28 May 2013

Selalu Ada Kapal Untuk Pulang




Judul Buku: Selalu Ada Kapal untuk Pulang
Pengarang: Randu Alamsyah
Editor: Muhajjah
Tebal: 272 halaman
Cetakan: 1, April 2013
Penerbit: Diva Press





Ngana tahu, Pin, waktu kecil dan remaja, kita sama-sama bercita-cita menjadi guru. Agar kita bisa berdiri di depan kelas dan mengajar orang. Masa depan kita jelas pada satu impian yaitu menjadi guru. Itu cita-cita kita...." ujar Poy seperti berbicara pada dirinya sendiri. Suaranya sayup-sayup tertelan angin pantai (hlm. 254). 



Poy dan Apin, dua sahabat dari Mananggu -desa yang terletak dua ratus kilometer dari pusat Kota Gorontalo- pergi ke Kota Gorontalo untuk kuliah di Sekolah Tinggi Islam demi mewujudkan cita-cita mereka menjadi guru. Setelah menjadi mahasiswa, Apin aktif dalam sebuah organisasi kampus yang senang mengadakan demo. Sedangkan Poy, sulit beradaptasi dengan kehidupan kampus yang tidak mencerahkan baginya. Ospek, demo, dan dosen-dosen yang tidak berkualitas membuat Poy merasa lelah. 

Suatu hari, ketika kuliah diliburkan selama sepekan dan Apin pulang ke Mananggu, Poy menemani Mud, salah satu teman kuliahnya yang sedang sakit, pergi ke Luwuk, Banggai (Sulawesi Tengah). Di sana, Poy mengenal para usradz yang bekerja di sebuah pesantren bagi anak-anak miskin. Perkenalannya dengan mereka membuka kehidupan baru bagi Poy. Ia mendapat tawaran untuk mengajar agama dan bahasa Arab di pesantren. Khusus untuk bahasa Arab, memang tidak ada guru yang mengajar. Bahkan, salah satu ustadz yaitu Yazuri yang mengajar bahasa Inggris dan dijuluki Ustadz Hebat, tidak mengetahui bahasa Arab kecuali bismillaahir rahmaanir rahiim

Akhirnya, Poy tidak kembali ke Gorontalo, menjadi guru di pesantren dan menyandang nama Ustadz Poy. Sayangnya, setelah cita-cita sederhananya tercapai tanpa perlu harus lulus kuliah, Poy tidak otomatis mendapatkan ketenangan dan merasa bahagia. Poy berhadapan dengan realitas bahwa sebenarnya pesantren itu didirikan hanya untuk mendapatkan keuntungan dengan mendidik anak-anak miskin. Semua sumbangan sembako yang ditujukan bagi anak-anak miskin itu dijual lagi untuk kepentingan pribadi Ustadz Syamsu, pendiri pesantren. Seharusnya Poy menyadari sejak awal saat ia terkejut di pesanten itu tidak memiliki pelajaran agama dan bahasa Arab. 

Delapan tahun kemudian, sementara Poy terlunta-lunta di Banggai, sahabatnya Apin yang dulunya aktivis pergerakan kampus telah menjadi anggota dewan Kabupaten Pemekaran Boalemo di Gorontalo. Apin bukan lagi pemuda miskin dari Mananggu karena ia sedang menikmati kemakmuran hidup karena pekerjaannya.

Selama delapan tahun, mereka tidak pernah berhubungan. Poy tidak pernah mengirimkan kabar ke Gorontalo. Akhirnya, Apin memutuskan untuk mencari Poy dengan maksud membawanya pulang kampung. Pencarian yang dilakukan dengan menapaktilasi jejak Poy memberikannya pemahaman bahwa sesungguhnya kehidupan mereka telah sangat berjarak. Perbedaan pandangan, tanpa disadari, telah membentuk kehidupan mereka secara bertolak belakang. Tidak mudah bagi Apin untuk bisa membawa Poy kembali ke Gorontalo walaupun Poy masih memiliki orangtua yang sedang menunggu-nunggu kepulangannya. 

Apin merasa, sebenarnya ia dan Poy jatuh pada ceruk sistem yang sama. Yang menjadikan perbedaan hanyalah Poy bangkit dan memilih jalan sunyi; berjuang tanpa penghargaan, tanpa publikasi, bahkan tanpa imbalan. Sedangkan, ia dan teman-temannya adalah anak-anak kecil yang tak pernah dewasa dengan tak henti-hentinya skeptis pada negeri ini. Hanya bisa bekerja dengan bantuan tertentu: donor dana dan aliran-aliran gelap lewat rekening para pejabat oposan. (hlm. 258-259). 

Selalu Ada Kapal untuk Pulang adalah novel kedua Randu Alamsyah yang telah diterbitkan. Sebelumnya, novelnya yang berjudul Jazirah Cinta diterbitkan oleh Penerbit Zaman (2008). Judul yang indah jelas mampu memprovokasi saya untuk bisa mendapatkan kesempatan membaca novel ini. Dan begitu kesempatannya datang, saya merasa puas bisa membaca novel ini. Pada bagian-bagian awal, saya memang terpaksa menurunkan ekspektasi untuk bisa mendapatkan kisah yang menarik perhatian dalam novel ini. Tapi setelah Poy meninggalkan Gorontalo dan pergi ke Banggai, saya mulai mengendus adanya kisah yang akan membuat saya bisa menamatkan novel ini tanpa tersendat. Dan terbukti, setelah itu saya memang sangat menikmati sisa novel ini. 

Randu Alamsyah -pengarang kelahiran Manado, Sulawesi Utara- dengan cara berkisahnya yang mudah dicerna mampu menyajikan kisah yang sangat mengharukan dan menghangatkan hati. Persahabatan, perjuangan hidup, dedikasi yang tulus dan tanpa pamrih terhadap pekerjaan, dan juga cinta merupakan hal-hal yang bisa kita petik dalam novel ini. Semua elemen ini berpadu dengan cara mengesankan dalam karakter Poy yang bersahaja.

Mungkin profesi guru saat ini telah banyak mengalami distorsi. Tapi Poy mengindikasikan keindahan pengabdian terhadap anak-anak yang diajarnya tanpa terkesan klise.

Aku merasakan kebahagiaan luar biasa sejak mengajar. Betapa indahnya melihat anak-anak yang kuajar tumbuh dan mengerti ilmu yang kuajarkan. Bertahun-tahun, aku bertahan hidup di sini. Tidak ada lembaga yang menggaji. Aku tidak pernah punya uang selain untuk membeli kopi dan sabun untuk mandi.... (hlm. 256).

Tapi, aku tidak bisa lari, kan? Dengan hinaan-hinaan yang diberikan kepadaku, aku tidak bisa menyerah, kan? Karena aku tahu, jika menyerah maka aku kalah. Tidak ada lagi yang sudi mengisi pekerjaan sepertiku, mengajari mereka membaca al-Quran dan ilmu agama.... (hlm. 257).

Sayangnya -saya tidak rela saat Randu melakukannya- prinsip hidup yang dibangun dengan penuh keluhuran budi itu ditumbangkan oleh nada-nada klasik bernama Cinta. Cintalah yang menyebabkan Poy terkatung-katung di tempat yang disebutkan dalam bab 25 (Akhir Kisah). Tapi, untunglah, di sana Randu menggambarkan, pada akhirnya Poy bisa menyimpulkan ujung dari pengembaraannya.

Dari jauh, sebuah titik bergerak ke arahnya. Selalu ada harapan. Selalu ada kapal untuk pulang. Lengkingan sirine kapal menyayat sunyinya senja. Poy merapatkan jaketnya dan melangkah. Tanpa air mata (hlm. 270)

Di bab terakhir novel ini, ada pengungkapan tidak terduga dalam surat yang dikirimkan Apin kepada Poy. Sepertinya dengan pengungkapan ini Randu hendak menandaskan bahwa selalu ada konsekuensi dari setiap jalan hidup yang kita pilih dan tempuh. 

Saya rekomendasikan Selalu Ada Kapal untuk Pulang kepada pembaca karya fiksi yang percaya bahwa integritas berada di atas segala-galanya dalam hidup ini.





*Catatan: Terima kasih kepada Diva Press dan Dion Yulianto yang telah memberikan saya kesempatan untuk membaca buku ini.

11 comments:

Anonymous said... Reply Comment

=))

Jody said... Reply Comment

Hai, Anonymous :)

Anonymous said... Reply Comment

cool (o)

Anonymous said... Reply Comment

bikin nangis ;-(

Jody said... Reply Comment

@Anonymous:
Perkenalkan dirimu hai anonymous :)

Anonymous said... Reply Comment

Terima kasih atas resensinya yang mencerahkan ini. Saya suka kritiknya tentang prinsip hidup si Poy yg dikalahkan oleh cinta. Saya memikirkannya lama. Dan kemudian mulai menyadari bahwa itu mungkin karena si Poy tak sempurna (seperti juga kisah ini) :)
Kisah ini diangkat dari kisah nyata, saya banyak belajar dari cerita ini, mempelajari penderitaan tokoh utamanya. Jika ada yg saya sesali, ada saya belum begitu menulisnya dengan baik.
terima kasih atas resensinya, Mas.
Salam hangat

Jody said... Reply Comment

Salam hangat juga.
Terima kasih sudah berkunjung :)

Zian said... Reply Comment

saya rasa anonymous itu si randu juga :p

Zulfa said... Reply Comment

Ah jadi pengen baca

Anonymous said... Reply Comment

Trima kasih, kisahnya sangat berkesan buat saya....seperti kisah nyata, yang kadang hidup ataupun cita2 tidak sesuai dengan apa yang di harapkan dan realita......
Di akhir cerita, malah jadi penasaran kehidupan Poy selanjutnya....kira2 ada kelanjutannya gak ya?
arisetiya89@gmail.com

Unknown said... Reply Comment

Ini yang ada di buku kan ka

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan