Judul Buku: Selalu Ada Kapal untuk Pulang
Pengarang: Randu Alamsyah
Editor: Muhajjah
Tebal: 272 halaman
Cetakan: 1, April 2013
Penerbit: Diva Press
Ngana tahu, Pin, waktu
kecil dan remaja, kita sama-sama bercita-cita menjadi guru. Agar kita bisa
berdiri di depan kelas dan mengajar orang. Masa depan kita jelas pada satu
impian yaitu menjadi guru. Itu cita-cita kita...." ujar Poy seperti
berbicara pada dirinya sendiri. Suaranya sayup-sayup tertelan angin pantai
(hlm. 254).
Poy dan Apin, dua sahabat dari Mananggu -desa yang terletak dua ratus
kilometer dari pusat Kota Gorontalo- pergi ke Kota Gorontalo untuk kuliah di
Sekolah Tinggi Islam demi mewujudkan cita-cita mereka menjadi guru. Setelah
menjadi mahasiswa, Apin aktif dalam sebuah organisasi kampus yang senang
mengadakan demo. Sedangkan Poy, sulit beradaptasi dengan kehidupan kampus yang
tidak mencerahkan baginya. Ospek, demo, dan dosen-dosen yang tidak berkualitas
membuat Poy merasa lelah.
Suatu hari, ketika kuliah diliburkan selama sepekan dan Apin pulang ke
Mananggu, Poy menemani Mud, salah satu teman kuliahnya yang sedang sakit, pergi
ke Luwuk, Banggai (Sulawesi Tengah). Di sana, Poy mengenal para usradz yang bekerja di sebuah
pesantren bagi anak-anak miskin. Perkenalannya dengan mereka membuka kehidupan
baru bagi Poy. Ia mendapat tawaran untuk mengajar agama dan bahasa Arab di
pesantren. Khusus untuk bahasa Arab, memang tidak ada guru yang mengajar. Bahkan,
salah satu ustadz yaitu Yazuri yang mengajar bahasa Inggris dan dijuluki
Ustadz Hebat, tidak mengetahui bahasa Arab kecuali bismillaahir rahmaanir
rahiim.
Akhirnya, Poy tidak kembali ke Gorontalo, menjadi guru di pesantren dan
menyandang nama Ustadz Poy. Sayangnya, setelah cita-cita sederhananya tercapai
tanpa perlu harus lulus kuliah, Poy tidak otomatis mendapatkan ketenangan dan
merasa bahagia. Poy berhadapan dengan realitas bahwa sebenarnya pesantren itu
didirikan hanya untuk mendapatkan keuntungan dengan mendidik anak-anak miskin.
Semua sumbangan sembako yang ditujukan bagi anak-anak miskin itu dijual lagi untuk
kepentingan pribadi Ustadz Syamsu, pendiri pesantren. Seharusnya Poy
menyadari sejak awal saat ia terkejut di pesanten itu tidak memiliki pelajaran agama dan
bahasa Arab.
Delapan tahun kemudian, sementara Poy terlunta-lunta di Banggai,
sahabatnya Apin yang dulunya aktivis pergerakan kampus telah menjadi anggota
dewan Kabupaten Pemekaran Boalemo di Gorontalo. Apin bukan lagi pemuda miskin
dari Mananggu karena ia sedang menikmati kemakmuran hidup karena pekerjaannya.
Selama delapan tahun, mereka tidak pernah berhubungan. Poy tidak pernah
mengirimkan kabar ke Gorontalo. Akhirnya, Apin memutuskan untuk mencari Poy
dengan maksud membawanya pulang kampung. Pencarian yang dilakukan dengan
menapaktilasi jejak Poy memberikannya pemahaman bahwa sesungguhnya kehidupan
mereka telah sangat berjarak. Perbedaan pandangan, tanpa disadari, telah
membentuk kehidupan mereka secara bertolak belakang. Tidak mudah bagi Apin
untuk bisa membawa Poy kembali ke Gorontalo walaupun Poy masih memiliki
orangtua yang sedang menunggu-nunggu kepulangannya.
Apin merasa, sebenarnya ia dan Poy jatuh pada
ceruk sistem yang sama. Yang menjadikan perbedaan hanyalah Poy bangkit dan
memilih jalan sunyi; berjuang tanpa penghargaan, tanpa publikasi, bahkan tanpa
imbalan. Sedangkan, ia dan teman-temannya adalah anak-anak kecil yang tak
pernah dewasa dengan tak henti-hentinya skeptis pada negeri ini. Hanya bisa
bekerja dengan bantuan tertentu: donor dana dan aliran-aliran gelap lewat
rekening para pejabat oposan. (hlm. 258-259).
Selalu Ada Kapal untuk Pulang adalah novel kedua Randu Alamsyah yang telah diterbitkan. Sebelumnya,
novelnya yang berjudul Jazirah Cinta diterbitkan
oleh Penerbit Zaman (2008). Judul yang indah jelas mampu memprovokasi saya
untuk bisa mendapatkan kesempatan membaca novel ini. Dan begitu kesempatannya
datang, saya merasa puas bisa membaca novel ini. Pada bagian-bagian awal, saya
memang terpaksa menurunkan ekspektasi untuk bisa mendapatkan kisah yang menarik
perhatian dalam novel ini. Tapi setelah Poy meninggalkan Gorontalo dan pergi ke
Banggai, saya mulai mengendus adanya kisah yang akan membuat saya bisa
menamatkan novel ini tanpa tersendat. Dan terbukti, setelah itu saya memang
sangat menikmati sisa novel ini.
Randu Alamsyah -pengarang kelahiran Manado, Sulawesi Utara-
dengan cara berkisahnya yang mudah dicerna mampu menyajikan kisah yang sangat
mengharukan dan menghangatkan hati. Persahabatan, perjuangan hidup, dedikasi
yang tulus dan tanpa pamrih terhadap pekerjaan, dan juga cinta merupakan
hal-hal yang bisa kita petik dalam novel ini. Semua elemen ini berpadu dengan
cara mengesankan dalam karakter Poy yang bersahaja.
Mungkin profesi guru saat ini telah banyak mengalami distorsi. Tapi Poy
mengindikasikan keindahan pengabdian terhadap anak-anak yang diajarnya tanpa
terkesan klise.
Aku merasakan kebahagiaan luar biasa sejak mengajar. Betapa
indahnya melihat anak-anak yang kuajar tumbuh dan mengerti ilmu yang kuajarkan.
Bertahun-tahun, aku bertahan hidup di sini. Tidak ada lembaga yang menggaji.
Aku tidak pernah punya uang selain untuk membeli kopi dan sabun untuk
mandi.... (hlm. 256).
Tapi, aku tidak bisa lari, kan? Dengan hinaan-hinaan yang
diberikan kepadaku, aku tidak bisa menyerah, kan? Karena aku tahu, jika
menyerah maka aku kalah. Tidak ada lagi yang sudi mengisi pekerjaan sepertiku,
mengajari mereka membaca al-Quran dan ilmu agama.... (hlm. 257).
Sayangnya -saya tidak rela saat Randu
melakukannya- prinsip hidup yang dibangun dengan penuh keluhuran budi itu
ditumbangkan oleh nada-nada klasik bernama Cinta. Cintalah yang menyebabkan Poy
terkatung-katung di tempat yang disebutkan dalam bab 25 (Akhir Kisah). Tapi,
untunglah, di sana Randu menggambarkan, pada akhirnya Poy bisa menyimpulkan
ujung dari pengembaraannya.
Dari jauh, sebuah titik bergerak ke arahnya.
Selalu ada harapan. Selalu ada kapal untuk pulang. Lengkingan sirine kapal
menyayat sunyinya senja. Poy merapatkan jaketnya dan melangkah. Tanpa air mata (hlm. 270)
Di bab terakhir novel ini, ada pengungkapan tidak terduga dalam surat
yang dikirimkan Apin kepada Poy. Sepertinya dengan pengungkapan ini Randu
hendak menandaskan bahwa selalu ada konsekuensi dari setiap jalan hidup yang
kita pilih dan tempuh.
Saya rekomendasikan Selalu Ada
Kapal untuk Pulang kepada pembaca karya fiksi yang percaya bahwa integritas
berada di atas segala-galanya dalam hidup ini.
*Catatan: Terima kasih kepada Diva Press dan Dion Yulianto yang telah memberikan saya kesempatan untuk membaca buku ini.
11 comments:
=))
Hai, Anonymous :)
cool (o)
bikin nangis ;-(
@Anonymous:
Perkenalkan dirimu hai anonymous :)
Terima kasih atas resensinya yang mencerahkan ini. Saya suka kritiknya tentang prinsip hidup si Poy yg dikalahkan oleh cinta. Saya memikirkannya lama. Dan kemudian mulai menyadari bahwa itu mungkin karena si Poy tak sempurna (seperti juga kisah ini) :)
Kisah ini diangkat dari kisah nyata, saya banyak belajar dari cerita ini, mempelajari penderitaan tokoh utamanya. Jika ada yg saya sesali, ada saya belum begitu menulisnya dengan baik.
terima kasih atas resensinya, Mas.
Salam hangat
Salam hangat juga.
Terima kasih sudah berkunjung :)
saya rasa anonymous itu si randu juga :p
Ah jadi pengen baca
Trima kasih, kisahnya sangat berkesan buat saya....seperti kisah nyata, yang kadang hidup ataupun cita2 tidak sesuai dengan apa yang di harapkan dan realita......
Di akhir cerita, malah jadi penasaran kehidupan Poy selanjutnya....kira2 ada kelanjutannya gak ya?
arisetiya89@gmail.com
Ini yang ada di buku kan ka
Post a Comment