30 September 2013

Enigma


Judul Buku: Enigma
Pengarang: Yudhi Herwibowo
Penyunting: Anin Patrajuangga
Tebal:224 halaman
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: Grasindo



Mereka memulai pertemanan saat sama-sama menjadi mahasiswa di Jurusan Ilmu Komunikasi UGM. Kerap mereka menghabiskan waktu di bawah sebatang pohon asem besar yang menaungi meja panjang sebuah warung lotek di daerah Kanisius, Yogyakarta.  Mereka adalah Hasha, Chang, Patta, Goza, Isara, dan Kurani. Setahun menjalin pertemanan, Kurani meninggalkan Yogyakarta dan pindah kuliah di Jakarta. Maka, Isara menjadi satu-satunya perempuan dalam lingkaran pertemanan itu. 

Dengan parasnya yang cantik, Isara membuat teman-teman lelakinya tertarik, kecuali Chang. Tapi hanya satu yang membuatnya memiliki perasaan yang sama, Hasha. Sejak pertama kali mengenal Hasha, Isara telah bersimpati pada laki-laki pendiam yang senang menulis sajak itu. Yang mengejutkan Chang, meskipun tampaknya Isara membalas perasaan Hasha, ternyata hubungan mereka tidak berlanjut. Isara malah mengakrabkan diri dengan Patta. Bahkan, setelah menyelesaikan kuliah, Isara menikah dengan Patta kemudian diboyong sang suami yang menjadi salah satu staf ahli di Senayan. 

Hampir tiga tahun hidup bersama kesadaran Patta tersentak oleh kenyataan kalau sebenarnya Isara tidak pernah mencintainya. Suatu hari, Patta mesti berhadapan dengan permintaan Isara untuk tidak melanjutkan pernikahan mereka. Tapi setelah bercerai, ternyata tidak mudah bagi Patta melupakan Isara. 

Begitu diwisuda, hanya Hasha satu-satunya yang menetap di Yogyakarta. Hasha bekerja sebagai wartawan di sebuah koran lokal. Saat menulis tentang kasus korupsi, laki-laki yang senang bicara pada lilin-lilin itu mengalami penganiayaan yang membuatnya meninggalkan Yogyakarta dan pindah ke Solo. Di sana, ia tetap bekerja, yaitu sebagai wartawan lepas sambil berharap bisa menulis novel. Keputusan menetap di Solo mempertemukannya kembali dengan Kurani yang menciptakan hubungan cinta yang segera akan dikukuhkan dalam pernikahan. 

Isara kembali ke Yogyakarta setelah menerima undangan pernikahan Hasha dan Kurani. Tapi tujuan utamanya bukanlah untuk bersiap-siap menghadiri pernikahan kedua temannya. Ada kenangan masa lalu yang terus memanggilnya, kenangan masa lalu bernama Marga. Kenangan masa lalu itu memaksanya kembali tapi bukan untuk mengakhiri efek yang ditimbulkannya dalam kehidupan Isara, termasuk kehidupan cintanya yang gagal. Kepulangannya ke kota kelahirannya mau tak mau membawa Isara bertemu lagi dengan laki-laki yang dicintainya. 

Pada saat yang sama, Chang dan Goza yang tinggal di Jakarta sedang berada di Yogyakarta. Setelah lulus kuliah, Chang yang bernama asli Indiray mencoba mengadu nasib sebagai jurnalis di Jakarta. Kegagalan menuntunnya ke dalam Pondok Pertobatan, sebuah sekte yang membuatnya menemukan dirinya. Gara-gara kerusuhan SARA yang melanda Solo, keyakinan Chang pada Tuhan sempat goyah sehubungan dengan yang dialaminya sebagai pemuda keturunan Cina. Chang kembali ke Yogyakarta bukan karena hendak menghadiri pernikahan Hasha, sahabat terbaiknya. Bahkan ia tidak tahu kalau Hasha akan menikah. Seperti Isara, kepulangannya juga membawanya bertemu dengan Hasha. Di antara teman-teman Isara, hanya Goza-lah yang mengetahui alasan Isara menghalau Hasha dari kehidupannya. 

Goza datang ke Yogyakarta, juga bukan karena mendapat undangan pernikahan Hasha dan Kurani. Seperti Chang, setelah berpisah, Goza tidak pernah lagi berhubungan dengan teman-temannya. Sejak awal Goza memang tidak berniat menjadi teman Hasha, Chang, dan Patta. Ia tetap berada dalam lingkaran pertemanan hanya karena tertantang untuk menaklukkan Isara. Goza datang ke Yogyakarta untuk melaksanakan pekerjaannya: membunuh seseorang yang identitasnya tidak diketahuinya. Goza yang fokus hidupnya adalah meniduri setiap perempuan yang dihasratinya memang bekerja sebagai pembunuh bayaran. 

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul selama membaca adalah: apakah yang akan terjadi di Yogyakarta saat para tokoh itu berada di sana dan tidak bisa menghindari terjadinya pertemuan? Mungkinkah mereka akan bersinggungan lagi di satu titik seperti saat-saat mereka menghabiskan waktu di meja panjang warung lotek itu? Apakah akhirnya Isara mampu mengungkapkan alasan kepergiannya dari hidup Hasha? Apakah Hasha bisa melanjutkan pernikahannya dengan kemunculan perempuan yang masih dicintainya? Apakah Chang dan Goza dapat menunaikan maksud kedatangan mereka ke Yogyakarta? Jawaban dari semua pertanyaan ini akan diungkapkan satu demi satu di sepanjang plot menuju bagian pamungkas yang mencekam dan dramatis. 

Enigma yang merupakan salah satu dari 31 Naskah Pilihan yang terjaring dalam lomba PSA (Publisher Searching for Author) yang diadakan Penerbit Grasindo ini ditulis menggunakan plot maju-mundur yang mengundang penasaran. Setelah prolog yang membuat kita bertanya-tanya, pengarang memberikan kesempatan setiap karakter utama -Hasha, Isara, Patta, Chang, dan Goza- membagikan kisah hidup mereka secara seimbang. Setiap bab mereka akan mengungkapkan pengalaman dan membongkar semua kenangan agar kita memahami karakter, hasrat, kerinduan, kekecewaan, dan kegagalan dalam hidup mereka. Kita akan dibuat bersimpati dengan mereka dan ikut menyesal pada setiap tuntunan takdir yang tidak membawa mereka pada kebahagiaan. Pengarang memang cukup 'sadis' mempermainkan nasib para karakter. Sampai lembar terakhir novel ini kita tidak akan menemukan banyak optimisme akan kehidupan dan cinta yang lebih baik. Tapi, jujur saja, secara pribadi saya memandang pilihan yang diambil pengarang terhadap nasib semua karakternya merupakan pilihan yang tepat untuk memberikan sengatan yang signifikan kepada para pembaca. 

Pilihan menggunakan lebih dari satu narator orang pertama memang menantang tapi agak riskan, apalagi menggunakan lima narator. Karena mereka memiliki kepribadian berbeda, mereka akan berkisah dengan cara mereka sendiri. Artinya, pengarang harus bisa menciptakan kekhasan pada setiap narator sehingga suara mereka langsung bisa dikenal sekalipun tidak diberi tahu secara langsung siapa yang sedang berkisah. Ada pengarang yang memutuskan membedakan cara karakter menyebut diri (aku, saya, gue) kendati tetap saja suara semua karakter masih terasa homogen. Yudhi Herwibowo memilih untuk secara langsung memberi tahu siapa narator yang sedang berkisah. Semua karakter menyebut diri mereka 'aku' dan bertutur dengan gaya yang persis sama alias gaya Yudhi Herwibowo sendiri. 

Setiap awal suatu bab, kita akan mengikuti kisah yang dicetak miring yang ditulis menggunakan plot kilas balik. Tidak terlalu lama, kita akan segera menemukan kaitan kisah ini dengan kisah utama. Cukup disayangkan sebenarnya karena keterkaitan kedua kisah itu akan lebih memberikan efek jika baru diungkapkan pada bagian pamungkas. 

Enigma mau tidak mau membangkitkan kembali ingatan pada beberapa kasus yang pernah terjadi di Indonesia. Melalui kisah karakter Chang, kita teringat kasus Lia Aminuddin atau Lia Eden dengan kelompok kepercayaan bernama Kaum Eden (sebelumnya bernama Salamullah). Sedangkan melalui kisah karakter Hasha, kita teringat kasus penganiayaan yang berakhir dengan kematian wartawan Harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin,  pada Agustus 1996. Kasus pembunuhan menggunakan pembunuh bayaran yang antara lain dimunculkan melalui kisah Patta bukan lagi hal yang baru karena sudah pernah terjadi di Indonesia. 

Kenikmatan membaca novel ini berkali-kali disela oleh kesalahan cetak. Saking melimpahnya, terasa sangat mengganggu selama pembacaan. Penyuntingan yang kurang tangkas pun menyisakan kalimat-kalimat yang masih membutuhkan pembenahan. Belum lagi beberapa inkonsistensi yang tidak terkoreksi. 

Ada beberapa hal yang sebenarnya bisa dihindari yang sempat saya tandai dalam Enigma

1. Pondok Pertobatan sempat menjadi Rumah Pertobatan (hlm. 14).

2. Sepasang hamster diletakkan bersama-sama dalam akuarium bulat dengan sepasang kura-kura Brasil dan sepasang ikan mas koki rembulan (hlm. 9).

3. Isara terlalu banyak menelan aspirin sekaligus dan dilakukan dua kali (hlm. 55-56). Bukankah sebutir aspirin cukup untuk meredakan sakit kepala? Beberapa butir mungkin akan melukai lambung Isara.

4. Warung koboi menjadi warung coboy (hlm. 113).

4. Kalimat berbunyi: "Karena sudah bukan lagi milik keluarga Isara..." (hlm. 137) merupakan kalimat janggal. Saya sempat mengira narator telah berpindah ke Hasha dan lupa diberi tahu pengarang, tapi setelah meneruskan pembacaan, ternyata  masih Isara yang menjadi narator. 

Seolah-olah hendak mengingatkan pembaca pada karya lainnya, pengarang sempat menyebutkan dua karyanya dalam novel ini. 

Saat aku selesai membaca novel Pandaya Sriwijaya, aku akan menyebut diriku Samudra, seperti nama tokoh utama di novel itu, Tunggasamudra (Goza: hlm. 22). 

Ada sebuah kafe yang unik di daerah Soedirman. Namanya Cafe Untung Surapati (Patta: hlm. 65). 



2 comments:

Yudhi Herwibowo said... Reply Comment

ah baru tahu ternyata ada repiunya.
makash ya bang.

Jody said... Reply Comment

@Yudhi Herwibowo:
Udah lama nih, Mas Yudhi. Terima kasih.

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan