01 May 2013

Negeri di Ujung Tanduk



Judul Buku: Negeri di Ujung Tanduk
Penulis: Tere Liye
Tebal: 360 hlm; 20 cm
Cetakan: 1, April 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

 





Setahun setelah Thomas berjuang menyelamatkan Bank Semesta, ia telah menambahkan unit bisnis dalam perusahaan konsultannya. Jika dulu ia hanya fokus mengurus strategi keuangan dan instrumen investasi, sekarang Thomas merambah dunia politik. Menjadi konsultan strategi politik, Thomas telah berhasil mengantar dua kliennya memenangkan pemilihan gubernur. Ia sukses menunjukkan bahwa kompetisi politik bisa dimenangkan dengan kalkukasi yang cermat. 
 
Bagi Thomas sendiri, politik tidak lebih adalah permainan terbesar dalam bisnis omong kosong, sebuah industri artifisial penuh kosmetik yang pernah ada di dunia. (hlm. 20). "Sebagaimana sebuah bisnis omong kosong dijalankan, kita harus berdiri di atas ribuan omong kosong agar omong kosong tersebut menjadi sesuatu yang bisa dijual dengan manis, dan dibeli dengan larisnya oleh para pemilih. Anda boleh saja tidak sependapat. Silakan. Tetapi saya dibayar mahal memoles omong kosong tersebut, menjualnya, dan simsalabim, menjadi king maker, mendudukkan orang-orang di kursi kekuasaan." (hlm. 20-21).
 
Setahun sebelumnya, setelah kasus penyelamatan Bank Semesta, dalam penerbangan menuju London, Thomas bertemu JD, mantan wali kota dan gubernur yang dikenal sebagai figur muda yang sederhana dan bersih. Pertemuan itu menjadi momen penting dalam hidup Thomas.  Percakapan dengan JD menginspirasi Thomas untuk terlibat dalam dunia politik.
 
"Kau tahu, Thomas, masalah terbesar bangsa kita adalah penegakan hukum. Hanya itu. Sesederhana itu," kata JD (hlm. 113). "Penegakan hukum adalah obat paling mujarab mendidik masyarakat yang rusak, apatis, dan tidak peduli lagi. Penegakan hukum adalah kunci semua masalah. Kita harus menyadari hal ini. Kita sebenarnya sedang berperang melawan kezaliman yang dilakukan kita sendiri dan orang-orang di sekitar kita yang mengambil keuntungan karena memiliki pengetahuan, kekuasaan, atau sumber daya. Jika kita memilih tidak peduli, lebih sibuk dengan urusan masing-masing, nasib negeri ini persis seperti sekeranjang telur di ujung tanduk, hanya soal waktu akan pecah berantakan. Ini negeri di ujung tanduk, Thomas." (hlm. 114 & 116).
 
Dalam sosok JD Thomas menemukan jawaban dari pertanyaan yang melindap dalam benaknya terkait sosok politikus dengan kemuliaan dan kelurusan hati bak Gandhi atau Nelson Mandela. Maka, Thomas pun menawarkan diri menjadi konsultan strategi demi mewujudkan penegakan hukum yang dikehendaki JD. Dan karena presiden merupakan pemilik komando tertinggi bagi penegakan hukum di Indonesia, cita-cita JD hanya bisa direalisasikan dengan menjadi presiden.
 
Menjelang konvensi partai yang akan mengumumkan secara resmi kandidat presiden dari partai yang menominasikan JD, mendadak terjadi terjadi peristiwa yang tidak diantisipasi Thomas sebelumnya. Terjadi ekskalasi besar-besaran dari peserta konvensi yang ditandai dengan manuver raksasa yang dilakukan pihak lawan JD. Situasi yang berkembang tidak terduga itu membuat JD meminta Thomas yang berada di Hong Kong untuk kembali ke Jakarta. Tapi sebelum Thomas meninggalkan Hong Kong, seusai konferensi mengenai komunikasi dan pencitraan politik, ia ditangkap satuan khusus antiteror otoritas Hong Kong. Di dalam kapal yang digunakan Opa dan Kadek menjemput Thomas di Makau, ditemukan seratus kilogram bubuk heroin serta setumpuk senjata api dan peledak. Tidak ada hipotesis lain yang terbentuk di benak Thomas selain bahwa kejadian ini adalah salah satu agenda serius yang dijalankan pihak lawan JD. Ditahannya Thomas di Hong Kong, membuat ia tidak bisa hadir di konvensi partai. Untunglah ada Lee, pengusaha Hong Kong yang dikalahkannya dalam pertarungan di Makau. Lee berhasil meloloskan Thomas dan mengatur perjalanan pulang Thomas ke Indonesia. Setibanya di Jakarta, Thomas disambar berita penangkapan kliennya. JD ditetapkan sebagai tersangka korupsi megaproyek tunnel raksasa selama menjabat sebagai gubernur ibu kota. Penangkapan itu tak pelak lagi disinyalir Thomas sebagai upaya pembunuhan karakter untuk mencemarkan reputasi cemerlang JD. Kemungkinan besar, JD akan didiskualifikasi dari kandidat calon presiden partai. 
 
Maka sebelum notifikasi pelariannya dari Hong Kong menyebar ke seluruh jaringan interpol dunia dan menobatkannya menjadi buruan internasional, Thomas harus bergerak cepat memperjuangkan nasib kliennya. Ia harus pergi ke Denpasar untuk melakukan konsolidasi para pendukung JD. Tapi hal itu pun tetap tidak mudah. Karena seperti dugaan Thomas, ada kelompok yang disebutnya sebagai mafia hukum, bergerak di belakang setiap kejadian itu.
 
Apakah Thomas bisa menghadiri konvensi partai dan mengembalikan kepercayaan semua pendukung JD? Thomas, mau tak mau, mesti merancang sebuah plot untuk bisa menghadapi tekanan demi tekanan mematikan yang dihadapinya. Tidak hanya berupaya membawa keluar seorang saksi mahkota dari tahanan kepolisian, Thomas pun menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi, untuk menjalankan rencananya. Hingga pada akhirnya ia menyadari, sesungguhnya ia sedang berhadapan dengan para pendiri benteng kekuasaan yang mampu melakukan apa saja demi pencapaian tujuan mereka. Dan sebagai pemimpinnya adalah bedebah yang menyeruak dari puing-puing masa lalu Thomas.
 
Negeri di Ujung Tanduk karya Tere Liye adalah sekuel dari Negeri Para Bedebah. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kejadian dalam novel ini berlangsung setahun setelah kejadian dalam prekuelnya. Sekali lagi, Tere Liye berhasil membesut sebuah kisah suspense thriller yang mengalir lancar dengan kejutan demi kejutan yang telah dipersiapkan dengan matang. Tere Liye menggunakan teknik berkisah yang tidak berbeda dengan yang dilakukannya dalam Negeri Para Bedebah. Setelah memunculkan permasalahan di bagian awal novel, kegentingan situasi diciptakan untuk membawa sang karakter utama mengerahkan semua kemampuannya untuk memutuskan rantai kejahatan yang menantang nyalinya. Di penghujung upayanya sebagai tokoh pahlawan, ia diperhadapkan dengan kejutan yang membuatnya limbung sekaligus kian berkobar amarahnya. Tapi sebagaimana dalam prekuelnya, sang protagonis tetap akan diberikan kemenangan, dan jalan menuju ke sana, selalu datang secara tak terduga. 
 
Thomas memang hanya melakukan apa yang dipikirkannya sebagai tanggung jawabnya sebagai seorang konsultan strategi. Tapi sebenarnya ia telah menunjukkan sebuah sikap, yang tidak disadarinya, sampai seseorang mengingatkannya, tepat di bagian pamungkas novel. 
  
Kau tahu, Thomas, jarak antara akhir yang baik dan akhir yang buruk dari semua cerita hari ini hanya dipisahkan oleh sesuatu yang kecil saja, yaitu kepedulian.
 
Begitu juga hidup ini, Thomas. Kepedulian kita hari ini akan memberikan perbedaan berarti pada masa depan. Kecil saja, sepertinya sepele, tapi bisa besar dampaknya pada masa mendatang. Apalagi jika kepedulian itu besar, lebih besar lagi bedanya pada masa mendatang. Selalulah menjadi anak muda yang peduli, memilih jalan suci penuh kemuliaan. Kau akan menjalani kehidupan ini penuh dengan kehormatan. Kehormatan seorang petarung. (hlm. 358-359).
 
Thomas dalam Negeri di Ujung Tanduk, tentu saja, masih sama seperti Thomas dalam Negeri Para Bedebah. Ia masih melakoni kesenangan bertarung, yang telah berpengaruh besar dalam pembentukan karaktenya sebagai seorang pejuang tangguh. Ia masih Thomas yang memiliki kehidupan steril cinta. Saya menduga, sampai novel ini berakhir, cinta belum menjadi prioritas Thomas, sekalipun Tere Liye menampilkan karakter perempuan menarik seperti Maryam, wartawati review mingguan yang menyusul Thomas ke Makau untuk mewawancarainya. Thomas yang ini, masih membutuhkan bantuan orang di sekitarnya untuk mendukung perjuangannya. Maka, Maggie, sang sekretaris yang cekatan, masih tetap muncul dalam novel ini. Demikian pula Rudi, polisi yang menjadi teman Thomas sejak bertemu di klub petarung Jakarta. Liem Soerja alias Om Liem, meski dalam status tahanan, bertekad membantu Thomas demi sebuah kehormatan dan penghargaan yang menghilang dari kehidupannya. Tere Liye menambahkan satu karakter pendukung yang dibutuhkan Thomas, yaitu Kris, staf khusus bagian teknologi Informasi, yang memiliki latar belakang sebagai peretas jaringan amatir. Opa dan Kadek, masih ditampilkan tapi kehadiran mereka di sini tidak menjadi elemen penting. 

Seperti dalam Negeri Para Bedebah, Tere Liye menggunakan narator orang pertama, yaitu dari sudut pandang Thomas, untuk menggulirkan kisahnya dalam novel ini. Seperti prekuelnya itu, Tere Liye suka keluar dari batasan narator orang pertama. Setidaknya ada dua kali ketika bicara di telepon dengan Maggie, Thomas  menceritakan apa yang tidak dilihatnya secara langsung. 
 
Setelah membaca Negeri Para Bedebah, sekalipun Tere Liye menghadirkan ending yang memberi kemungkinan munculnya kisah baru, saya tidak terlalu berharap kehadiran sebuah sekuel. Tapi setelah akhirnya sekuelnya diterbitkan, saya menyambut dengan ekspektasi tinggi kalau novel ini akan memuaskan saya dengan cara yang sama seperti prekuelnya. Dan ekspektasi saya memang terpenuhi. Negeri di Ujung Tanduk sukses memuaskan saya, selama membaca dan setelah menamatkan buku ini. 

4 comments:

Oky said... Reply Comment

Hehe, aku blm baca karya Tere Liye lagi setelah Sunset Bersama Rosie. Satu-satunya karya beliau yg aku baca :P

Jody said... Reply Comment

Aku ga tamat Sunset Bersama Rosie, dan belom berniat baca buku itu lagi. Tapi dua buku tentang Thomas ini memang ga boleh dilewatkan :)

Unknown said... Reply Comment

Aku ud baca banyak karya2 bang tere..dan semuanya bagus2...
karya yang paling aku suka itu "Bidadari-bidadari surga"

Adesia Nuraini said... Reply Comment

aku tinggal dua buku negeri negeri aja yang belum baca punyanya om tere.
aku suka banget sang penandai

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan