25 July 2012

Wandeuk

Judul Buku: Wandeuk
Penulis: Kim Rye-ryeong (2008)
Penerjemah: Seini Intanalia Zalukhu
Tebal: vi+ 254 hlm; 19 cm
Cetakan : 1, April 2012
Penerbit: Bentang Belia (Bentang Pustaka)

 


"Seberapa banyak, sih, persembahan yang sudah diberi Ddongju? Nanti juga aku akan memberi sama banyaknya. Karena itu, tolong bunuhlah Ddongju. Entah tersambar petir atau tertabrak mobil, yang penting dia mati. Dia pikir, dia akan dimaafkan dengan berdoa di sini tiap Minggu? Kalau peraturan di gereja memang seperti itu, lebih baik langsung diganti saja. Itu salah. Kalau dalam minggu ini dia belum mati, aku akan datang lagi. Dalam nama Bapa yang Mahakudus dan Mulia aku telah berdoa. Amin." (hlm. 3).

Kutipan di atas adalah doa dari Do Wandeuk, karakter sentral sekaligus narator novel Wandeuk, yang kesal dengan tindakan Lee Ddongju, gurunya. Saat kisah bergulir, Wandeuk diperkenalkan sebagai anak SMA berusia tujuh belas tahun, hidup bersama ayahnya yang bertubuh cebol dan pamannya yang bermental terkebelakang.

Semenjak menjadi wali kelas kemudian tetangganya, Ddongju membuat hidup Wandeuk tidak tenang. Sudah lama Wandeuk menyembunyikan diri dari dunia dan terbiasa dengan kondisi ini. Tiba-tiba Ddongju muncul dan mengobrak-abrik zona nyamannya. Ia akan menarik Wandeuk dari persembunyian dengan meneriakkan nama anak itu lalu mengolok-oloknya. Mendongkol dengan perlakuan Ddongju, Wandeuk mendatangi sebuah tempat yang diketahuinya sebagai gereja untuk meminta keadilan Tuhan. Sayangnya, doa Wandeuk tidak pernah terkabul.

"Apakah semuanya akan terus seperti ini? Apa Engkau tidak meninggal dengan baik saat disalibkan? Coba lihat apa yang dilakukan Ddongju. Dia minum-minum alkohol di rumah murid, dia mukul murid sesuka hatinya, bahkan sebagai guru pun dia tidak pernah mengikuti pendidikan sebagai penulis, bagaimana dia bisa mendidik muridnya? Tidak ada cara lain lagi. Tolong bunuh dia. Kalau  dalam minggu ini dia belum dibunuh juga, aku akan berlutut di sini. Aku tidak akan percaya kepada Tuhan! Dalam nama Bapa yang Mahakudus dan Mulia aku telah berdoa. Amin." (hlm. 33). 

Sebenarnya, sikap Wandeuk yang selalu berusaha menyembunyikan diri disebabkan oleh latar belakang kehidupan yang kurang menguntungkan. Lima belas tahun silam, ibunya, pekerja asal Vietnam, meninggalkan keluarga dan sejak saat itu, Wandeuk belum pernah bertemu dengannya. Ibunya pergi karena tidak bisa menerima pekerjaan ayahnya sebagai penari kabaret. Padahal seperti kata sang ayah, "Seberapa keras pun Ayah berusaha, masyarakat tetap enggak bisa menerima Ayah. Menari adalah satu-satunya kemampuan Ayah agar bisa diterima orang lain...." (hlm. 91).

Tanpa dikehendaki Wandeuk, ukuran tubuh ayahnya semakin membuatnya ingin menyembunyikan diri. Tentu saja ia tidak merasa malu dengan kondisi ayahnya, tapi ketika ayahnya menjadi sasaran olok-olok, kemarahan Wandeuk akan mudah terpicu. Ketika kemarahannya tidak terkendali lagi, ia pun akan berakhir sebagai bahan olok-olok Ddongju.

Kendati Ddongju suka memojokkan Wandeuk, sebenarnya ia menyimpan kebaikan hati. Setelah lulus sekolah hukum, bukannya hidup nyaman dengan kekayaan keluarga, ia memutuskan menjadi guru. Ketidaksetujuan atas perlakukan ayahnya terhadap pekerja asing membuatnya meninggalkan keluarga dan membantu pekerja asing yang mengalami pelanggaran hak asasi.

Tapi Ddongju memang tidak pernah berhenti membuat Wandeuk sebal. Apalagi kata-katanya berhasil meyakinkan ayah Wandeuk kalau anaknya punya bakat menulis novel. Padahal, Wandeuk sama sekali tidak bisa merangkai kalimat.

Perkenalan Wandeuk dengan Ali Hassan, pekerja asing asal Indonesia, mengantarkannya ke sasana kickboxing yang hampir gulung tikar. Mengherankan, bukannya mengolok-olok, Ddongju justru memuji pilihan Wandeuk untuk kursus kickboxing. Hanya saja kali ini, pujian Ddongju tidak disepakati ayah Wandeuk.

Sebenarnya, apa yang terbaik bagi Wandeuk? Menjadi atlet kickboxing atau novelis? Tidak perlu tiba di kalimat penutup untuk mengetahui jawaban dari pertanyaan ini.  Karena kisah dalam novel ini, dituturkan dari sudut pandang Wandeuk.
 
Wandeuk adalah bildungsroman yang ditulis Kim Ryeo-ryeong, penulis wanita Korea Selatan yang memfokuskan tulisannya pada dunia remaja. Kim Ryeo-ryeong dikenal sebagai penulis A Seahorse Lives in My Heart yang meraih penghargaan Munhak Dongne Children's Literature dan The Child Who Brought Memory yang mendapatkan Ma Hae-song Literary Award. Di Korea Selatan, Wandeuk yang telah terjual lebih dari 700 ribu kopi tiga tahun sejak diterbitkan pertama kali (2008) mendapatkan Changbi Prize untuk Young Adult Fiction (Changbi adalah penerbit Wandeuk). Pada tahun 2011, Wandeuk diadaptasi ke dalam film layar lebar berjudul Punch (CJ Entertainment) oleh sutradara Lee Han.  Bintang muda Yooh Ah Ini  berperan sebagai Wandeuk dan Kim Yook-seok sebagai Ddongju.

Wandeuk bukanlah novel remaja yang menjajakan kisah cinta sebagai jualan utama. Cinta remaja dan segala kegenitannya bukanlah fokus Kim Ryeo-ryeong. Tentu saja masih ada unsur romansanya, tapi hanya disampaikan secara implisit melalui kedekatan Wandeuk dengan teman sekelasnya, Jeong Yoonha. Penulis memang lebih menitikberatkan kisahnya pada perkembangan karakter Wandeuk, dari seorang anak kuper yang selalu menyembunyikan diri hingga menjadi seorang pemuda yang lebih terbuka menghadapi kehidupan. Karena kondisi keluarganya yang disfungsional, penulis memunculkan Ddongju, guru yang diam-diam mengenal karakter Wandeuk, guna mendorong Wandeuk menjalani perubahan. Awalnya Wandeuk tidak bisa memahami sikap Ddongju sehingga dengan berani meminta Tuhan membunuh gurunya itu. Di bagian pamungkas, Wandeuk akan memahami maksud dari gangguan-gangguan yang diciptakan Ddongju.

Selama ini aku sudah terbiasa bersembunyi dari semuanya, sama seperti aku terbiasa bernapas. Aku yang selalu bersembunyi akhirnya ditemukan oleh Ddongju. Sebelum aku sempat bersembunyi, dia pasti akan berteriak, "Do Wandeuk!" Enggak bisa membiarkanku tenang, tengah malam pun Ddongju tetap mencariku. Walaupun begitu, Ddongju itu tulus. Tapi semakin aku bersembunyi, semakin dia mencariku. (hlm. 251).

Membaca novel remaja yang unik seperti Wandeuk memang cukup mengasyikkan. Ditulis dengan lugas dan tanpa bertele-tele, pengungkapan isi hati dan pikiran seorang remaja labil yang tengah menuju kestabilan melahirkan humor segar yang muncul berkesinambungan hingga novel berakhir.

Karena Wandeuk terbitan Bentang Belia merupakan hasil terjemahan, usaha yang dilakukan penerjemah untuk mempertahankan nuansa remajanya dalam bahasa Indonesia patut mendapatkan apresiasi. Nuansa remaja terasa sekali dengan pilihannya menggunakan bahasa yang tidak selalu harus baku.





0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan