Judul Buku: Dramaturgi
Dovima
Pengarang: Faris Rachman-
Hussain
Penyunting: Irna Permanasari
Ilustrasi dan Desain
Sampul: Staven Andersen
Tebal: 232 halaman; 20 cm
Cetakan: 1, Juni 2013
Penerbit:Gramedia Pustaka
Utama
"Selama ini aku melakukan
pekerjaan sebagai wartawan karena ibuku. Karena hanya ini pekerjaan yang
menurut Ibu tepat. Seberapa keras pun berusaha menyangkal, sekarang kusadari
aku menjalani semua ini karena aku memang mencintai pekerjaan ini.... " (hlm.
204).
Seruni Said telah menentukan alur hidup yang harus dijalani putrinya, Dovima Aisyah Said. Apapun yang diinginkan Seruni, akan diterapkan dalam hidup Vima. Hal ini dimulai sejak dini, saat ia memboyong Vima yang berusia empat tahun ke New York setelah perceraiannya dengan Gandhi Wirasetja untuk bekerja sebagai kolomnis The New York Times dan koresponden Times Asia. Semua keinginan Seruni sulit dibantah sehingga lama-kelamaan membuat Vima merasa tercekik.
Vima selalu merasa sesak, bahkan hampir
tak dapat bernapas, saat berada dekat Ibu. Seolah ibunya mencekik leher Vima
dan hanya akan melepaskan cekikan itu saat ia melakukan apa yang tepat di mata
sang ibu. Ia merasa tak pernah berhasil memenuhi ekspektasi Ibu yang
menginginkan dirinya menjadi insan luar biasa, kembaran ibunya yang gila
sukses. (hlm. 47-48)
Mencoba
membebaskan diri dari cengkeraman kehendak Seruni, pada usia delapan belas tahun Vima meninggalkan New York
dan kembali ke Indonesia. Padahal ia telah lulus
penerimaan awal di School of Journalism Columbia University. Anehnya,
Vima tidak sepenuhnya bisa meloloskan diri dari apa yang dikehendaki Seruni
terhadap dirinya. Di Indonesia, ia kuliah di Jurusan Jurnalistik
Fakultas Komunikasi Universitas Padjajaran, yang merupakan almamater Seruni. Akhirnya, setelah lulus, ia pun menjadi calon
reporter (carep) di majalah mingguan Kala, tempat Seruni dulu menjadi wartawati.
Sempurnalah sudah, secara dramaturgis, Vima yang memiliki paras serupa Seruni
muda, dengan kegilaannya pada pekerjaan, memainkan lakon kehidupan ibunya
sendiri.
Saat
ditugaskan di desk Ekonomi dan hadir
dalam konferensi pers proyek mining
Nagri Plc. milik Hussainduaja Group yang bekerja sama dengan investor asing
asal Prancis, Dovima tidak bisa mengendalikan diri sehingga menimbulkan ketegangan.
Ia membeberkan informasi off the record
mengenai Keluarga Hussainduaja yang hanya diketahui segelintir wartawan Kala. Padahal,
ia sedang melakukan liputan ekonomi, bukan kasus korupsi. Akibatnya, Vima
dihukum, dipindahkan ke desk Gaya
Hidup yang sama sekali tidak diminatinya. Tapi, ia tidak bisa menyangkal,
tugas meliput untuk desk Gaya Hidup memunculkan
sisi romantismenya yang belum tergali. Ia tidak bisa menampik pesona yang
ditebarkan Kafka Hussainduaja, lelaki berpenampilan menarik dan percaya diri yang
tidak lain adalah general manager
proyek Nagri Plc. yang sempat bersitegang dengannya. Kafka pun secara tanpa
tedeng aling-aling menunjukkan ketertarikannya pada Vima dan mencoba membawanya
ke dalam kehidupan yang dijalani Keluarga Hussainduaja. Mampukah Vima
melanjutkan hubungannya dengan Kafka, sementara ia mengetahui kalau Madji
Djasin, sekretaris redaksi Kala, juga mendambakan hubungan romantis dengannya?
Bukan
hanya masalah cinta yang mesti dihadapi Vima. Setelah didiagnosis mengidap
Alzheimer, Seruni kembali ke Indonesia. Terkadang, ia tidak ingat kalau Vima
adalah putri semata wayangnya dan bukan sahabat tempat ia mencurahkan rahasia
gelapnya. Tanpa disadarinya, ia mengungkapkan kepada Vima jika sebelum
perceraiannya dengan Gandhi Wirasetja -ayah Vima, ia pernah terlibat
perselingkuhan dengan laki-laki lain. Pengungkapan rahasia gelap ini tentu saja
membuat Seruni terpukul, apalagi ia mengenal laki-laki selingkuhan ibunya.
Tapi
masih ada masalah lain yang harus dihadapi Vima. Saat ia terlibat liputan
terkait penyuapan lelang proyek pengadaan solar
home system, ia dibenturkan kenyataan pahit yang membuatnya terpaksa memilih
solusi yang tersisa kendati hal itu berarti ia terpaksa membiarkan
cintanya kandas.
Dengan
konflik ruwet yang ada, dunia jurnalistik dan kasus-kasus korupsi yang
ditonjolkan serta problematika keluarga disfungsional, Dramaturgi Dovima karya Faris Rachman-Hussain memberikan warna berbeda dalam kelompok novel metropop. Tentu saja,
seperti yang disampaikan sebelumnya, novel ini tetap bermuatan kisah cinta
-elemen dominan dalam metropop. Tapi cinta di sini merupakan cinta yang dewasa
dan tidak hiperbolis, bukan satu-satunya faktor yang menggerakkan kehidupan
para karakter novel. Taburan barang bermerek sebagaimana yang kerap muncul
dalam novel-novel metropop juga masih terdapat dalam novel ini. Hal yang sangat
lumrah, mengingat konsumennya adalah pemilik kekayaan berlimpah.
Rasa
berbeda lainnya diindikasikan dengan penggunaan bahasa yang cenderung baku dan
pilihan diksi yang serius tapi tidak menghasilkan bacaan yang kaku atau
membosankan. Kisahnya mengalir lancar dalam nuansa populer yang tetap kental. Pembubuhan
bahasa Inggris tidak berlebihan dan masih kontekstual sehingga tidak terkesan latah.
Saya
suka cara Faris menutup novel ini. Ada kehilangan yang terasa puitis. Kesan
yang ditinggalkan sama dengan saat menyaksikan adegan pamungkas dalam film Killing Me Softly (dibintangi Heather
Graham dan Joseph Fiennes, 2002).
Ada
hal yang mengganjal selama pembacaan. Pertama adalah terkait penyajian adegan
kilas balik (kenangan/ingatan) menggunakan cetak miring yang tidak konsisten. Beberapa kali, secara mendadak, meskipun masih adegan kilas balik, tidak
dicetak miring lagi (hlm, 163, 167, 214). Adegan kilas balik yang terlalu
banyak ini pun tidak hanya muncul dari satu perspektif. Selain dari perspektif
Vima (orang pertama), juga dari perspektif Gandhi Wirasetja dan Seruni Said
(orang ketiga). Sebenarnya adegan kilas balik pada halaman 160-164 tidak jelas mengalir
dari kenangan siapa. Awalnya terkesan merupakan kenangan Isa Moehammad,
pemimpin redaksi Kala. Tapi, setelah tiba di halaman 164, tampaknya adegan
kilas balik itu dimaksudkan sebagai kenangan Seruni. Padahal, bukannya Seruni
sudah meninggal saat itu? Lebih aneh (atau malah kacau) lagi, Faris memunculkan
adegan kilas balik dalam adegan kilas balik saat Seruni terkenang
pertengkarannya dengan Gandhi (hlm. 164-165).
Hal
kedua yang mengganjal berhubungan dengan usia dua tokoh dalam novel ini. Marianne
Hussainduaja, bangsawan Prancis yang adalah nenek Kafka, awalnya disebut
berusia 85 tahun (hlm. 52), tapi kemudian dalam berita majalah Haute disebut berusia 83 tahun (hlm.
105). Dovima Said dalam laporan Reinhart Gumilar (hlm. 43) dan berita majalah Haute (hlm. 105) disebut berusia 24
tahun. Tapi, berdasarkan informasi dalam novel, seharusnya ia berusia sekitar 22
tahun. Di halaman 47 dinyatakan: "Sudah
hampir empat tahun ia (Dovima)
tinggal di Indonesia", sedangkan di halaman 49 -sebelum minggat dari New York dan kembali ke Indonesia- Dovima mengatakan, "I'm eighteen now, not a seven year old kid anymore." Jadi,
seharusnya, usia Dovima hampir 22 tahun, bukan 24 tahun. Inkonsistensi usia
Dovima, anehnya, terjadi dalam satu bab (bab berjudul Tanpa Rasa).
0 comments:
Post a Comment