Judul Buku: Roma
Pengarang: Robin Wijaya
Editor: Ibnu Rizal
Tebal: x + 374 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2013
Penerbit: GagasMedia
Mereka bertemu untuk
pertama kalinya di Roma. Saat itu, Leonardo Halim -pelukis muda berbakat asal
Indonesia- mengadakan pameran di sebuah galeri dan berhasil menjual salah satu
lukisannya kepada seorang diplomat di KBRI. Felice Patricia, pegawai KBRI, ditugaskan
untuk menelusuri lukisan yang terlambat dikirimkan. Ternyata, ia memang telah
salah memberikan alamat tujuan pengiriman. Bukan alamat KBRI, melainkan pengurus
Perhimpunan Pelajar Indonesia di Roma. Kendati tingkah Felice menyebalkan,
diam-diam perempuan itu telah menyusup ke dalam memori Leonardo.
Mereka bertemu kembali ketika
Leo ikut pameran seni di Denpasar, Bali. Saat yang sama, Felice berada di
Denpasar untuk menghadiri pernikahan kakak satu-satunya, Anna. Ia datang demi
kakaknya meskipun sebenarnya enggan karena mesti bertemu dengan ibunya. Ibunya
menjadi salah satu alasan bagi Felice untuk bekerja di KBRI Roma. Setelah ayah
Felice meninggal karena kecelakaan, ibunya membangun serangkaian hubungan
asmara dan berakhir dengan seorang lelaki yang sedang terikat pernikahan. Felice marah kepada ibunya dan menunjukkan
sikap permusuhan yang tidak ditutup-tutupinya.
Pertemuan di Bali menciptakan kebersamaan selama dua hari. Tapi,
perpisahan pun terjadi, dan Felice kembali ke Roma tanpa sempat pamit. Leo
memang sedang sibuk dengan rencana mengadakan pameran seni di beberapa negara Eropa.
Akankah mereka bertemu
kembali? Sudah bisa dipastikan. Setelah Leo kembali ke Roma untuk terlibat
pameran bersama dengan seniman Eropa, ia mencari Felice. Maka, sekali lagi,
mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajah Roma dan wilayah kantongnya, Vatikan. Bersama mereka
kita akan pergi ke tempat-tempat kunjungan wisata seperti Colosseum, komplek
Capitolini dengan lapangan luas Piazza del Campidoglio, dan Trevi Fountain.
Kita juga akan menyaksikan Roma yang tanpa pencakar langit dari ketinggian
Spanish Steps. Dan dari sana, kita akan berkunjung ke Saint Peter's Basilica
untuk menemukan perfeksionisme Michaelangelo, seniman yang dikagumi Leo, di
lelangit Sistine Chapel. Seiring dengan itu, kita pun tahu, cinta telah
menyusup ke dalam relung-relung hati sejoli itu.
Colosseum |
Roma
karya Robin Wijaya adalah novel kedua dari seri Setiap Tempat Punya Cerita -proyek kolaborasi GagasMedia dan Bukune-
yang diterbitkan GagasMedia. Sebelumnya, GagasMedia telah menerbitkan Paris karya Prisca Primasari.
Sebagaimana Paris, Roma pun mengusung tema generik yang
sampai saat ini belum lapuk digerus waktu: romansa.
Tanpa konflik, romansa
tidak akan memberikan sengatan yang signifikan. Maka, pengarang memunculkan
konflik yang lahir dari ketidakterbukaan. Leo sedang menjalin hubungan cinta
dengan Marla, gadis pembuat hiasan kaca patri. Felice pun terikat dengan
Franco, lelaki Italia yang tengah mengejar karier sebagai footballer. Maka, ketika Marla menyusul Leo ke Roma, kemarahan
Felice pun tersulut. Ia merasa, Leo tidak bersikap jujur kepadanya. Sungguh
menggelikan jika mengingat dirinya sendiri pun tidak jujur kepada Leo mengenai
hubungannya dengan Franco.
Perselingkuhan dan
kerelaan melepaskan dijadikan Robin sebagai solusi dari problematika asmara Leo
dan Felice. Tidak ada yang mengejutkan, karena penyelesaian kisah dalam novel
ini hanya merupakan repetisi dari penyelesaian berbagai konflik dalam novel
romansa yang pernah diterbitkan.
Marla menjadi karakter yang mendatangkan simpati lantaran berani mengambil keputusan secara realistis.
Marla menjadi karakter yang mendatangkan simpati lantaran berani mengambil keputusan secara realistis.
Tak
ada yang lebih membuatmu bahagia selain mengetahui cinta datang dan diberikan
kepada orang yang tepat. Namun, jika kenyataan berkata sebaliknya, mungkin kamu
hanya perlu bersiap untuk melepas dan merelakannya
(hlm. 332).
Ada kejutan yang
disiapkan Robin bagi Marla. Tapi karena tidak disiapkan dengan baik sejak awal, tidak memberikan dampak yang menggigit. Sepertinya, Robin perlu
membuatkan sendiri novel khusus bagi Marla.
Piazza del Campidoglio |
Jujur saja,
pengkarakterisasian Felice terasa mengganggu. Ia diperkenalkan kepada pembaca pertama
kali sebagai karakter yang kurang simpatik. Lalu, seiring perguliran plot, karakternya
tetap tidak bisa memunculkan simpati, apalagi ketika ia bersikap sok suci
merespons ketidakterbukaan Leo. Ia pun menjadi autokatalisator bagi runtuhnya
hubungan cintanya dengan Franco. Seperti pengakuan Franco, Felice tidak pernah
bersikap perhatian kepadanya. Saya mendapat kesan, Franco hanya merupakan piala
kemenangannya, bisa mendapatkan kekasih seorang lelaki Italia. Sampai novel
berakhir, Felice tidak pernah menyadari ketimpangan perilakunya. Dan Robin sebagai pengarang,
seakan-akan menafikannya.
Leo adalah karakter yang menyenangkan sampai Felice bersikap memusuhinya. Ia mewarisi bakat melukis dari mendiang kakeknya, dan memiliki ketertarikan yang mencolok dalam memindahkan wujud perempuan ke atas kanvas. Setiap kali mengadakan pameran, ia akan menyertakan The Lady, lukisan perempuan yang sedang berdiri bergeming dengan latar gereja Saint Agnes di Piazza Navona. Ia tidak pernah berniat menjual lukisan itu karena ternyata memiliki nilai sejarah yang penting terkait pilihan kariernya. Sayangnya, selain kakek yang disinggung beberapa kali, Leo benar-benar hadir sebatang kara. Tidak ada penjelasan mengenai keluarga dekatnya, siapa orangtuanya, dan apakah ia mempunyai saudara kandung atau tidak.
Robin tampaknya berhasil mengadakan riset untuk menghidupkan Roma dan segala hal yang berkaitan dengan kota itu. Tidak hanya menyebut tempat-tempat tertentu di sana, ia juga mengimbuhkan hal-hal seperti masakan Italia dan bahasanya dalam percakapan para karakter. Hal ini mau tak mau meningkatkan kepercayaan pembaca terhadap tulisannya. Selain itu, meskipun tidak terlalu gamblang, Robin bisa memberi gambaran mengenai dunia melukis dengan cukup baik. Ilustrasi karya Ayu Laksmi melengkapi apa yang mau disampaikan Robin.
Leo adalah karakter yang menyenangkan sampai Felice bersikap memusuhinya. Ia mewarisi bakat melukis dari mendiang kakeknya, dan memiliki ketertarikan yang mencolok dalam memindahkan wujud perempuan ke atas kanvas. Setiap kali mengadakan pameran, ia akan menyertakan The Lady, lukisan perempuan yang sedang berdiri bergeming dengan latar gereja Saint Agnes di Piazza Navona. Ia tidak pernah berniat menjual lukisan itu karena ternyata memiliki nilai sejarah yang penting terkait pilihan kariernya. Sayangnya, selain kakek yang disinggung beberapa kali, Leo benar-benar hadir sebatang kara. Tidak ada penjelasan mengenai keluarga dekatnya, siapa orangtuanya, dan apakah ia mempunyai saudara kandung atau tidak.
Robin tampaknya berhasil mengadakan riset untuk menghidupkan Roma dan segala hal yang berkaitan dengan kota itu. Tidak hanya menyebut tempat-tempat tertentu di sana, ia juga mengimbuhkan hal-hal seperti masakan Italia dan bahasanya dalam percakapan para karakter. Hal ini mau tak mau meningkatkan kepercayaan pembaca terhadap tulisannya. Selain itu, meskipun tidak terlalu gamblang, Robin bisa memberi gambaran mengenai dunia melukis dengan cukup baik. Ilustrasi karya Ayu Laksmi melengkapi apa yang mau disampaikan Robin.
Trevi Fountain |
Seperti yang kerap ditemukan dalam novel-novel terbitan GagasMedia, Roma
pun masih membutuhkan sentuhan editor lagi. Masih terdapat kesalahan cetak
dan kalimat yang membutuhkan pembenahan. Saya kutipkan beberapa kalimat yang saking
mengganggunya, sulit saya lupakan.
Leo mantap
balik Felice (hlm. 163). Kemungkinan yang dimaksud, Leo menatap balik Felice.
Setibanya ia sampai
di Segara Ayu, keadaan cottage tempat
Felice menginap terlihat sepi (hlm. 216).
Aku hanya ingin berbagi
dengan. (hlm. 276).
***
Sumber foto
Tentang pengarang:
Sebelum Roma, melalui GagasMedia, Robin Wijaya telah menerbitkan novel Before Us (2012) dan Menunggu (2012), Gagas Duet dengan Dahlian.
Tentang pengarang:
Sebelum Roma, melalui GagasMedia, Robin Wijaya telah menerbitkan novel Before Us (2012) dan Menunggu (2012), Gagas Duet dengan Dahlian.
2 comments:
lagi baca buku ini :) emg karakter Felice d awal udh agak nyebelin xD thx reviewnya :))
tapi yang paling nyebelin pas marah2 gara2 kemunculan Marla :(
Post a Comment