23 August 2012

All the Flowers in Shanghai


Judul Buku: All the Flowers in Shanghai
Pengarang: Duncan Jepson (2012)
Penerjemah: Istiani Prajoko
Tebal: 476 hlm
Cetakan: 1, Juni 2012
Penerbit: Serambi Ilmu Semesta


 


Pada galibnya, kisah tentang perempuan dengan muatan perasaan dan pikiran perempuan akan lebih intensif jika disampaikan oleh pengarang perempuan, apalagi ketika mengambil sudut pandang orang pertama. Tapi Duncan Jepson, seorang penulis laki-laki, dalam novel perdananya All the Flowers in Shanghai, ternyata berhasil mengumandangkan suara perempuan dengan nyaris sempurna. 

Dimulai pada tahun 1930-an di Shanghai, kota yang pernah dikenal sebagai "Paris of the East", Duncan Jepson memperkenalkan Xiao Feng, narator yang akan mengisahkan perjalanan hidupnya setelah ia kian menua pada penghujung 1950-an. Kisahnya terbentang melalui sejarah kota Shanghai, sejak pengeboman oleh Jepang, pendudukan Jepang, hingga kekalahan Jepang, dan dikuasainya Shanghai oleh Partai Komunis China. 

Pada tahun 1932, Feng adalah seorang gadis remaja yang hidupnya telah ditentukan. Ia adalah anak perempuan kedua di keluarga kelas menengah China dengan ayah yang pengalah dan ibu yang ambisius. Ibunya yang ingin mengangkat harga diri dan kedudukan sosial keluarga berencana menikahkan kakak Feng dengan laki-laki dari keluarga kaya. Tidak ada rencana menikahkan Feng. Karena sebagai anak bungsu, ia dipersiapkan untuk merawat kedua orangtunya saat mereka lanjut usia. 

Bukan berarti Feng tidak mengenal cinta demi menurutkan plot yang telah ditetapkan baginya semenjak kelahirannya. Saat pernikahan kakaknya dengan putra dari keluarga Sang sedang dipersiapkan, Feng bertemu Bi, cinta pertamanya. Bi adalah anak tunggal dari Madam Zhang, perempuan yang menjahit gaun pengantin kakak Feng. Hubungan mereka tidak berkembang lantaran setelah gaun pengantin itu selesai, Bi pulang kampung bersama ibunya.

Secara mengejutkan, sebelum pernikahan dilaksanakan, kakak Feng meninggal akibat sakit kanker. Keluarga Sang, dengan alasan tidak ingin kehilangan muka, menuntut agar pernikahan tetap dilanjutkan setelah masa berkabung selesai. Mau tak mau, Feng yang masih remaja (17 tahun) harus menggantikan kakaknya: menikah dengan laki-laki yang tidak dicintainya. Ia pun harus meninggalkan kebiasaan jalan-jalan di taman dengan Kakeknya dan mempelajari nama-nama Latin pohon dan bunga. Ia akan menjadi Istri Pertama Xiong Fa dan diharapkan bisa melahirkan ahli waris bagi keluarga Sang. Ahli waris yang diinginkan, tentu saja, bukan anak perempuan. 

Setelah menikah dengan Xiong Fa, Feng pindah ke rumah besar keluarga Sang. Menjadi bagian keluarga ini berarti ia mesti mengikuti berbagai aturan kaku dan sopan santun dalam keluarga Sang. Ia pun tidak bisa keluar rumah seperti yang kerap ia lakukan dengan kakeknya, tanpa izin kedua orangtua suaminya. Akhirnya, ia lebih banyak menyembunyikan diri dalam kamarnya dan hanya berkomunikasi dengan Yan, pembantunya yang baik hati.


"Aku ingin menjadi bunga kecil di antara pohon-pohon ini, mungkin sejenis Ranunculus acris, yaitu bunga Buttercup mungil yang suka tumbuh di padang rumput. Selama bertahun-tahun, inilah bunga kesayanganku, warnanya cerah tetapi lembut, tampak ceria bersembunyi di tengah rerumputan." (hlm. 169).

Hal yang paling menakutkan bagi Feng adalah melakukan hubungan badan dengan suaminya. Ia tidak punya pengalaman dan tidak pernah mendapatkan edukasi soal seks. Tapi karena harus melahirkan ahli waris bagi keluarga Sang, ia pun menerima suaminya di tempat tidurnya, kendati hal ini merupakan perjuangan berat baginya. Setelah menikah mereka tidak tidur sekamar dan seranjang. Xiong Fa hanya akan mendatangi kamar Feng untuk kepentingan reproduksi, dan begitu selesai, kembali ke kamarnya sendiri. 


"Setiap malam aku merasa seperti tenggelam, bagai makanan yang ditaburkan di dalam kolam ikan porselen besar di tengah-tengah halaman. Rumah ini telah merampas jam-jamku setiap malam dengan tamak sampai serpihan terkecilnya.... Aku merasa tak memiliki tubuhku sendiri; hanya sekerat daging yang merupakan alat bagi otakku untuk kugunakan saat aku memiliki kendali penuh, tetapi semuanya -kulitku, bibirku, kakiku, tanganku, pantatku- bisa digunakan atau diperintah oleh orang lain kapan saja demi kesenangan mereka. Setiap malam, keluarga ini memasuki dari segala arah, meninggalkanku kesakitan dan berdarah. Siang dan malamku luluh lantak." (hlm. 217). 

Feng hamil, dan karena frustrasi dengan nasibnya, ia membuat sebuah keputusan yang mengerikan. "Aku bersumpah akan menjadi perempuan terakhir di keluargaku. Inilah akhir dari impian Ma dan Kakak, kelemahan Ba dan Kakek, akhir dari keluarga kami." (hlm. 235-236). 

Perjalanan hidup yang dikisahkan Feng adalah perjalanan hidupnya dari seorang anak perempuan kedua yang disepelekan hingga menjadi Istri Pertama yang berkuasa. Dari seorang perempuan yang dililit penderitaan menjelma menjadi perempuan yang berkesempatan membuat orang lain menderita. Sayangnya, perubahan ini membuat ia melakukan sebuah kesalahan besar tanpa berpikir panjang. Kesalahan ini akan menghantuinya seumur hidup. Sama seperti ia tidak berkuasa memangkas kehadiran perempuan dalam silsilah keluarganya, ia juga tidak mampu menepis gelombang Revolusi Komunis yang menghempas China dan melemparkannya ke dalam kemelaratan hidup.

Sejatinya, apa yang hendak disampaikan Duncan Jepson melalui All the Flowers in Shanghai termaktub dalam sebuah alinea di bagian Tentang Ibu Saya: Catatan Pengarang (hlm. 474):

"Sebagai seorang Eropa-Asia yang dibesarkan di Inggris dan selama bertahun-tahun bersekolah, berkencan, melakukan perjalanan, dan bekerja di Singapura, Hong Kong, dan China, saya memperhatikan bahwa terkadang kecenderungan memenangkan anak lelaki daripada anak perempuan, atau anak sulung daripada anak bungsu, justru kerap dilaksanakan oleh para ibu itu sendiri. Seakan-akan membesarkan dan mengasuh anak lelaki dan menjaga nama keluarga harus dilakukan, apa pun pengorbanannya, walaupun dalam masyarakat Asia modern pengorbanan itu sesungguhnya tak perlu dilakukan. Seperti halnya panggilan atavistik, tradisi buruk itu terus dipelihara walaupun bertentangan dengan logika dan keadilan dan anehnya justru dilakukan oleh para ibu berdasarkan pengalaman mereka sendiri yang pada masa lalu mendapatkan perlakuan yang sama." 

Membaca novel ini, kita akan menikmati kefasihan seorang pengarang laki-laki mendedahkan suara perempuan. Pikiran dan perasaan seorang perempuan tua yang menghabiskan hidup dalam penyesalan tersalurkan secara intensif dalam lembar-lembar novel. Kita akan diseret arus kekecewaan dan ketidakbahagiaannya kemudian digulung gelombang penyesalan akibat tindakan gegabahnya. Dijamin, kita akan bersimpati pada semua keputusan yang diambilnya, sekejam apa pun itu. Namun ketika novel hampir berakhir, kita akan menemukan harapan untuk mengakhiri penyesalannya. Perca-perca kain putih yang dijahit menjadi buku dan syal bergambar semua bunga yang pernah dilihat perempuan itu di Shanghai. 

Novel diakhiri dengan rangkaian kalimat indah yang merupakan bagian dari sebuah surat. "Aku berharap bahwa dengan segala hal yang telah hilang dan yang masih tersisa bagiku, kakiku yang tidak dapat digunakan lagi, otot-ototku yang robek, dan wajahku yang terasa panas, aku hanya perlu membuka mataku malam itu dan membiarkan diriku mencintai, seperti yang harus dilakukan semua orang. Akhirnya aku dapat tersenyum, bahagia karena kau dapat menemukanku." (hlm. 469).

Saya suka dengan hasil terjemahan edisi Indonesia ini. Istiani Prajoko selaku penerjemah begitu piawai dalam pemilihan diksi dan perangkaian kalimat. All the Flowers in Shanghai terasa sangat indah dalam bahasa Indonesia. 

Duncan Jepson yang berdarah Eropa-Asia (ibunya China-Singapura, ayahnya Inggris) adalah seorang penulis merangkap sutradara dan produser film. Ia telah menyutradarai tiga film dokumenter yaitu Follow My Heart: China's New Youth Movement, Hope without Future?, dan A Devil's Gift. Rice Rhapsody, Perth, dan Return to Pontianak adalah film cerita yang diproduserinya. Jepson yang sebelumnya pernah menjadi editor majalah mode West East mendirikan Asia Literary Review dan menjabat sebagai redaktur pelaksana. Sehari-hari ia menetap di Hong Kong dan bekerja sebagai pengacara.  
 

 Bund, Shanghai, 1930-an

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan