninggalkan rumah. Kai masih belum resmi meninggalkan rumah. Tapi ia lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Memamerkan keberengsekan pada perempuan diabaikannya habis ditiduri. Bermusik sebagai gitaris grup musik jazz -Second Day Charm- bersama Gitta dan Jun tanpa ambisi seperti kedua rekannya untuk menjadi artis rekaman label rekaman besar. Menambah keberengsekannya, Kai juga mabuk-mabukan. Ia sudah cuti setahun dari kuliahnya di Fakultas Hukum dan tidak berniat melanjutkan kuliahnya itu. Padahal, selama enam semester, Kai bisa mempertahankan IP 4. 

Jadi, untuk apa aku peduli? Aku tidak diinginkan. Di dunia ini, tidak ada tempat untukku. Dan, semua jadi tidak penting. Keluarga, musik, kuliah. Tidak penting. Perempuan juga. Aku tidak bisa serius dengan perempuan. Aku tidak percaya pada hubungan. (hlm. 176).

Gitta, vokalis dan pemain piano dalam Second Day Charm, adalah salah satu korban keberengsekan Kai. Demi Kai, Gitta meninggalkan kekasihnya, tapi kemudian menghadapi kenyataan dicampakkan oleh Kai. Selain apartemen Gitta yang berada satu bangunan dengan apartemen Hanna, kedai kopi bernama Kofilosofi yang bagian atasnya dimanfaatkan sebagai studio musik, Kai kerap menghabiskan waktu bermain gitar di taman kecil di atap bangunan apartemen Gitta. Di sanalah, Hanna dan Kai pertama kali bertemu dan Kai tidak bisa menolak minat yang muncul dalam dirinya terhadap gadis secantik Hanna. Tapi Hanna menunjukkan respons ketakutan yang dianggap Kai sebagai kepurapuraan dalam menghadapi laki-laki yang menyukainya. Dari Gitta yang -kebetulan- juga kuliah di tempat yang sama dengan Hanna, Kai mengetahui apa sebenarnya yang telah membentuk kepribadian Hanna. Kenyataan itu membuat Kai ingin memperbaiki hubungannya dengan Hanna dan bertekad tidak akan kehilangan gadis malang itu. 

Tapi, setelah berbagai upaya dilakukan untuk memiliki Hanna, Kai terbentur dengan realita kalau Hanna belum bisa membebaskan dirinya dari belenggu masa lalu. 

"Rasa takut ini. Aku tidak yakin rasa takut ini akan pernah meninggalkanku."

"Itu yang paling membuatku marah." Suara Kai meninggi. Kai merasakan emosi memenuhi dadanya. "Kau membiarkan rasa takut itu menjadi begitu kuat. Kau memeliharanya. Kau menyerah. Berhenti hidup seperti ini, Hanna. Kau berhak bahagia. Aku bisa membuatmu bahagia. Masih ingat kata-kataku di Sepa? Aku berjanji membantumu, kan? Aku tidak main-main. Kau hanya harus memercayaiku."

"Bahagia?" Hanna membalas Kai. Namun, suara gadis itu lirih dan parau. Matanya berkaca-kaca. "Setelah apa yang terjadi, menurutmu, aku masih bisa bahagia? Waktu tidak berputar ulang. Apa yang sudah hilang, tidak akan kembali. Dan, aku sudah hilang, apa kau tahu? Selamanya, aku akan seperti ini. Hidup dalam mimpi buruk. Aku tidak bisa memaksa tubuhku lupa. Itu yang tidak kau mengerti." (hlm. 292-293).

Dinilai dari tema utama, Interlude jauh dari istimewa. Romansa dengan hambatan internal seperti yang dialami Hanna dan Kai bukanlah hal yang baru. Selama membaca, mungkin kita jadi teringat karya fiksi yang pernah kita baca yang menggunakan salah satu dari karakter seperti itu. Kendati demikian, novel ini bukan tidak menarik. 

Sebagaimana dalam karya-karya sebelumnya, Windry berhasil meramu sebuah kisah yang enak diikuti sejak dimulai. Windry memiliki kecakapan merangkai kalimat dengan memanfaatkan diksi yang tidak aneh-aneh. Rangkaian kalimatnya bernas, enak dibaca, dan kerap inspiratif. Ia tidak perlu menghiasi kalimat-kalimatnya dengan koleksi kata-kata dari bahasa asing untuk menunjukkan kemahirannya. Dialog-dialognya pun enak dibaca dan sering mengesankan, terlebih dialog-dialog yang dibangunnya di antara Hanna dan Kai. Rangkaian kalimat dan dialog-dialog yang diolah dengan baik memberikan kekuatan pada karakterisasi Hanna dan Kai sehingga kedua karakter ini tidak menjadi biasa-biasa saja. Kita akan dibuat penasaran dengan perkembangan kedua karakter itu dari masa-masa pesimis hingga masa-masa optimis dalam kehidupan mereka. Dan kita akan menyadari akhirnya, kalau kisah Hanna dan Kai memang harus dihadirkan sebagai kisah cinta. Karena hanya cintalah yang bisa menjadi katalisator penuntasan problematika kehidupan yang mereka alami.

Tentu saja, Windry tidak hanya fokus pada kedua karakter utamanya. Selain kisah cinta Hanna dan Kai, masih ada kisah cinta lain yang melibatkan Gitta, Jun, dan mantan kekasih Gitta yang pernah dicampakkannya karena Kai. Seperti yang dirasakan Kai, kita juga akan dibuat gemas dengan cinta segi tiga itu. Bergabungnya mantan kekasih Gitta dalam Second Day Charm akan meramaikan dan memanaskan kisah cinta yang satu itu. Windry sukses membuat kisah cinta ini sebagai bagian tak terpisahkan dari konflik utama, dan bukan digresi yang sekadar mempertebal novel. Apa yang dialami Gitta dalam hubungan cinta itu akan berdampak pada kelanjutan hubungan Hanna dan Kai. 

Mungkin, Interlude akan lebih mengesankan jika disertai CD berisi soundtrack seperti novel-novel Andrei Aksana. Karena dengan begitu, kita bisa mengetahui seperti apa nada-nada lagu berjudul Hanna yang diciptakan Kai. Bagaimanapun, sekadar teks lagu (hlm. 367) belumlah cukup.


0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan