Judul Buku: Born Under a Million Shadows (Dalam Sejuta Bayangan)
Penulis: Andrea Busfield (2009)
Penerjemah: Septina Ferniati
Tebal: 376 hlm; 20 cm
Cetakan:1, Mei 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
"Namaku Fawad dan ibuku mengatakan aku lahir di bawah bayang-bayang kaum Taliban." (hlm. 3).
Berlatar masa setelah Kabul diambil alih Aliansi Utara dan Taliban meninggalkan jalan-jalan Kabul, Born Under a Million Shadows mengisahkan kehidupan seorang anak laki-laki Pashtun bermata hijau besar bernama Fawad. Bersama Mariya, ibunya, Fawad meninggalkan kampung halamannya dan pergi ke Kabul. "Ayahku terbunuh, kakak-kakak lelakiku tiada dan kakak perempuanku hilang. Tapi di Afghanistan, semua itu hanya akan ditanggapi ucapan bernada tinggi "lalu kenapa?" (hlm. 134).
Georgie, perempuan asal Inggris yang bekerja di sebuah LSM dan memelihara kambing kasmir untuk diambil bulunya, mengajak Mariya untuk mengurus rumah yang ditempatinya. Selain Georgie, di rumah itu juga tinggal May, insinyur lesbian asal Amerika, dan James yang bekerja sebagai jurnalis. Setelah Fawad dan ibunya tinggal di sana, Fawad mendapatkan teman-teman orang dewasa. Ketiga orang asing itu memperlakukan Fawad seperti orang dewasa dan bersikap terbuka, termasuk soal hubungan asmara.
Fawad mencintai Georgie dan berharap bisa menikahi perempuan cantik itu suatu hari. "Begitu dia berhenti merokok dan pindah ke satu-satunya agama yang benar, tentu saja." (maksud Fawad agama Islam, hlm. 28). Tapi karena Fawad masih anak-anak, ia kalah dengan karisma Haji Khalid Khan, kekasih Georgie. Khalid adalah seorang pria kaya, berkuasa, dan disegani di Afghanistan. Ia memiliki reputasi luar biasa sehubungan dengan usahanya melawan Taliban. Setelah tiga tahun berhubungan, Georgie daan Khalid belum menikah. "Aku seorang kafir yang tak bertuhan, Fawad. Khalid seorang Muslim. Bagaimana kami bisa menikah di Afghanistan saat ini?" kata Georgie (hlm. 170).
Interaksi Fawad dan Georgie, Khalid dan Georgie, adalah sajian utama yang dihidangkan Andrea Busfied dalam novel ini. Dimunculkannya Fawad dalam hubungan Georgie dan Khalid memang ada tujuannya. Georgie dan Khalid harus dipersatukan karena keduanya saling mencintai, dan Fawad akan berperan penting dalam usaha itu. Peran seperti apa yang dimainkan Fawad akan diungkapkan Busfield saat kisah dalam novel ini mencapai klimaks.
Mempersatukan Mariya dengan Shir Amir, penjaga rumah di jalan Wazir Ali Khan, juga membutuhkan peranan Fawad. Seperti yang terjadi di antara Georgie dan Khalid, alasannya juga karena sebenarnya Shir Amir dan Mariya saling mencintai. Hanya saja, ada alasan lain yang membuat Fawad bertekad menyadarkan ibunya soal cinta ini. Fawad takut ibunya menjadi lesbian seperti May.
Selain kisah cinta orang-orang dewasa itu, novel ini juga menghadirkan persahabatan Fawad dengan anak-anak Afghanistan lain yang lahir di bawah bayang-bayang kaum Taliban. Ada Jamilla, anak perempuan dari keluarga miskin yang selalu dipukuli ayahnya yang keranjingan opium. Fawad membuka jalan bagi Jamilla untuk bekerja di toko tempatnya bekerja. Ada juga Spandi (nama aslinya Abdullah), anak piatu yang mencari uang dengan menjual kartu telepon. Dan tak bisa dilupakan Mulallah, gadis yang dijual ayahnya gara-gara kalah judi. Salah satu dari ketiga sahabat Fawad ini bernasib apes karena tewas dalam ledakan bom bunuh diri.
Walaupun bukan berwujud persahabatan seperti dengan Jamilla, Spandi, dan Mullalah, interaksi antara Fawad dengan Jahid, sepupunya yang buruk rupa, dan Pir Hederi, laki-laki buta pemilik toko tempatnya bekerja, juga merupakan bagian yang menarik dalam novel ini.
Yang paling menarik dalam novel ini sebenarnya penggunaan anak-anak sebagai narator. Berapa umur Fawad tidak jelas, kemungkinan besar sekitar sepuluh tahun (di sampul belakang disebutkan sebelas tahun). "Di Afghanistan, kami tidak merayakan ulang tahun. Kami hanya mengenang kemenangan dan kematian," kata Fawad (hlm. 5). Busfield mengindikasikan Fawad sebagai narator anak-anak yang cerdas dan memiliki kemampuan istimewa dalam mengobservasi kehidupan manusia dan negaranya. Sayangnya, pengindikasian ini terlalu berlebihan. Begitu banyak rangkaian kalimat (termasuk kalimat bersayap) dalam kisah Fawad yang sangat diragukan bisa keluar dari benak seorang anak kecil. Bagaimana mungkin Fawad yang tidak tahu apa itu 'kolera' (hlm. 110) dan 'harapan' (hlm. 202) bisa dengan fasih mengelaborasi kondisi sosial-politik Afghanistan dengan bahasa orang dewasa? Akhirnya, bagi saya, Fawad hadir sebagai narator yang tidak meyakinkan. Busfield, seorang pengarang dewasa, boleh dikatakan, tidak berhasil menggunakan anak-anak sebagai narator yang mengobservasi kehidupan layaknya seorang anak-anak.
Menggunakan anak-anak sebagai narator orang pertama untuk menggulirkan kisah bermuatan tema dewasa memang riskan. Mungkin kalau Busfield memilih memanfaatkan perspektif orang ketiga, hasilnya akan terasa wajar, misalnya ketika ia menyampaikan kondisi sosial-politik Afghanistan selepas dihalaunya Taliban dari Afghanistan.
Terlepas dari itu, Born Under a Million Shadows yang diedisi-indonesiakan sebagai Dalam Sejuta Bayangan, adalah sebuah novel yang memiliki tingkat keterbacaan yang cukup tinggi. Penerjemahan yang apik didukung penyuntingan yang prima menghasilkan edisi yang bersih dari typo dan kalimat-kalimat rancu.
Born Under a Million Shadows ditulis Andrea Busfield berdasarkan pengalamannya tinggal di Afghanistan. Pengarang asal Inggris ini pertama kali mengunjungi Afghanistan ketika meliput kejatuhan Taliban pada Oktober 2011 sebagai reporter tabloid News of the World. Pada tahun 2005, setelah bekerja sebagai jurnalis di Inggris selama 15 tahun, ia kembali ke Afghanistan dan bekerja sebagai editor koran di Kabul. Born Under a Million Shadows (diterbitkan pertama kali tahun 2009) adalah novel pertamanya. Ia telah menerbitkan novel keduanya, Aphrodite's War, pada tahun 2010.
Andrea Busfield |
1 comments:
buku asik untuk di baca
Post a Comment