Judul Buku: Penjual Kenangan
Penulis: Widyawati Oktavia
Penyunting: Gita Romadhona & Yulliya Febria
Penulis: Widyawati Oktavia
Penyunting: Gita Romadhona & Yulliya Febria
Tebal: x + 214 hlm; 13 x 19 cm
Cetakan: 1, Januari 2013
Penerbit: Bukune
Cetakan: 1, Januari 2013
Penerbit: Bukune
Setiap petang gadis bersenyum kaku dan berpandangan kosong itu membawa keranjang rotan yang sama dan duduk di kursi taman. Ia menunggu kemunculan orang yang akan membeli kenangan terakhir yang dimilikinya. "Aku telah hanyutkan segala mimpi di sungai itu, juga seluruh harapanku. Semua telah hanyut, mungkin sudah hilang di samudera. Yang tertinggal hanya kenangan ini. Kenangan yang hanya berputar-putar di ruang yang sama, tak beranjak ke mana pun. Setelah lelah berputar, kenangan ini akan mencekikku. Aku tidak punya lagi apa yang dapat mengelanakannya: harapan," kata gadis itu kepada laki-laki yang akhirnya mendekatinya. "Aku tidak butuh uang. Harapan. Kau hanya perlu tinggalkan sedikit harapan untukku, lalu kau akan dapatkan kenangan indah ini." (hlm. 134). Sayangnya, laki-laki itu tidak bisa menyilih kenangan sang gadis dengan harapan yang dimilikinya. Karena ia sendiri tidak memiliki banyak persediaan harapan dan kemungkinan besar akan menjadi penjual kenangan seperti gadis itu untuk mendapatkan harapan. Mengapa laki-laki itu hanya memiliki sedikit sekali harapan? Widyawati Oktavia akan mengungkapkannya dengan sendu dalam cerpen yang judulnya dijadikan tajuk antologi: Penjual Kenangan.
Bolehlah kita menobatkan Widyawati Oktavia sebagai Penutur Kesedihan. Karena semua cerita dalam antologi ini secara elementer mengangsurkan kesedihan yang terbentuk dari berbagai sumber.
Cinta bisa menjadi sumber kesedihan sebagaimana yang tersurat dalam cerpen Penjual Kenangan dan cerita pembuka antologi yang berdurasi cukup panjang, Carano. Bagi Amak, carano -alat dalam upacara adat Minang- adalah syarat meminang bagi kedua anak perempuannya yang akan menjadi nak daro -pengantin perempuan. Ia mengisinya dengan sirih yang dilengkapi kapur, gambir, pinang, dan juga tembakau setelah sebelumnya mengalasinya dengan arai berwarna kuning jernih. Setelah itu, Amak menutupi bagian atas carano dengan dulamak -kain bermotif warna merah, kuning, hitam serta kilapan benang emas dan cermin-cermin kecil. Amak selalu berharap ada anggota keluarga marapulai -pengantin laki-laki- yang memiliki kebiasaan makan sirih.
Tapi Ni, anak perempuan pertamanya, ternyata menikahi laki-laki dari keluarga yang kendati berasal dari Minang, tidak lagi peduli dengan adat istiadat. Mereka merasa modern karena sudah bermukim di Jakarta. Tidak heran carano yang dipersiapkan Amak ditolak, bahkan dengan sengaja dihancurkan.
Dalam perjalanan kembali ke tempatnya bekerja, anak perempuan kedua mengenang apa yang telah terjadi dalam pernikahan kakak perempuannya, mengingat kekecewaan para kakak laki-laki dan kesedihan Amak. Di bandara, selagi menunggu pesawat yang keberangkatannya tertunda, ia dihubungi laki-laki berbeda suku yang ingin menikahinya. Seketika kebimbangan pun muncul dalam hatinya. Ia memang sangat mencintai laki-laki itu, bahkan setelah laki-laki itu menikahi perempuan lain. Kini tersedia kesempatan untuk bersatu setelah perkawinan laki-laki itu terjebak dalam ketidakbahagiaan. Apakah ia akan merenggut kesempatan itu? Melewati berbagai ruang, dari ruang tunggu hingga ruang takdir yang tidak terelakkan, perempuan itu mengambil keputusan terpenting dalam hidupnya. "Carano yang disiapkan Amak tak bisa hanya diisi dengan cinta," katanya (hlm. 55).
Kesedihan dalam cerpen Dalam Harap Bintang Pagi juga disebabkan oleh cinta. Dihadirkan sebagai kisah berbingkai berelemen dongeng, cerpen ini menyodorkan kisah peri bernama Rayina yang jatuh cinta pada seorang petualang. Demi menyertai perjalanan si petualang yang sedang mencari mimpi, Rayina yang tidak bisa terbang meminta sayap kepada junjungannya, Ratu Peri. Permintaannya dikabulkan tapi konsekuensinya ia harus meninggalkan tempat bernaungnya di ujung pelangi dan kelopak bunga yang menjadi tempat peraduannya. Maka, ketika kelopak bunga membuka pada pukul lima, Rayina pun menyusul sang petualang. Apa yang terjadi di akhir kisah peri yang mencintai petualang itu? "Rayina, aku membawa cerita. Aku telah menemukan pintu kembali ke ujung pelangi. Bintang pagi yang indah, Rayina. Ah, mengapa aku ingin menamai bintang itu dengan namamu?" Sang petualang mencetuskan tanya yang tak terjawab (hlm. 73).
Menjelma Hujan dan Tembang Cahaya melengkapi kesedihan karena cinta. Dalam Menjelma Hujan, terdapat kesedihan yang aneh tapi nyata. Kerap, setelah berpisah dengan orang yang pernah kita cintai, tatkala mendengar ia akan menikah, tak urung hati kita tidak rela dan merasa kehilangan. Hal yang sama dialami oleh Kemala dan Seruni, dua perempuan yang terlilit kesedihan ketika mantan kekasih mereka menikah, padahal mereka sendiri sudah memiliki pengganti. Dalam Tembang Cahaya, sang narator orang pertama kembali ke kota tempat ia menghabiskan masa kanak-kanaknya untuk melaksanakan tugas sebagai dokter PTT. Setelah lima belas tahun berlalu, pertemuannya dengan seorang pembuat layang-layang, mengembalikan kenangannya kepada laki-laki pembuat layang-layang yang pernah dicintainya.
Kesedihan bisa memercik dari kehidupan keluarga yang melarat. Percakapan Nomor-Nomor menyimpan kesedihan seorang istri yang diremehkan suaminya. Mas Tarpin, karakter cerpen ini, senang menghambur uang untuk membeli nomor-nomor yang menjanjikan keuntungan instan. Sementara istrinya membanting tulang dengan berkeliling menjajakan bubur sum-sum. Perempuan ini tidak pernah menuntut sesuatu pada Tarpin dan tidak pernah bersungut-sungut meski hanya tinggal di kamar kontrakan. Mimpi seaneh apa pun yang menakutkannya, ternyata tidak berhasil mengubah perilaku Tarpin.
Saat elang berputar-putar di atas kampung bocah laki-laki bernama Suroso mempertanyakan kematian yang mungkin terjadi dalam rumahnya. Siapakah yang akan mati? Suroso, atau kakek dan neneknya, Mbah Kandar dan Mbok Kartiwi? Ternyata, Suroso tidak perlu kuatir. Malaikat maut sama sekali tidak menjenguk ke dalam rumahnya. Penyebabnya karena Mbah Kandar tidak mendapatkan kartu yang bisa ditukar dengan uang di kantor pos. Cerpen Tengara Langit ini menggemakan kemiskinan dan ketidakadilan yang kerap menimpa keluarga miskin sehingga mereka sanggup berbuat konyol. Kematian yang terjadi dalam kisah ini sungguh membuat terenyuh.
Kombinasi kisah keluarga disfungsional dan elemen fantasi memunculkan kesedihan dalam cerpen Kunang-Kunang dan Perempuan Tua di Balik Kaca Jendela. Ni, anak perempuan dalam cerpen Kunang-Kunang tidak pernah mengenal ayahnya. Bahkan, ketika dipaksa menikah pada usia 15 tahun, tugas ayahnya terpaksa digantikan oleh seorang pamannya. Setelah menetap di Jakarta menyusul pernikahannya, tiba-tiba Ni menerima kabar kematian ayahnya. Ia pulang ke kampungnya, tapi ayahnya telah dimakamkan. Identitas ayahnya sungguh mengejutkan dan hanya bisa diterima kalau kita bersepakat cerpen ini sebagai kisah fantasi. Hal yang sama berlaku untuk cerpen Perempuan Tua di Balik Kaca Jendela. Di dalam cerpen ini, seorang anak laki-laki dibesarkan oleh ibunya sendirian dan kehilangan figur ayah. Untuk membiayai hidup mereka, sang ibu mengumpulkan uang dengan cara melacurkan diri. Di masa tuanya, setelah anaknya bisa bekerja, sang ibu menciptakan kebiasaan duduk di sebuah kursi, menunggu kepulangan suaminya. Ia berubah seumpama perempuan gila yang mengaku keturunan dewa dan imortal. Awalnya, anak laki-laki itu tidak mempercayai pernyataan ibunya. Tapi ketika maut tidak pernah menjamah ibunya meski sudah berkali-kali diracuni perawat yang dipekerjakannya, mau tak mau ia harus percaya. Ibunya memang tidak akan pernah mati, dan kematian suaminya setelah meniduri seorang pelacur saat bertugas di luar kota, menghilangkan kesempatannya untuk meninggalkan dunia.
Kesedihan terkadang muncul sebagai konsekuensi dari dosa kedagingan manusia. Nelangsa, anak perempuan yang namanya dijadikan judul cerpen, sering menjadi bulan-bulanan banyak orang karena dilahirkan tidak normal. Ketikaknormalannya kian parah karena ia terjebak rangkaian halusinasi. Dalam kondisi seperti ini, ia bertekad membunuh ayahnya, yang dalam pikirannya, telah menghabisi nyawa ibunya. Nela tidak hanya menjadi cacat, tapi juga gila. Karena ia menjadi narator orang pertama cerpen ini, kita harus jeli memisahkan kebenaran dari halusinasinya. Neneknya-lah yang akan mengungkapkan sebab musabah kerusakan kondisi fisik dan psikis Nelangsa.
Hal yang sungguh lumrah kalau ada seorang ibu bersedih seperti karakter ibu dalam cerpen elegis Bawa Musim Kembali, Nak. Di masa tuanya, ia terjebak kenyataan getir. Ketiga anaknya meninggalkan rumah, tidak pernah kembali, dan menelantarkannya. Yang tertua, laki-laki, pergi mengadu nasib. Yang tengah, laki-laki juga, ingin melanjutkan sekolah. Yang bungsu, perempuan, bertekad mencari cinta. Anak perempuan itu sempat kembali hanya untuk pergi lagi dan tidak pernah pulang untuk mengulang salah satu episode cinta ibunya.
Bocah-bocah itu, satu per satu mereka hadir di rahimku. Menjadi janin, menyerap sari makanan dari tubuhku. Sembilan bulan, lamanya, lalu aku mempertaruhkan napasku untuk mereka. Demi kehadiran mereka. Demi tangis pertama mereka.
Lalu, saat musim berganti, satu per satu, mereka melangkah. Membawa tawa, celoteh, jerit tangis dalam koper-koper mereka. Aku pun sibuk membantu menutup koper itu. "Jangan ada yang tertinggal, Bu," kata mereka. Ah, mengapa koper itu begitu luas memuat semua tawa, celoteh, jerit tangis mereka? (hlm. 199).
Merasakan kesepian dan kesedihan di masa tua, tidak mengherankan kalau ibu yang sebatang kara itu mengharapkan datangnya musim yang akan membawa anak-anaknya kembali.
Namun, musim-musim lewat begitu saja di depanku. Aku sempat mengejar. Tapi, lari mereka begitu cepat. Tubuhku begitu renta, ternyata. Musim menemukanku terjerembab dengan ngilu di setiap saraf tubuhku. Dengan begitu baiknya, musim membaringkanku di dipan tua ini. Saat aku tertidur, musim pergi diam-diam. Saat berganti lagi, aku akan membawa anak-anakmu. Aku berharap pesan itu tertinggal. (hlm. 207).
Sesudah membaca semua cerita yang dielaborasi secara puitis, bisa disimpulkan kalau sang Penutur Kesedihan, dalam antologi ini, sejatinya sedang merayakan kesedihan. Kesedihan memang sesuatu yang faktual, dan karena tidak bisa dinafikan begitu saja, merayakannya dalam rangkaian kalimat indah, akan membuatnya bermakna bagi kehidupan.
Sebelum meluncurkan Penjual Kenangan, Widyawati Oktavia yang juga seorang editor, telah menerbitkan Kucing Melulu dan Cinta (Me)Lulu (2009) dan Silang Hati (Gagas Duet bersama Sanie B. Kuncoro, 2012). Penjual Kenangan jelas merupakan sebuah progres yang signifikan karena mengindikasikan keinginan melibatkan diri ke dalam perkembangan sastra Indonesia.
0 comments:
Post a Comment