06 February 2012

Gelang Giok Naga


Judul buku: Gelang Giok Naga
Penulis: Leny Helena
Penyunting : M. Irfan Hidayatullah
Cetakan: 1, November 2006
Penerbit : Qanita



"....akan kucari kau walau seribu tahun lagi...."


 

Gelang Giok Naga merupakan ekspansi dari sebuah novelet berjudul Gelang Giok, pemenang harapan Sayembara Mengarang Cerber Femina tahun 2004. Novelet dijadikan novel oleh penulisnya untuk memperluas ruang terbatas yang disediakan majalah. Sekalipun hanya menjadi pemenang harapan, jangan mengira novel Leny Helena ini sebagai karya yang kurang menarik.
 
Gelang Giok Naga dibuka dengan hikayat Naga yang diceritakan seorang ayah kepada anaknya, yang tentu saja kemudian bisa dihubungkan dengan ayah dan anak pada epilog, mengenai betapa pentingnya peranan naga bagi masyarakat Cina.

Leny Helena kemudian menggeserkan ceritanya jauh ke tahun 1723 ke dalam kehidupan pribadi Yang Kuei-Fei, seorang selir kaisar Cina Jia Shi yang disebut sebagai Sang Putra Langit. Intrik yang berkecamuk dalam istana membuat Yang Kuei-Fei melarikan diri bersama Kasim Fu, dengan tidak lupa membawa lari perhiasannya, termasuk gelang giok dengan hiasan naga emas hadiah kaisar. Diceritakan bahwa Yang Kuei-Fei melahirkan anak kaisar, kemudian mati karena keganasan penyakit yang kemungkinan sekarang dikenal sebagai kanker. Yang Kuei-Fei mati di sisi laki-laki yang dicintainya, Kasim Fu. Sebelum mati Yang Kuei-Fei berkata, "....akan kucari kau walau seribu tahun lagi.... Jika saat itu tiba, akan kukatakan betapa aku sangat mencintaimu." Perkataan inilah sesungguhnya yang merupakan esensi dari novel cantik ini. Untuk selanjutnya, hanyalah rangkaian peristiwa menuju pada pemenuhan takdir kata-kata Yang Kuei-Fei.

Dalam novel ini, Leny bagaikan kutu loncat, meloncat-loncat dengan gesit. Karena pada lembar berikutnya, Leny meloncat lagi ke tahun 1935, memperkenalkan kepada pembaca dua perempuan bernama A Sui dan A Lin. Pada saat yang sama, Leny juga mengganti perspektif penceritaan dari orang ketiga ke orang pertama. Dengan cara yang berbeda, A Sui dan A Lin, akhirnya tiba dan siap menghabiskan hidup mereka di Indonesia, tepatnya di Batavia. Sebelum menuju Batavia, ibu A Sui memberikan warisan ibunya, gelang giok berhias naga emas.

Apa yang diungkapkan ibu A Sui mengenai latar belakang gelang giok itu terdapat ketidakcocokan dengan kisah Yang Kuei-Fei yang dibeber sebelumnya. Pada waktu Leny mengisahkan tentang Yang Kuei-Fei di awal-awal novel, kita akan memperoleh gambaran bahwa Yang Kuei-Fei sudah hamil ketika lari dari istana, mencintai Kasim Fu yang lari bersamanya, kemudian melahirkan anak kaisar. Perhatikan peralihan tahun 1723 (hal.21) dan 1724 (hal.45). Tetapi pada halaman 81, diungkapkan ibu A Sui (yang tentu saja dari Leny sendiri sebagai pengarang), bahwa Yang Kuei-Fei menyuap Kasim Fu untuk menyelundupkannya keluar istana dan lari ke selatan, menikah dengan pria setempat dan beranak pinak.

Perjalanan kehidupan tidak disangka mempertemukan A Sui dan A Lin, diikuti dengan berpindah tangannya gelang giok naga. Anak mereka menikah, dan lahirlah Swanlin, menyandang nama gabungan kedua neneknya pada tahun naga, 1976.

Lena lalu melompat lagi ke tahun 1986 dan menambahkan ke dalam novelnya satu tokoh aku lagi, yaitu Swanlin. Selanjutnya, tiga 'aku' berganti-ganti menuturkan cerita menuntun pembaca ke akhir kisah, melewati tahun demi tahun.

Walaupun menggunakan 3 tokoh 'aku', tapi gaya seperti ini sama sekali tidak membuat pembaca bingung, malah enak dinikmati. Leny dengan pintar mengantar ketiga narator membahasakan diri mereka dalam memandang hidup. Satu kelebihan Leny, dengan lancar dan lucu, dia memaparkan pandangan hidup, karakter dan gaya bicara tokoh-tokohnya dengan pas. Kehidupan Swanlin dielaborasi Leny sesuai dengan usianya beserta kisah cinta segi tiganya. Leny menggunakan dialog yang tepat untuk remaja metropolis tanpa mengurangi nilai cerita yang mau disampaikan.

Melalui karakter Swanlin inilah Leny, yang rupanya berdarah Cina, mengungkapkan suaranya mengenai kehidupan Cina di Indonesia yang kadang tidak bisa dimengerti oleh orang lain. Swanlin adalah citra idaman orang Cina untuk hidup bergaul di bumi Indonesia tanpa dicurigai. Sembari melakukan itu, Leny juga menyentil budaya, termasuk budaya Cina, yang didominasi laki-laki walaupun dengan kadar rendah.

Setelah menikah dengan laki-laki yang dicintainya (silahkan baca untuk mengetahui jati dirinya), keduanya pergi ke Kota Terlarang. Di sana, Swanlin menemukan dirinya, merasakan suatu deja vu -jalan menuju ke masa lalu. Siapakah dirinya sebenarnya? Apa yang sedang menunggu di depan kehidupannya? Di sinilah kita dapat melihat benang yang dipintal dari masa lalu menuju masa kini, menggulung dengan sangat jelas.

Leny Helena tampil sebagai pencerita yang mahir. Dia memaparkan realita yang saling berkaitan dengan pintar, mendeskripsikan segala sesuatu dengan baik. Satu yang mengganjal adalah cerita Leny mengenai pertemuan A Lin dengan perempuan bernama Lai Choi San. Pertemuan itu diceritakan terlalu panjang. Leny mungkin bermaksud untuk mengungkapkan bahwa sejak dulu sebetulnya perempuan sudah tidak kalah dengan laki-laki, termasuk dalam budaya Cina. Tapi kalau Leny bisa berpanjang-panjang dalam hal itu, tentu saja Leny harus bisa juga memberi plot pada kehidupan A Lin selanjutnya sampai perempuan itu terdampar di sebuah kandang babi di Batavia. Karya Leny ini adalah sebuah novel, dan novel memiliki ruang penceritaan yang sangat luas dibanding novelet misalnya. Leny yang paling tahu dengan karakter-karakter ciptaannya, bukan? Baca saja kelincahan Leny menceritakan metamorfosis kehidupan A Lin yang luar biasa!

Pada akhirnya, Gelang Giok Naga adalah kisah tentang pencarian dan penemuan cinta yang terlambat bersemi, kisah takdir selir kaisar yang rupanya memang tragis.

Walaupun demikian, Leny telah sukses menghasilkan karya yang tidak mudah dilupakan, sebuah karya yang cantik, yang sejatinya akan lebih cantik lagi jika Leny bisa lebih memperhatikan presisi dalam segala aspek novelnya.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan