Judul
Buku: Melbourne
Pengarang:
Winna Efendi
Editor:
Ayuning, Gita Romadhona
Ilustrasi
Isi: Tyo
Tebal:
xii + 328 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan:
1, 2013
Penerbit:
GagasMedia
Buat
gue, cahaya adalah konsep universal, tetapi sebenarnya sangat pribadi. Setiap
orang dapat melihatnya, merasakannya, tetapi persepsi mereka mengenainya
bervariasi, tergantung emosi dan pengalaman sang penglihat. Interpretasi
seseorang terhadap cahaya berbeda-beda, begitu juga makna cahaya tersebut bagi
mereka. A light is never just light.
Cahaya, seredup apa pun, mampu mengiluminasi kegelapan, dan menjadi medium yang
menghidupkan dunia. Bagi gue, cahaya adalah hal terindah di dunia ini (hlm. 8).
Sejak
kecil, Maximillian Prasetya sudah terobsesi dengan cahaya. Tidak heran, di The University of Melbourne, ia tidak hanya kuliah di jurusan
Arsitektur, melainkan juga engineering
khusus untuk mempelajari light design.
Di
Melbourne Uni inilah Max bertemu Laura Winardi, mahasiswi Indonesia yang mengambil
kuliah di bagian keuangan. Mereka berpacaran setelah insiden yang dipicu
keisengan Max, kemudian melewati masa-masa kebersamaan sembari menyelesaikan
kuliah. Max yang mencetuskan gagasan pernikahan. "Let's do this together, just the two of us, for the rest of our lives."
(hlm. 66). Mereka bersepakat akan menikah setelah masing-masing bisa mewujudkan
impian, Max menjadi light designer
sedangkan Laura bekerja di bank atau perusahaan trading. Setelah mengenal Laura, cahaya akan selalu mengingatkan Max
pada Laura.
Sayangnya,
hubungan mereka kandas. Max meninggalkan Melbourne untuk mengejar pekerjaan
berkaitan dengan cahaya dan Laura memutuskan untuk berpisah. Max berhasil
mewujudkan impiannya, tapi Laura tidak. Bukannya bekerja di bank atau
perusahaan trading, Laura malah menjadi penulis dan penyiar radio larut malam. Kepergian Max
membuat Laura mengalami kesulitan membina hubungan asmara dengan laki-laki
lain.
Karena,
gue nggak butuh orang lain untuk mendefinisikan siapa gue. Laura Winardi, pacar
dari A. Gue cukup menjadi Laura, penyiar dan penulis, pemilik dari kucing Russian Blue bernama Paris, penyuka
lagu-lagu di Narnia Youtube. Gue
nggak pernah mikirin kapan seharusnya menikah, umur ideal untuk berkeluarga,
tipe rumah dan mobil apa yang harus gue punya, dan hal-hal seperti itu. (hlm.
78-79).
Setelah
lima tahun meninggalkan Melbourne -traveling
setahun, bekerja di perusahaan arsitektur di New York, kemudian di sebuah perusahaan
light design di Sidney- Max kembali untuk menetap. Ia mendapatkan pekerjaan
untuk menangani pencahayaan konser di sebuah event organizer. Kedatangannya kembali ke Melbourne
mempertemukannya kembali dengan Laura. Ada satu hal yang ingin ia katakan
kepada Laura: "I've never loved
anyone else the way I loved you." (hlm. 82).
Maka
kebersamaan di antara mereka kembali terjalin. Setiap malam Max akan menjemput
Laura di tempat kerjanya. Mereka akan menghabiskan waktu dengan mengobrol dalam
perjalanan pulang, atau singgah di Prudence Bar, minum kopi dan mengulang
kenangan hingga pagi menjelang. It feels
like old times, but the les complicated version, itulah yang muncul di
benak Laura. Dan kebersamaan mereka ternyata membuat Laura merasa nyaman.
Nyaman
adalah berbagi waktu tanpa perlu merasa canggung. Nyaman adalah menikmati
keberadaan masing-masing, walau yang dapat kami berikan kepada satu sama lain
hanyalah kehadiran itu sendiri. Nyaman berarti tidak perlu minta maaf saat
lengan kami bersenggolan secara tak sengaja, merokok dalam mobil dan bebas
mengotak-atik stereo tanpa meminta izin terlebih dahulu. Nyaman adalah meneleponnya
tanpa alasan, hanya karena ingin mengobrol, atau karena ada film baru yang
ingin kutonton, tapi tidak punya teman untuk diajak. Rasa ini tidak perlu
dilabeli, diartikan, atau dianalisis. (hlm. 94).
Apakah
mereka hanya akan berteman setelah lima tahun berpisah? Apakah definisi cinta
pertama mereka akan bertaut? Bagi Laura,
Max adalah cinta pertama, dalam artian laki-laki pertama yang membuatnya
jatuh cinta. Bagi Max, Laura adalah cinta pertamanya, dalam arti berbeda.
Gue
percaya definisi first love adalah
rasa pertama, saat lo melihat jauh ke dalam mata seseorang, dan memutuskan
bahwa masa depan dan kebahahagiaan lo ada bersamanya. Cinta pertama adalah
ketika untuk pertama kalinya dalam hidup lo, lo mampu melihat segala sesuatu
dengan lebih jelas, merasa lebih hidup, dan ingin jadi versi terbaik dari diri
sendiri, saat dia berada di samping lo. Saat hidup lo berubah berantakan dan
masih bisa berpikir, screw this mess, at
least I still have you by my side. (hlm. 124-125).
Tampaknya,
seperti harapan Max, ia bisa menebus sesal karena perpisahan mereka, ia bisa
mewujudkan impian bersama yang belum terealisasi. Tapi, ternyata tidak mudah.
Di Queen Victoria Market, saat melewatkan pagi dengan seporsi donat panas
berisi selai raspberry dan taburan cinnamon, ketika Max menyatakan kembali
cintanya, Laura menolak dan mengundurkan diri dari kehidupan Max.
Melbourne dengan Sungai Yarra |
Melbourne: Rewind adalah salah satu novel dari Setiap
Tempat Punya Cerita, proyek kolaborasi GagasMedia dan Bukune yang
diterbitkan oleh GagasMedia. Winna Efendi dipilih untuk mengangkat Melbourne
sebagai seting utama novelnya. Sebagaimana buku-buku Setiap Tempat Punya Cerita lainnya, romansa masih
menjadi andalan utama Winna. Berbeda dengan Bangkok karya Moemoe Rizal yang kendati bermuatan kisah
cinta tidak menjadikannya sandaran utama.
Sesungguhnya,
tema romansa yang diangkat Winna sudah sangat generik. Sepasang kekasih
berpisah, bertemu lagi, dan diperhadapkan lagi dengan kemungkinan
CLBK. Kita tidak akan mengalami kesulitan untuk menebak kesimpulan dari kisah
dalam novel ini. Tapi seperti biasa, sebelum kesimpulan, dibutuhkan konflik
yang mampu membuat pembaca bertahan membaca hingga tamat. Maka Laura pun dibuat
bimbang dengan kehadiran karakter laki-laki lain yang membuatnya terkesan dan
seakan-akan menemukan saingan Max. Tapi untuk itu, ada konflik lain yang
mesti dihadapinya.
Menariknya,
meskipun mengandalkan tema mainstream,
Winna memiliki kemampuan mencuri perhatian pembaca dengan teknik penyajiannya
yang unik. Ia membagi novelnya ke dalam empat bagian besar, menggunakan istilah
pada alat pemutar musik seperti walkman yaitu Rewind,
Pause, Play, dan Fast Forward.
Keempat bagian itu dipecahnya ke dalam subbagian yang ia sebut Track berupa judul lagu dan artis yang
menyanyikannya. Ada enam belas track
yang merupakan lagu yang terhubung dengan kehidupan para karakter novel. Seiring
dengan pergantian track -akan lebih
asyik jika dibaca sambil mendengarkan enam belas lagu itu- kita akan mengikuti
perjalanan cinta Max dan Laura untuk menemukan tautannya.
Cara
berkisah Winna sebenarnya cukup menarik. Ia mampu merangkai kalimat yang enak
dibaca dan cukup impresif. Sayangnya, ia belum cukup mahir berkisah menggunakan
lebih dari satu narator orang pertama. Memang ketika Max menjadi narator orang
pertama, Max membahasakan dirinya "gue" dan saat gilirannya, Laura
menyebut dirinya "aku". Tapi kecuali perbedaan penggunaan kata ganti
orang pertama tunggal itu, tidak terasa kekhasan suara mereka masing-masing. Sering,
terasa sulit membedakan suara mereka.
Kendati
dijadikan judul novel dan merupakan bagian dari proyek Setiap Tempat Punya Cerita, Winna tidak terlalu mengeksplorasi Melbourne.
Tapi semua tempat yang disebutkannya, cukup membuat penasaran. Prudence Bar di persimpangan Victoria
Street yang menjadi tempat favorit Max dan Laura. La Trobe Reading Room di State Library of Victoria, perpustakaan
umum di Melbourne Central. Rooftop Cinema,
bioskop atap terbuka di lantai enam Curtin House, sebuah gedung Art Noveau di Swanston
Street. St. Paul's Cathedral, gereja
Anglikan, di mana di depannya Max dan Laura pernah berdansa. Atau Queen
Victoria Market yang terkenal dengan jam
doughnuts-nya yang enak.
Melbourne adalah karya kedua Winna yang telah saya baca. Meskipun mengetahui Winna sebagai penulis yang telah melahirkan beberapa novel sebelumnya, perkenalan saya dengan karyanya baru terjadi saat membaca Unforgettable (2012). Kebetulan, Unforgettable cukup meninggalkan
kesan karena penulisannya yang indah dan puitis. Selain karena tertarik membaca
buku-buku dari proyek Setiap Tempat Punya Cerita, Unforgettable-lah
yang membuat saya memutuskan membaca Melbourne.
Apakah saya akan membaca buku-buku Winna sebelumnya, saya belum bisa
memastikan.
Sebelum Melbourne, Winna Efendi telah menerbitkan Ai (2009), Refrain (2009, difilmkan oleh Maxima Pictures tahun 2013), Glam Girls Unbelievable (2009), Remember When (2011, merupakan buku pertama Winna yang sebelumnya diterbitkan Penerbit Akoer dengan judul Kenangan Abu-Abu, 2008), Unforgettable (2012), Truth or Dare (2012, Gagas Duet dengan Yoana Dianika), dan nonfiksi berjudul Draf 1: Taktik Menulis Fiksi Fiksi Pertamamu. Ia juga berkontribusi dalam The Journeys, antologi kisah perjalanan 12 penulis dari GagasMedia (2011)
0 comments:
Post a Comment