09 February 2012

Travelers' Tale



Judul Buku: Travelers' Tale
Penulis: Adhitya Mulya, Alaya Seta, Iman Hidayat, Ninit Yunita
Penyunting: Windy Ariestanty
Tebal: x + 230 hlm;13 x 19 cm
Cetakan: 1, 2007
Penerbit: GagasMedia



Barcelona! Such a beautiful horizon
Barcelona! Like a jewel in the sun
Por ti sere gaviota de tu bella mar

Barcelona! Suenan las campanas
Barcelona! Abre tus puerras al mundo
If God is willing, if God is willing, if God is willing
Friends until the end

(Barcelona, Freddie Mercury & Mike Moran)

 

Empat lajang, dua pasang gender, kepala tiga, bersahabat sejak kecil. Semasa SMA, cinta menyapa di antara mereka. Cinta yang tumbuh dari kebersamaan, tetapi berpotensi menggerogoti kebersamaan pula. Dua di antaranya membiarkan cinta mereka tanpa kepastian. Dua yang lain mencoba membunuh cinta yang terhalang perbedaan kepercayaan. Dengan status seperti itu, mereka tumbuh dewasa, terserak di 4 benua dengan pekerjaan masing-masing.

Francis Lim mengira ia akan sukses lari dari jerat cinta monyet ketika ia memutuskan menikah dengan Inez Alegria de la Pena, gadis Catalonia. Ia mengundang 3 sahabatnya untuk hadir pada acara pernikahan yang akan dilaksanakan 1 bulan lagi di Barcelona, kota asal Inez. 

Ketiga sahabat Francis memutuskan pergi ke Barcelona dengan dana yang terbatas. Farah Babedan, dari Hoi An, Vietnam, meretas jalan ke Barcelona setelah menyelesaikan kewajibannya di Amman dan Budapest. Jusuf Hasanuddin yang sedang berada di Nairobi bukannya balik ke Cape Town, Afrika Selatan, malah ke Barcelona lewat Abidjan. Retno Wulandari, meninggalkan Kopenhagen, Denmark, menuju Barcelona via Amsterdam.  Francis Lim sendiri sang calon mempelai pria, sehabis acara resital piano di Amerika, menuju Barcelona dari New York City.

Maka, terbangunlah kisah dalam novel bertajuk Travelers' Tale -Belok Kanan: Barcelona!. Pengalaman perjalanan, laporan pandangan mata, dan serpihan-serpihan masa lalu memberkas dalam cerita cinta stereotipikal  yang menjadi pencetus plot novel. 

Cinta memang sumber daya yang tidak ada matinya. Sangat banyak buku yang memanfaatkannya sebagai bahan baku. Dan, novel berjudul panjang ini terperangkap untuk melakukan hal yang identik. Namun cinta yang dibesut dalam novel ini, kendati bertolak dari cinta monyet, ternyata telah menggorila dan memiliki tujuan. Cinta seperti ini juga bukan hal yang baru dalam dunia fiksi. Oleh karena itu, pengalaman traveling diasimilasikan untuk mengkreasikan perbedaan. Alhasil, terciptalah kisah cinta multisegi yang terentang penuh ketidakpastian dalam perjalanan menuju horison nan indah, Barcelona. Di manapun para tokoh berada, jalur apapun yang ditempuh, mereka pasti akan tiba sesuai sirkulasi yang telah ditentukan, di jantung Barcelona. Terbukti, meski melewati lokasi peperangan, karakter laki-laki narsis sok ganteng dalam novel ini sampai juga di Barcelona.

Ternyata, cerita cinta stereotipikal yang meliput hidup 4 makhluk ini menjadi karya ringan-renyah yang cukup enak dinikmati. Plot digelar manis mengundang tanya. Tidak ada kerumitan yang berarti. Apa yang akan terjadi di Barcelona telah terbayang di benak pembaca sebelum para tokoh menjejak kota yang pernah dihidupkan dalam lagu oleh pasangan Freddy Mercury-Mike Moran dan Fariz RM ini. Ketika persahabatan dipertaruhkan, akhirnya semua cinta menemukan takdirnya sendiri. 

Karena perjalanan anak-anak muda ini berangkat dari lingkaran persahabatan yang telah mereka untai 20 tahun lamanya, kilas balik menjadi teknik yang penting untuk membawa masuk apa yang terjadi di masa lalu ke masa kini untuk memberi pemahaman kepada pembaca. Kilas balik tersebut berpadu kompak dengan kisah traveling yang dideskripsikan dengan enteng dan lancar. Walau di beberapa tempat nyaris terjadi digresi, tetapi aliran sungai cerita sudah ditentukan, sehingga laut lepasnya sudah sangat jelas.

Novel ini dituturkan dengan kelincahan narasi komedi cinta. Menariknya, kelincahan narasi ini digerakkan oleh 4 penulis. Masing-masing penulis mewakili satu karakter. Karena tokoh novelnya terdiri dari 2 pasang gender, maka penulisnya juga sama. Masing-masing sengaja tampil beda, kendati menggunakan perspektif orang pertama –saya, aku, gue, dan gua. Hal ini menjadi kekuatan sekaligus kelemahan dalam berkisah. 

Kekuatannya, karena dituturkan oleh 4 narator –dan 4 penulis berbeda- tentu saja dengan kontrol untuk keutuhan penokohan dan plot, ceritanya menjadi lebih natural jika dibandingkan dengan cerita yang dituturkan 4 narator tetapi dikucurkan oleh satu penulis. Kelemahannya, 4 orang dari zaman yang sama, pergaulan yang identik, gaya bicara yang idem ditto (bahasa gaul dengan berbagai bahasa yang ada), hadir satu sama lain bagaikan orang asing.  Farah sibuk ber-gue-gue, Jusuf asyik ber-gua-gua, Retno senang ber-saya-saya, dan Francis getol ber-aku-aku.  Dan ketika mereka terlibat dialog bersama, dengan setia gaya itu dipertahankan. Makanya, tanpa sadar (atau tak terkoreksi), Farah yang doyan ber-gue-gue, khilaf ber-gua-gua (hlm. 139) dan Francis yang biasanya ber-aku-aku, menambah gua dalam cita rasa lidahnya (hlm. 215). 

Meski bertutur menggunakan perspektif orang pertama, ketika Retno dan Jusuf menjadi narator dan menceritakan chatting yang mereka lakukan, baik penulis Retno maupun penulis Jusuf menuliskan nama karakter mereka sendiri dan bukan 'saya' atau 'gua' untuk mengimbangi lawan bicaranya (hlm. 29, 30, 43, 44). Pada halaman 83 dan 146 -teks dalam kotak, penulis Jusuf malah menambah-nambahkan 'tim penulis' dalam tulisannya, seakan-akan tidak tahan ingin masuk dalam cerita ciptaannya. Apakah itu perlu?

Selain cukup enak dinikmati, dalam novel ini pembaca akan menemukan tips-tips traveling seperti perencanaan traveling, transit, mengatasi jetlag, teknik  backpacking, obat-obat yang perlu disediakan, dan memilih transportasi serta akomodasi yang mungkin bisa dimanfaatkan oleh pembaca yang hendak bepergian seperti yang pasti telah dilakukan para penulis. 

Buku karya 4 penulis –Adhitya, Alaya, Iman, dan Ninit- ini tampil dengan kemasan yang baik dan ide sampul yang tidak pasaran. Sekilas lihat tidak akan menduga jika buku ini sebuah karya fiksi. Satu hal yang saya tidak pahami adalah ketika membaca komentar salah satu komentator novel yang mengatakan bahwa plot novel susah dikenal; mood and background lebih penting dari kejadian yang diceritakan. Dengan mengesampingkan kejadian yang diceritakan, akan jadi apa buku ini selain sekadar travel guides dan laporan perjalanan?

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan