Judul
Buku: Pasung Jiwa
Pengarang:
Okky Madasari
Tebal:
328 hlm; 20 cm
Cetakan:
1, Mei 2013
Penerbit:
Gramedia Pustaka Utama
Seluruh hidupku adalah perangkap.
Tubuhku adalah perangkap pertamaku.
Lalu orangtuaku, lalu semua orang yang kukenal. Kemudian segala hal yang
kuketahui, segala sesuatu yang kulakukan. Semua adalah jebakan-jebakan yang
tertata di sepanjang hidupku. Semuanya mengurungku, mengungkungku,
tembok-tembok tinggi yang menjadi perangkap sepanjang tiga puluh tahun usiaku
(hlm. 9)
Sasana
dilahirkan sebagai laki-laki. Tapi ia mendambakan keindahan jasmani
seperti perempuan. Ia belajar bermain piano tapi lebih menyukai musik dangdut
yang memberinya kesempatan meliuk-liukkan tubuhnya dengan genit. Ketertarikannya
pada dangdut menyulut kegeraman orangtuanya. Hingga sebelum menemukan
Sasana tersihir oleh irama dan goyang dangdut, mereka telah berupaya menciptakan
seorang pianis.
Sasana
melanjutkan kuliah di Malang, setelah lulus SMA. Ia berkenalan dengan Cak Jek,
pemuda asal Batu yang sudah meninggalkan kuliahnya, dan bersama-sama menjadi pengamen. Cak Jek yang memainkan gitar dan Sasana bernyanyi sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya seheboh-hebohnya. Lambat laun Sasana meninggalkan kuliah dan beredar di jalan-jalan
Kota Malang. Karena ingin menjadi profesional seperti keinginan Cak Jek, mereka
membentuk Orkes Melayu. Cak Jek memberikan blus seksi warna-warni, rok-rok mini,
BH, dan sepatu hak tinggi kepada Sasana dan mengubah Sasana menjadi Sasa.
Bersama-sama, mereka mencapai ketenaran di Kota Malang. Mereka diundang untuk
mengisi berbagai hajatan seperti sunatan, kawinan, dan perayaan tujuh belas
Agustus.
Suatu
hari, Marsini -putri Cak Man, pemilik warung kopi di mana Sasa bertemu Cak
Jek- menghilang setelah menuntut kenaikan upah di pabrik sepatu tempatnya
bekerja di Sidoarjo. Sasana dan Cak Jek memutuskan untuk menemui pemilik
pabrik, tapi karena mendapatkan penolakan, mereka mengadakan unjuk rasa di depan
pabrik sepatu tersebut. Unjuk rasa berakhir rusuh. Sasa yang tampil hanya
mengenakan BH, celana dalam, dan sepatu hak tinggi berwarna merah sambil memamerkan
goyangan di tengah jalan mencetuskan kehebohan yang membuat tentara turun
tangan.
Sasa
terpisah dengan Cak Jek. Ia ditangkap dan dikurung di tahanan Koramil. Di sana
harga dirinya dicerabut, berhari-hari mengalami pelecehan dan penyiksaan secara seksual oleh para tentara. Dalam keadaan jiwa yang nyaris
binasa, ia dilepaskan dan melarikan diri dari Kota Malang. Ia kembali ke rumah
orangtuanya di Jakarta, tapi harus berakhir di rumah sakit jiwa.
Ke
mana Cak Jek setelah unjuk rasa di Sidoarjo? Ia pun ditangkap dan disiksa
tentara. Setelah dibebaskan, ia diusir dari Kota Malang. Ia pun kembali ke nama
aslinya, Jaka Wani. Akhirnya, ia pun memutuskan mengadu nasib di Batam. Tapi
pekerjaan berkutat dengan kaca televisi tidak menjanjikan kehidupan yang
lebih baik. Apalagi ketidakadilan juga terjadi di sana. Supervisor, mandor, dan
bahkan satpam pabrik itu tanpa malu-malu menggagahi para pekerja perempuan.
Setelah para pekerja itu hamil, mereka tidak mau bertanggung jawab, dan
terpaksa perempuan-perempuan malang itu harus melakukan aborsi. Pertemuan dan
kerjasamanya dengan Elis, seorang pelacur, kian membuat Cak Jek terpuruk. Di Batam,
setelah menggagas aksi mogok kerja, ia pun dikejar-kejar dan terpaksa
harus melarikan diri dari kota itu. Akhirnya, Jaka Wani pun menghilang dari
Batam.
Apakah
Sasana akan bertemu lagi dengan Cak Jek, laki-laki yang sudah menciptakan Sasa
dan dianggapnya sebagai kakak? Ada perjalanan panjang yang mesti mereka tempuh
untuk bertemu kembali. Tapi di ujung perjalanan itu, Sasa akan menemukan Cak
Jek yang lain, Cak Jek yang telah berubah. Mereka berada di kutub yang berseberangan
di mana sakit hati dan kebencian mengisi ruang kosong di antara kedua kutub
itu.
Kehendak
bebas, seperti yang disebutkan dalam blurb
di sampul belakang novel ini, adalah pertanyaan yang dikemukakan Okky Puspa Madasari
dalam novelnya, Pasung Jiwa. Apakah kehendak bebas benar-benar ada? Apakah manusia bebas
benar-benar ada?
Seluruh
perjalanan hidup Sasana (Sasa) adalah pergulatan untuk mengekspresikan
kehendak bebas. Sejak kecil, ia telah hidup dalam perangkap yang menindas
kehendak bebasnya. Ia dilahirkan sebagai anak laki-laki tapi menyimpan jiwa
perempuan dalam tubuhnya. Ia tidak ingin menjadi pianis, tapi diupayakan
seintensif mungkin oleh orangtuanya untuk berlatih. Ia ingin membebaskan jiwa
melalui irama dan goyangan dangdut tapi berhadapan dengan larangan. Ia mempertontonkan
kepada khayalak jati dirinya sebagai transgender, tapi mengalami pelecehan,
penghakiman, bahkan pemerkosaan. Apakah ia berhasil mengekspresikan kehendak
bebasnya? Melewati masa-masa sebelum lengsernya Presiden Soeharto dari tampuk
kekuasaannya hingga masa-masa sesudahnya, Sasana tetap diperhadapkan dengan
tantangan raksasa. Bahkan, ketika ibunya merestui apa yang ingin dilakukannya
dalam hidupnya, kehendak bebasnya direnggutkan. Kesimpulannya adalah kehendak
bebas itu ada dan merupakan hak asasi manusia, tapi manusia juga yang berusaha menindasnya,
karena ada sementara orang yang tidak mau menerima perbedaan dan bersikukuh
dalam kemunafikan moral.
Melalui
Masita, dokter yang sedang mengambil spesialisasi di bidang psikiatri, Okky menyampaikan
kehendak bebas dari perspektif pribadinya.
Tak ada jiwa yang bermasalah. Yang
bermasalah adalah hal-hal yang ada di luar jiwa itu. Yang bermasalah itu
kebiasaan, aturan, orang-orang yang mau menjaga tatanan. Kalian semua harus
dikeluarkan dari lingkungan mereka, hanya karena kalian berbeda (hlm. 146)
Orang-orang di luar kalianlah yang
punya masalah. Mengganggap kalian harus disingkirkan karena kalian merusak
tatanan (hlm. 151).
Selain
masalah kehendak bebas, Okky juga mengangkat ketidakadilan untuk menjadi bagian
dari novelnya. Sasa telah merasakan ketidakadilan dalam hidupnya ketika
digencet dan dibuat babak belur oleh kakak-kakak kelasnya di SMA. Jaka Wani,
dalam sisa hidupnya setelah unjuk rasa di Sidoarjo, mesti berperang dengan
ketidakadilan. Di Batam ia menyaksikan ketidakadilan bekerja, di tempat asalnya
pun demikian. Dan celakanya, dalam merespons ketidakadilan ia pun menjadi
bagian dari ketidakadilan dan terperangkap dalam kemunafikan.
Okky
sangat berhasil dalam mengemas karakternya. Penjiwaannya mengenai kedua
karakter utamanya sangat intens. Apalagi ia memberikan kesempatan Sasana (Sasa)
dan Cak Jek (Jaka Wani/Jaka Baru) menjadi narator orang pertama dalam novel
ini. Keduanya bersuara sesuai dengan kepribadian dan jati diri. Sasa dengan
kewariaannya dan Cak Jek dengan maskulinitasnya.
Sasana
memang karakter yang paling hidup dalam novel ini dan digali dengan
sedalam-dalamnya. Meskipun waria dan dipanggil bencong, ia tidak mau
dilecehkan. Uniknya atau malah anehnya, ia tidak menunjukkan ketertarikan pada laki-laki dan tidak berniat mengoperasi
kelaminnya.
Aku si Sasa. Saudara kembar Sasana.
Kami kembar, tapi kami berbeda. Kami satu tubuh, tapi kami dua jiwa. Kami tak
saling meniadakan. Kami sepasang jiwa yang saling merindukan. Menjadi dua
bukanlah kesalahan. Menjadi satu bukanlah keharusan. Sasana memang berpenis,
tapi Sasa punya lubang dan puting. Sasa menyanyi dan bergoyang, Sasana bersiul
dan menabuh gendang. Kami satu, tapi kami dua. Kami dua, tapi kami satu (hlm. 232-233).
Okky
pun sangat blakblakan dan keras dalam menyampaikan segala sesuatu, apalagi yang
berhubungan dengan ketidakadilan dan kemunafikan moral. Tidak heran kalau
sering kata-katanya serasa menghunus, menembus, dan mengoyak-ngoyak nurani
pembacanya. Tidak perlu tersinggung ketika ia menyingkap borok-borok dalam eksistensi
kita sebagai manusia.
Bagian
pamungkas novel ini cukup mendebarkan. Meskipun terkesan Okky sedang
meromantisasi realita, saya suka dengan adegan yang diciptakannya. Okky tidak
terlalu banyak bicara, tidak memberi arah ke mana kisahnya akan berlanjut. Tapi
sebagai pembaca kita tahu apa yang terjadi di bagian pamungkas itu sangat
riskan dan akan menimbulkan permasalahan yang mempertaruhkan kehidupan para
pelakunya.
Pasung
Jiwa yang diluncurkan bertepatan dengan peringatan 15 tahun runtuhnya
Orde Baru ini adalah novel keempat Okky Madasari. Sebelumnya ia telah
menerbitkan novel Entrok (2010), 86 (2011), dan Maryam (2012). Maryam membuatnya
meraih Khatulistiwa Literary Award tahun 2012. Sesuai minatnya yang telah
ditunjukkannya sejak novel perdananya, Okky selalu mengusung isu-isu
kemanusiaan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat Indonesia.
Catatan:
Kasus Marsini mengingatkan pada kasus Marsinah, aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang diculik, kemudian ditemukan dalam keadaan tewas dengan tanda-tanda penyiksaan berat pada 8 Mei 1993 (Wikipedia). Marsini adalah nama kakak perempuan Marsinah.
Marjinal adalah band beraliran anarko-punk asal Jakarta yang menciptakan sebuah lagu berjudul Marsinah yang didedikasikan untuk perjuangan Marsinah (Wikipedia)
1 comments:
Terus pas kedua tokoh utama itu ketemu setelah jaka wani kabur dari Batam ceritanya gmna? Ceritain donk
Post a Comment