10 February 2012

The Hidden Face Of Iran


Judul Buku : The Hidden Face Of Iran
Catatan Perjalanan Warga Amerika Serikat Menembus Jantung Negeri Iran
Judul Asli : Searching for Hassan : a Journey to The Heart of Iran

Penulis : Terence Ward
Penerjemah : Berliani M. Nugrahani

Tebal: 579 halaman
Cetakan: 1, Maret 2007
Penerbit : Rajut Publishing





"Kesedihan dan kebimbangan melingkupi hari-hari terakhir kami di Teheran, saat kami mengemasi kehidupan kami dalam kardus-kardus, berjalan di bawah pergola dan tanaman murbei yang berselimut embun, menggerogoti makan malam berupa chello kebab terakhir yang disiapkan Hassan, menahan turunnya air mata." (hlm. 26). Demikianlah ungkapan Terence Ward saat mengenang hari-hari terakhir keluarganya di Teheran, Iran,  hingga  4 Juli 1969, saat harus mengucapkan selamat tinggal kepada Iran dan warganya yang mereka sayangi. Mereka pindah ke Amerika setelah 10 tahun (1960-1969) hidup di Iran dan menjalin hubungan baik dengan keluarga Hassan Ghasemi -pelayan, tukang masak, dan juga "ayah Persia" ke-4 bersaudara Ward: Terence (Terry), Chris, Richard, dan Kevin. 

Sepeninggal keluarga Ward, keluarga Ghasemi ternyata tidak bertahan dengan majikan baru. Mereka kembali ke tempat kelahiran Hassan yang secara samar-samar diingat Donna Ward –nyonya Ward- sebagai "Toodesht". Belakangan, diketahui tidak ada desa bernama Toodesht, sehingga kontak di antara mereka terputus. Bagi keluarga Ward, keluarga Ghasemi telah hilang. Mungkin juga telah menjadi korban perang. 

Tahun-tahun berlalu, revolusi Iran menyingkirkan Shah terakhir dari tampuk kekuasaan, Republik Islam (Syiah) diproklamirkan, dan Ayatollah Ruhollah Khomeini diangkat sebagai pemimpin tertinggi. Para tahanan memenuhi penjara. Pengadilan revolusi memerintahkan hukuman mati terhadap orang-orang yang dianggap sebagai pengkhianat; pabrik, perumahan, tanah, dan kekayaan pribadi dibekukan; ribuan orang meninggalkan Iran. Sang pemimpin baru menyatakan perang terhadap Amerika dan menggelari negara itu sebagai "Setan Besar" (Great Satan) sekaligus mem-personanongrata-kan warga negara Amerika. Dalam periode itu, Saddam Hussein menginvasi Iran, perang berkecamuk, dan bagi keluarga Ward, tembok keheningan telah berdiri antara masa lalu dan masa kini mereka yang terkait dengan Iran. 

"Pada malam hari, aku memimpikan pohon delima dengan buah yang begitu ranum, sehingga retak dan menampilkan isinya yang semerah darah." (hlm 32). Demikian selanjutnya Terry mengungkapkan imajinya tentang kondisi Iran. Negara ini menjadi negara Islam fundamentalis yang memberlakukan hukuman cambuk. Para anak laki-laki digunakan sebagai ranjau hidup di garis depan Irak dan para wanita terbelenggu cadar hitam ( "Anak laki-laki bebas pergi ke sana ke mari tanpa harus mengenakan ini. Tak ada penjelasan dalam Al Quran tentang pakaian seperti ini," kata seorang gadis muda bercadar hitam, hlm. 189). Mantra "marg bar Amrika" menjadi litani para mullah dengan tangan terkepal. Iran terputus dari dunia luar dan lambat laun menuju tebing chaos

Hingga akhirnya seorang ulama moderat bernama Mohammad Khatami terpilih sebagai presiden pada Agustus 1997. Ia menawarkan perdamaian pada Washington untuk pertama kalinya sejak kejatuhan Shah pada 1979 dan mengatakan tentang berbicara 'dari mulut ke mulut' dengan warga Amerika. Sebuah kondisi yang oleh para jurnalis disebut sebagai "Tehran Spring", saat suara masyarakat menjadi perhatian, di surat kabar, jalanan, pasar, atau bahkan, dalam taksi. Hal ini membuat keluarga Ward bersemangat meretas jalan: kembali ke Iran, sambil menghalau rasa takut, dalam perjalanan buta untuk menemukan Hassan, setelah hampir 30 tahun terpisahkan. Padahal kenalan mereka yang asli Iran sendiri memandang perjalanan mereka sebagai kegilaan sesaat. Tapi adalah Donna Ward, sang ibu, yang tidak kenal menyerah. Wanita kuat ini yakin akan bisa menemukan Hassan dan keluarganya. Sekalipun tidak ada alamat, tidak ada nomor telepon, tidak ada informasi apa pun. Hanya sebuah foto hitam putih yang diambil tahun 1963. Padahal mencari orang bernama Hassan di Iran tidak mudah. Bisa jadi ada lebih dari 2 juta Hassan di negeri mullah ini. Donna memegang keyakinan bahwa "Love knows no geography and knows no boundaries."

Maka, tergelarlah kisah perjalanan menembus jantung Iran ini sebagai rangkaian nostalgia masa silam, perjalanan menyaksikan wajah Iran yang terkoyak, dan perjalanan pencarian keluarga Hassan. 

