Judul Buku: Katzenjammer
Penulis: Stefani Hid
Penulis: Stefani Hid
Cetakan: 1, Agustus 2012
Tebal: 226 hlm; 13,5 x 20 cm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tebal: 226 hlm; 13,5 x 20 cm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Katzenjammer yang berarti mabuk kadang-kadang digunakan untuk menunjukkan keadaan umum depresi atau kebingungan. Istilah ini digunakan Stefani Hid (ayat), penulis asal Surabaya, sebagai judul bukunya yang kelima untuk menggambarkan apa yang dialami dua tokoh utama novel, Aya dan Henning.
Aya adalah gadis Indonesia asal Surabaya yang masa lalunya hanya disampaikan secara samar-samar. Seiring dengan perguliran cerita, kita akan mengetahui kalau ia lulusan Sastra Inggris dan telah menerbitkan dua buku yang tidak cukup laku. Ia sering hidup dalam kecemasan dan obsesi berlebih sehingga dilibas depresi. Misalnya ketika terserang flu atau demam, ia segera memikirkan kematian. Apalagi ketika terkena HPV (human papillomavirus), langsung cemas kalau dirinya mengidap HIV/AIDS. Aya pun menjadi tidak stabil gara-gara obsesi berlebihan, seperti saat terobsesi pada Al Pacino setelah menyaksikan aktor itu dalam film Godfather. Lantaran tidak tahan lagi dengan kondisinya, ia meninggalkan kekasihnya, meninggalkan Indonesia, dengan maksud menciptakan kehidupan baru. Ia pergi ke Eropa dan berakhir sebagai penghuni Ochtrup, sebuah kota kecil di Jerman bagian Barat. Namun, petualangannya tidak memuluskan jalan kepada perubahan hidup menjadi lebih baik. Ia terjebak kondisi yang disebut Milan Kundera sebagai litost yaitu keadaan tersiksa yang muncul tiba-tiba karena kesadaran atas penderitaan yang dialami.
Henning Wiebrock adalah pemuda tanpa pekerjaaan, hidupnya tergantung dana sosial yang diberikan pemerintah. Ketika mencoba mendapatkan penghasilan dengan mengambil pekerjaan-pekerjaan kasar, ia tidak pernah kerasan. Terpuruklah ia dalam penyesalan yang membuatnya menjadi pecandu marijuana, LSD, dan alkohol. Hidupnya hanya merupakan bukti dari perkataan ibunya bahwa, "Jika kamu lahir miskin, maka selama hidupmu akan miskin juga." (hlm. 37). Hidupnya kian kompleks karena tidak bisa menikmati hubungan seksual wajar. Ia hanya akan mengalami orgasme jika melakukan aktivitas BDSM di mana ia berperan sebagai budak dan bukan tuan. Sama seperti Aya, dalam kehidupan absurd yang ia jalani, Henning terjebak litost. Tidak heran, ia selalu ingin mati dalam tidurnya.
Lalu, bagaimana keduanya bertemu dan menemukan kecocokan sementara mereka tinggal di tempat berbeda, Aya di Ochtrup dan Henning di Rheine?
Aya telah bertekad mengubah kehidupannya. Oleh sebab itu, saat bertemu Carsten, musisi gagal yang terdampar di kantor asuransi, ia berharap banyak bisa mendapatkan kebahagiaan. Sayangnya, tidak mudah menjalin hubungan dengan seorang pria yang pernah dikecewakan dalam percintaan itu. Depresi melanda Aya, dan tanpa sengaja ia melakukan sesuatu yang membuat hubungannya dengan Carsten berakhir tragis. Saat mencoba menyelamatkan diri dari konsekwensi yang mengikutinya, Aya harus melewatkan waktui di Rheine. Di sanalah tanpa sengaja ia bertemu Henning. Dalam diri pemuda bermasa depan suram ini, Aya menemukan kecocokan. Sebagaimana dirinya, Henning juga suka menulis dan membaca buku. Pertemuan mereka menjanjikan kebahagiaan yang harus dimulai dengan keterbukaan. Sanggupkah Aya terbuka kepada Henning, termasuk membuka rahasia kelamnya, demi meraih kebahagiaan?
Kemunculan Stefani Hid sebagai penulis dalam dunia sastra Indonesia sangat menarik perhatian. Ia menerbitkan novel (dewasa) pertamanya, Bukan Saya, Tapi Mereka Yang Gila (2004) sebelum berumur 19 tahun. Pada tahun yang sama ia menerbitkan novel keduanya, Soulmate. Dua tahun kemudian, ia menerbitkan novel ketiganya, Cerita Dante (2006). Terakhir, yaitu pada tahun 2008, ia menerbitkan kumpulan cerita, Oz (Grasindo). Saya menyebut kemunculannya sebagai penulis sangat menarik perhatian (khususnya bagi saya, tentu saja) karena pada usia muda ia berani tampil beda. Ketika dunia perbukuan Indonesia dijejali novel-novel teenlit (atau chicklit untuk yang lebih dewasa), banyak penulis sebayanya meramaikan genre itu. Tapi ia justru memilih jalur sendiri, menghasilkan karya fiksi yang cerdas, serius dan melampaui usianya. Ia lebih memilih mengangkat absurditas kehidupan manusia yang memerlukan perenungan dan pemikiran untuk mengapresiasinya. Para karakter utama dalam karya-karyanya harus jatuh bangun menghadapi kehidupan yang tidak ramah dan kerap berakhir tragis.
Katzenjammer (Cerita tentang Aya dan Henning) masih berkutat pada abdurditas kehidupan manusia yang dikemas secara intens dalam diri sejoli tokoh utamanya, Aya dan Henning. Jadi, kendati menghadirkan romansa di antara mereka, jangan berharap akan mendapatkan kisah yang jamak muncul dalam novel-novel pop Indonesia masa kini. Penulis, sebagaimana dalam karya-karya sebelumnya, meneguhkan kembali apa yang disampaikan Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus, yang dikutipnya dalam novel ini: "Pada setiap sudut jalan, perasaan tentang absurditas dapat menyerang siapa pun pada muka mereka." (hlm. 69). Alhasil, sebuah karya dengan absurditas yang berpotensi menggiring pembaca ke dalam katzenjammer.
Kisah dalam novel ini dituturkan secara kilas balik. Dimulai pada tahun 2009 di Budapest, Hungaria, di mana penulis memperkenalkan dua tokohnya, Aya dan Henning, kisah kemudian mundur ke tahun 2004 dan 2005 untuk memulai perjalanan kehidupan mereka. Secara bergantian, penulis mengisahkan kehidupan Aya dan Henning sampai mereka bertemu dan memutuskan apakah akan berpisah atau terus bersama. Namun apapun yang berada di ujung hubungan mereka, mereka tetap sukar menjangkau kebahagiaan yang sebenarnya. Penyebabnya jelas, seperti yang dikatakan Aya di bagian awal novel: "Semua ini lantaran kita berharap terlalu banyak dari kehidupan yang sebenarnya sangat sederhana." (hlm. 5).
Meskipun boleh dibilang tidak pernah menghadirkan kisah-kisah yang membuat kita tersenyum bahagia, saya tetap menantikan karya Stefani Hid, penulis yang tetap setia melangkah di jalur yang dipilihnya sejak dini.
0 comments:
Post a Comment