Baca Bareng BBI Juni 2013 kategori Sastra Eropa
Judul
Buku: Kaas
Pengarang:
Willem Elsschot
Penerjemah:
Jugiarie Soegiarto
Tebal:
176 hlm; 11 cm
Cetakan:
1, Mei 2010
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Fransjes Laarmans ingin mengubah hidupnya dengan mengejar mimpi keju. Bukan sebagai pemilik perusahaan keju, melainkan sebagai pedagang keju. Dari sampul berwarna kuning laksana keju Edam lengkap dengan lubang-lubangnya, kita akan menemukan karakter utama sekaligus narator orang pertama novel alit berjudul Kaas (Keju) karya Willem Elsschot. Frans sedang memegang dua piring bertatahkan keju seolah-olah hendak menawarkan dagangannya: keju Edam.
Sudah pasti Frans yang berusia hampir lima puluh tahun mengetahui perihal keju. Ia hidup di negara produsen dan konsumen dari produk yang dibuat dari susu itu. Ia adalah pemakan keju walaupun kurang suka pada aroma keju yang menusuk. Tapi sebelumnya ia tidak mempunyai bayangan untuk menceburkan diri dalam perdagangan keju. Albert Van Schoonbeke, bujangan kaya yang mengadakan acara di kediamannya setiap hari Rabu, yang membuatnya terpikat pada dunia keju. Angan-angan keju pun muncul dalam benaknya, memperoleh pendapatan yang lebih besar dari gajinya sebagai kerani di galangan kapal selama tiga puluh tahun.
Frans tidak salah jika ingin mengubah hidup dan meningkatkan status sosialnya. Sayangnya, ia tidak bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri. Setelah kerempongan menjadikan rumahnya sebagai kantor dan memilih nama bagi usaha kejunya, ia berhadapan dengan kenyataan kalau keju Edam yang dijualnya tidak laku.
Sudah pasti Frans yang berusia hampir lima puluh tahun mengetahui perihal keju. Ia hidup di negara produsen dan konsumen dari produk yang dibuat dari susu itu. Ia adalah pemakan keju walaupun kurang suka pada aroma keju yang menusuk. Tapi sebelumnya ia tidak mempunyai bayangan untuk menceburkan diri dalam perdagangan keju. Albert Van Schoonbeke, bujangan kaya yang mengadakan acara di kediamannya setiap hari Rabu, yang membuatnya terpikat pada dunia keju. Angan-angan keju pun muncul dalam benaknya, memperoleh pendapatan yang lebih besar dari gajinya sebagai kerani di galangan kapal selama tiga puluh tahun.
Frans tidak salah jika ingin mengubah hidup dan meningkatkan status sosialnya. Sayangnya, ia tidak bisa mengukur kemampuan dirinya sendiri. Setelah kerempongan menjadikan rumahnya sebagai kantor dan memilih nama bagi usaha kejunya, ia berhadapan dengan kenyataan kalau keju Edam yang dijualnya tidak laku.
Keju Edam |
Keju berbentuk bundar dan berwarna kuning terang yang dibungkus
parafin merah -agar keju tidak menjadi kering- itu adalah produk berkualitas. Tapi
harga yang ditetapkan perusahaan keju Hornstra terlalu mahal. Menjadi semakin susah menjualnya karena Frans tidak memiliki pengalaman menjual dan sudah jelas tidak tahu caranya menjual keju.
Di tengah-tengah
cobaan keju yang dihadapinya, ia mendapatkan kabar kalau
bos keju, Mijnheer Hornstra, akan menemuinya di Antwerpen. Hornstra hendak membuat perhitungan atas keju Edam yang telah ia kirimkan.
Maka, Frans pun dilanda kepanikan. Apa yang harus dilakukannya? Mampukah ia mengosongkan kelder tempat bola-bola keju Edam itu disimpan?
Sesungguhnya, Kaas (Keju) adalah sebuah novel yang sederhana sebagaimana diindikasikan oleh ketipisannya. Konflik utamanya hanya berpusat pada Frans Laarmans. Tapi
dalam kesederhanaannya, Kaas mampu menohok pembacanya. Dengan sinis, Elsschot mengusik
perilaku timpang manusia melalui karakter Frans. Frans tidak mampu menjual tapi secara impulsif menggeluti bisnis penjualan keju demi memperoleh pendapatan yang lebih besar.
Untuk itu, ia berbohong di tempat kerjanya dan meminta abangnya -seorang
dokter- membuat surat keterangan sakit baginya. Tak tanggung-tanggung, ia dinyatakan
mengidap penyakit saraf demi mendapat cuti tiga bulan untuk berdagang keju (..penyakit saraf yang terbaik, karena aku masih bisa keluar rumah, tanpa terlihat ada yang berbeda pada penampilanku, hlm. 61). Kebohongan dan ketidakmampuan mengukur kapasitas diri
sendiri sudah sangat cukup bagi Frans untuk membawa dirinya ke ujung tanduk.
Setelah mengalami
kegagalan dalam berdagang keju, Frans tidak berani menghadapi Hornstra dan bersikap
pengecut. Mencoba lari dari tanggung jawab, ia pun menyalah-nyalahkan Von
Schoonbeke. Tapi memang sejak memulai kisahnya, ia telah menuding Von Schoonbeke sebagai penyebab masalah besar yang dialaminya (hlm. 9). Untunglah, meskipun membawa-bawa nama Von Schoonbeke, ia menyadari kepengecutannya.
Tapi tetap saja, pengingkarannya terhadap kenyataan bahwa ia menjadi pedagang keju karena ingin menjadi sosok terpandang cukup menyebalkan.
Begitu memutuskan menjadi pedagang keju, keluarganya - Fine, istrinya, dan kedua anaknya, Jan dan Ida- memberikan dukungan kepadanya. Karena itu, gemas rasanya saat Frans marah besar karena Ida lupa nama penelepon yang mengabarkan kedatangan keju Edam yang akan dijualnya. Untunglah, seiring perjalanan waktu, dalam tempo yang singkat, ia menyadari dukungan keluarganya dan kualitas yang dimiliki istri dan anak-anaknya.
Meskipun berdurasi singkat, kita bisa menyari sebuah pesan indah dari novel ini. Bahwa, mensyukuri kehidupan adalah hal yang luar biasa. Mensyukuri kehidupan bisa menyelamatkan kita dari risiko-risiko tidak penting dalam hidup kita. Tentu saja hidup memang tidak pernah steril dari risiko, tapi jika kita berani menghadang risiko, kita harus punya modal untuk mengatasinya.
Novel berseting tahun 1933 tapi mengusung ide yang tetap segar sampai saat ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan bantuan finansial dari Erasmus Huis dan Erasmus Dutch Languange Centre (Jakarta). Penerbitan novel ini dilakukan dalam rangka ulang tahun ke-40 Erasmus Huis (2010). Sebuah langkah untuk memperkenalkan sastra yang ditulis dalam bahasa Belanda kepada pembaca Indonesia.
Willem Elsschot (1882-1960) yang bernama asli Alphonsus Josephus de Ridder adalah pengarang Belgia. Belgia adalah negara multilingual yang memiliki perbendaharaan karya sastra yang umumnya ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan Prancis. Kaas (Keju) digolongkan ke dalam Flemish Literarure yaitu sastra berbahasa Belanda yang diterbitkan di Belgia (setelah Belgia merdeka dari Belanda pada tahun 1830). Elsschot memulai popularitasnya sebagai pengarang ketika bekerja di Rotterdam (ia pernah bekerja di Antwerpen, Brussels, Rotterdam, dan Paris) di mana ia menerbitkan karya perdananya, Villa des Roses (1913). Itulah sebabnya, meskipun pengarangnya berkebangsaan Belgia, penerbitan Kaas dalam bahasa Indonesia oleh Erasmus Huis dan Erasmus Dutch Language Centre, bisa diterima.
Kaas adalah karya Willem Elsschot yang paling populer selain Lijmen (1924), Tsjip (1934) dan Het Been (1938). Pada tahun 2008, Kass dialihkan menjadi novel grafis oleh Dick Matena, kartunis dan komikus asal Belanda.
Aku percaya hal ini terjadi karena aku terlalu penurut. Ketika Von Schoonbeke bertanya apakah aku mau melakukannya, aku tak mampu menentangnya dan menolak keju-kejunya, yang seharusnya kulakukan. Karenanya kepengecutan itu harus kutebus. Cobaan keju ini patut kuterima (hlm. 142).
Tapi tetap saja, pengingkarannya terhadap kenyataan bahwa ia menjadi pedagang keju karena ingin menjadi sosok terpandang cukup menyebalkan.
Begitu memutuskan menjadi pedagang keju, keluarganya - Fine, istrinya, dan kedua anaknya, Jan dan Ida- memberikan dukungan kepadanya. Karena itu, gemas rasanya saat Frans marah besar karena Ida lupa nama penelepon yang mengabarkan kedatangan keju Edam yang akan dijualnya. Untunglah, seiring perjalanan waktu, dalam tempo yang singkat, ia menyadari dukungan keluarganya dan kualitas yang dimiliki istri dan anak-anaknya.
Meskipun berdurasi singkat, kita bisa menyari sebuah pesan indah dari novel ini. Bahwa, mensyukuri kehidupan adalah hal yang luar biasa. Mensyukuri kehidupan bisa menyelamatkan kita dari risiko-risiko tidak penting dalam hidup kita. Tentu saja hidup memang tidak pernah steril dari risiko, tapi jika kita berani menghadang risiko, kita harus punya modal untuk mengatasinya.
Novel berseting tahun 1933 tapi mengusung ide yang tetap segar sampai saat ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama dengan bantuan finansial dari Erasmus Huis dan Erasmus Dutch Languange Centre (Jakarta). Penerbitan novel ini dilakukan dalam rangka ulang tahun ke-40 Erasmus Huis (2010). Sebuah langkah untuk memperkenalkan sastra yang ditulis dalam bahasa Belanda kepada pembaca Indonesia.
Willem Elsschot (1882-1960) yang bernama asli Alphonsus Josephus de Ridder adalah pengarang Belgia. Belgia adalah negara multilingual yang memiliki perbendaharaan karya sastra yang umumnya ditulis dalam dua bahasa yaitu bahasa Belanda dan Prancis. Kaas (Keju) digolongkan ke dalam Flemish Literarure yaitu sastra berbahasa Belanda yang diterbitkan di Belgia (setelah Belgia merdeka dari Belanda pada tahun 1830). Elsschot memulai popularitasnya sebagai pengarang ketika bekerja di Rotterdam (ia pernah bekerja di Antwerpen, Brussels, Rotterdam, dan Paris) di mana ia menerbitkan karya perdananya, Villa des Roses (1913). Itulah sebabnya, meskipun pengarangnya berkebangsaan Belgia, penerbitan Kaas dalam bahasa Indonesia oleh Erasmus Huis dan Erasmus Dutch Language Centre, bisa diterima.
Kaas adalah karya Willem Elsschot yang paling populer selain Lijmen (1924), Tsjip (1934) dan Het Been (1938). Pada tahun 2008, Kass dialihkan menjadi novel grafis oleh Dick Matena, kartunis dan komikus asal Belanda.
Willem Elsschot |
10 comments:
keju edam sepintas terlihat kayak apel, ya? :D #salahfokus
betul, tadi juga aku kira apel :))
Dari hal-hal sepele seperti keju, seorang penulis hebat bisa menjadikannya inspirasi ttg pelajaran kehidupan. Good book
idem, salah kira :)
@dion_yulianto@blogspot.com:
betul sekali, tidak semua pengarang bisa melakukannya :)
@Tezar:
:)
eh belum pernah liat novel ini, jadi pingin bacaa.. tipiis :D
kayaknya aku kmrn udah komen tapi kok ga ada ya? heuheu...keju edam itu bauuuu hahaha tapi orang belanda emang suka banget...penasaran sama ending buku ini deh...
@orybun:
Ceritanya memang singkat tapi padat, dan aku suka :)
@astrid:
Nggak tau juga, eror kayanya blogspot :)
Di buku ini juga disebut kalau keju Edam itu bau, tapi bentuknya memang unik seperti apel.
Post a Comment