Ward menuturkan: "Pada awal April 1998, keluargaku memulai perjalanan yang telah lama kami nantikan, untuk kembali ke kampung halaman. Bukan ke tanah leluhur kami di Irlandia, melainkan ke Iran. Sementara kebanyakan warga Amerika masih bergidik membayangkan kekejaman para penyandera dan teroris yang gelap mata, kami menyingkirkan rasa takut yang menguasai. Aku dan ketiga saudaraku, bersama kedua orang tua kami yang telah berumur, akan melintasi dataran tinggi Iran yang luas dalam perburuan buta untuk menemukan Hassan, sahabat kami yang hilang, dan juga mentor yang telah merawat kami di Teheran bertahun-tahun sebelumnya." (hlm. 33). Bagi Ward perjalanan ini, "akan menjadi penjelajahan lintas-budaya untuk menemukan kembali sebuah negara, penduduknya, dan keluarga angkat Iran kesayangan kami." (hlm. 34). 

Oleh karena itu, sambil membuntuti kisah perjalanan keluarga Ward, kita juga akan menemukan serpihan kenangan masa lalu yang mengambang di tepian kenangan Terry; uraian kondisi raut wajah Iran yang berbeda dari masa-masa sebelumnya dalam pusaran egoisme para mullah dan pandangan masyarakat Iran sendiri terhadap situasi saat itu termasuk ketakutan-ketakutan mereka; warisan keindahan dan kedigdayaan Persia yang terancam musnah; kebudayaan eksotik dalam arsitektur, karya sastra, dan musik serta daya tarik bentang alam. Di antara hamburan informatif ala Terence Ward, pembaca juga akan menemukan perenungannya sebagai hasil cernanya terhadap tatanan kehidupan Iran. 

Sebagai contoh:

"Betapa ironisnya, pikirku, bahwa di sepanjang Timur Tengah, hanya penduduk Iranlah yang memiliki keterkaitan masa lalu dengan bangsa Yahudi. Mereka memiliki ikatan sakral selama lebih dari dua ribu tahun. Dan betapa anehnya sekarang ini, karena hanya dalam dua puluh tahun, para mullah telah menjadikan Israel sebagai bête noir mereka, simbol musuh Republik Islam. Cyrus, putusku, dapat mengajarkan kepada mereka lebih banyak pelajaran tentang pencerahan moral." (hlm 152-153).
 
"Sementara warga Iran modern mungkin secara patriotis mengagumi para leluhur jauh mereka, sulit bagi mereka untuk melarikan diri dari penilaian para ulama: masa lalu sepenuhnya kafir. Para mullah di Teheran menyepakati satu hal: para leluhur tidak memiliki peran apa pun dalam kehidupan kita….. Para pengawal keimanan berjubah hitam yang berjaya hari ini mencoba membebaskan diri sepenuhnya dari masa lalu. Pedang tajam membungkam protes yang dilayangkan." (hlm 186).

Atau
"Saat kami pergi, aku memikirkan tentang Esther dan putranya –bagaimana keamanan mereka di bawah pemerintahan mullah? Aku merasa, kedudukannya sama lemahnya dengan pion tanpa perlindungan di atas papan catur. Beberapa orang penganut garis keras menikmati kemerdekaan menyerang siapa pun untuk mencapai tujuan mereka." (hlm. 212).
 
Dari tanah para sheikh Bahrain, bermodalkan keberuntungan Irlandia dan rahmat Allah, mereka menjejak Iran, menuju Tudeshk -bukan Toodesht. Sesampai di Tudeshk mereka dihadapkan dengan informasi yang menyatakan jika Hassan dan istrinya, Fatimeh, telah meninggal. Donna Ward tidak percaya. Keyakinannya yang memesona akhirnya membuka jalan pada pertemuan dengan Hassan. Bertahun-tahun telah berlalu, dan waktu telah mengguratkan karat, mengubah sosok Hassan. Alhasil, pertemuan dengan Hassan di sebuah hotel di Isfahan berlangsung menggelikan sekaligus mengharukan. Richard, adik Terry, yang tak tahan untuk bertemu Hassan, memeluk penjaga pintu hotel yang disangkanya sebagai Hassan.
 
The Hidden Face of Iran yang telah diterbitkan dalam 7 bahasa termasuk bahasa Indonesia hadir sebagai sebuah memoar yang indah, menawan, dan mengharukan. Ia memberi pemahaman betapa kasih sayang dan persahabatan tidak mengenal batas waktu dan budaya. Kasih sayang dan persahabatan bisa menjelma katalisator menuju kehidupan yang indah dan jembatan bahkan bagi jurang paling dalam dan berbahaya yang diciptakan oleh politik, kebudayaan, dan agama. Terence Ward, putra kedua pasangan Patrick dan Donna Ward, yang saat ini bekerja sebagai konsultan lintas-budaya yang memberikan nasihat bagi berbagai perusahaan dan pemerintah di dunia Islam dan di dunia Barat bertindak sebagai narator dalam kisah perjalanan ini. Buku ini sendiri berjudul asli Searching for Hassan: a journey to the heart of Iran. Untuk edisi Indonesia diberi judul baru, The Hidden Face of Iran: Catatan Perjalanan Warga Amerika Serikat Menembus Jantung Negeri Iran dan diterjemahkan dengan indah oleh Berliani Nugrahani.
 
Ditulis secara menarik, buku ini akan membuat pembaca tergerak untuk mengikuti terus perjalanan keluarga Ward dan pengamatan serta pemikiran yang tajam ihwal budaya dan tradisi Iran dari sang penulis. Kemampuan lelaki kelahiran Colorado tahun 1955 ini dalam menjalin ekposisi yang indah membuat tulisannya terasa mengalir dan enak untuk diikuti. Tak pelak, kita akan bersetuju jika ada pihak yang menyatakan jika The Hidden Face of Iran adalah sebuah karya yang ditulis dari tempat yang tepat (hati) dan dengan pencarian pikiran yang pas (pencarian terhadap anugerah).

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan