11 July 2012

Perempuan yang Melukis Wajah


Judul Buku: Perempuan yang Melukis Wajah
Penulis: 8 Penutur Hujan
Editor: Siska Yuanita
Tebal: 176 hlm; 13,5 x20 cm
Cetakan: 1, Juni 2012
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama


 



Delapan orang pemilik akun Twitter yang menamakan diri Penutur Hujan menghimpun cerpen mereka dalam antologi Perempuan yang Melukis Wajah: 11 Cerita Pendek di Hari Hujan. Mereka adalah Ainun Chomsum, Fajar Nugros, Hanny Kusumawati, Karmin Winarta, M. Aan Mansyur, Mumu Aloha, Ndoro Kakung, dan Wisnu Nugroho. 

Kecuali Hanny Kusumawati yang urun tiga cerpen dan Ndoro Kakung dua cerpen, enam penulis lainnya masing-masing hanya menyertakan satu cerpen sehingga antologi cerpen ini menyuguhkan sebelas cerpen bagi para pembaca. 

Cinta pada pandangan pertama hanya diperuntukkan bagi mereka yang beruntung. Mereka yang kurang beruntung, sebaliknya, harus berurusan dengan cinta pada pandangan terakhir. Cinta bukan hadir pada saat mereka saling menyapa, ketika berkata "hai" atau "halo", tetapi justru pada saat mereka harus berpisah dan saling berucap "selamat tinggal", kata karakter perempuan dalam cerpen pembuka, Humsafar. Diiringi rinai gerimis, kita akan mengetahui kalau cinta pada pandangan terakhir inilah yang dialami Julia, pengelola sebuah rumah pemakaman, ketika bertemu Shah, wartawan asal Pakistan. Ada 336 surat, sebuah rahasia dari Shah, dan kejutan dari sang narator akan dimunculkan sebelum cerita benar-benar ditamatkan. 

Sebelum menikah, Bian dalam cerpen Enam Jam karya Hanny ingin bertemu Nai, kekasih masa lalunya. Selama enam jam yang ditingkah gerimis dan kenangan kita akan mengikuti perjalanan sepasang pecinta menyongsong takdir yang tidak terelakkan.

Cinta yang mengerat hati dimunculkan Hanny untuk kali ketiga dalam cerpen Yang Tertinggal. Menemukan Diaz yang tengah memandang tetes-tetes hujan kota London di balik jendela, Ella menyadari kalau ia mencintai pasangan kumpul kebonya selama dua setengah tahun itu. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Ella juga menyadari bahwa dirinya bukanlah belahan jiwa Diaz. 

Narator dalam cerpen Daun Palma garapan Wisnu Nugroho memiliki kenangan pahit terkait dengan Minggu Palma. Pada suatu Minggu Palma ia berjanji dengan kekasihnya untuk hadir dalam sebuah misa. Ia menyiapkan dua helai daun palma dan membawanya ke dalam gereja. Daun palma seolah harapan yang kemudian gugur saat berhadapan dengan realita yang setiap tahun akan dinapaktilasinya seiring dengan turunnya hujan awal April. 

Komplikasi cinta masih menjadi tema yang diangkat Ndoro Kakung (nama pena Wicaksono) dalam dua cerpen berdurasi singkat dan saling terkait. Dengan cita rasa absurd, cerpen Lelaki Naga mendedahkan kisah lelaki yang patah hati lantaran ditinggalkan kekasihnya, si perempuan bermafela kelabu. Sebagai respons untuk cerpen ini Ndoro Kakung menulis cerpen kedua, Perempuan Bermafela Kelabu, yang memaparkan kisah si perempuan bermafela kelabu. Cerpen kedua ini mengungkap lebih jauh alasan keretakan hubungan mereka. "Cinta cuma sebentar singgah. Kami terlalu gugup, takut, dan akhirnya malah tak kuasa menggenggamnya erat-erat. Ia selalu meleleh di antara jemari, juga pori-pori hati."  (hlm. 140). Dalam kedua cerpen Ndoro Kakung ini, hujan bersinonim dengan air mata.

Mumu Aloha -nama beken dari Is Mujiarso- yang dulu menulis cerpen bertema homoseksualitas Taman Trembesi (Rahasia Bulan, 2006) menghadirkan cerpen berjudul panjang: Bagaikan Cerita Cinta yang Tokoh Utamanya Mengasingkan Diri ke Gunung. Meskipun masih bertema homoseksualitas, cerpen yang dibuka dengan derai hujan ini bernuansa jauh lebih lembut ketimbang Taman Trembesi.

"Waktu aku kecil, ibuku pernah bilang, dalam setiap butir hujan yang turun ke bumi, ada satu malaikat yang menemani," ucap sang narator dalam cerpen Hujan, Malaikat, dan Ibu karya Fajar Nugros, si penulis antologi I Didn't Lose My Heart, I Sold it on eBay (2010). Lama setelah meninggalkan masa kecil, sang narator menemukan bukti dari ucapan ibunya. Dan itulah sebabnya ia berdiri di halaman rumah saat hari hujan di bagian penutup. 

Bagaimana rasanya jika ditinggalkan kekasih tanpa pamit? Di sebuah kafe, ketika hujan turun suatu sore, perempuan dalam cerpen Semoga Kamu Baik-Baik Saja karya Ainun Chomsun, menunggu kekasih dari masa lalu. Setelah dua puluh tahun berlalu dan tidak pernah bertemu, perempuan itu ingin menuntut penjelasan. Apa sesungguhnya yang membuat laki-laki itu meninggalkannya? Terkadang, komitmen bisa membuat seseorang terjebak komplikasi. 

"Hujan di kota ini telah berubah menjadi kutukan," demikian kalimat pembuka dalam cerpen Perempuan yang Melukis Wajah karya Karmin Winarta. Cerpen yang dipilih sebagai judul antologi ini menetapkan hujan sebagai katalisator dari kehancuran hidup seorang perempuan di ambang pernikahannya.

Setelah membaca cerpen-cerpen dengan kisah-kisah yang umumnya sedih, antologi ini ditutup dengan cerpen seksi dan sarat humor bertajuk Hujan. Deras Sekali.. Cerpen garapan M. Aan Mansyur ini menggelar kisah tidak senonoh di antara tiga perempuan (Marni, Tenri, Lina) dan empat lelaki (Arya, Baso, kekasih Tenri, pacar Lina). Perselingkuhan berkobar-kobar di tengah derasnya hujan. Setiap perselingkuhan sekaligus pengkhianatan ini diakhiri doa untuk mendapatkan kesempatan kembali berbuat mesum.

Penutur hujan tidak semata-mata bertutur menggunakan kata. Marrysa Tunjung Sari adalah satu-satunya penutur hujan yang menggunakan foto untuk menyampaikan gagasannya. Maka tidak hanya pada sampul, kita juga akan menemukan bidikan Marrysa setiap kali hendak membaca cerpen-cerpen dalam antologi ini. 

Hujan di dalam antologi cerpen ini pada umumnya dimaksudkan untuk penciptaan suasana melankolis. Hujan seolah pengiring kisah-kisah yang berakhir tidak sesuai harapan. Hanya hujan dalam cerpen karya M. Aan Mansyur yang benar-benar berbeda. Hujan di sini menjadi pemicu gairah para pelaku yang membuat kita senyum-senyum dengan kebejatan mereka.

Bagi saya, ketiga cerpen Hanny Kusumawati adalah kisah-kisah patah hati yang cukup menarik simpati. Dalam keringkasannya, Hanny bisa mengaduk emosi dengan menghadirkan pertarungan yang terjadi dalam pikiran dan perasaan para karakter serta dalam hubungan mereka dengan lawan jenis.

Tapi, kendati bertema generik dan ditulis deras seperti hujan cerpen Hujan. Deras Sekali. adalah cerpen paling menghibur dan tidak mudah dilupakan.

Sebagai buku, antologi cerpen ini dikemas cukup bagus, mulai dari desain sampul hingga penataan foto dan cerpen di dalamnya. Penggunaan huruf yang ramah mata membuat antologi ini lebih sedap dibaca karena tidak melelahkan.

Akhirnya, bagi Anda yang memutuskan untuk membaca antologi ini, saya mengutipkan tulisan di sampul belakang buku:

"Pilihlah tempat untuk membaca. Siapkan secangkir kopi. Mulailah dari halaman mana saja. Dan bila kau mau menajamkan telinga, sayup-sayup akan terdengar derai halus hujan di latar belakang."


0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan