Judul buku:  Gerhana Kembar
Penulis: Clara Ng
Tebal: 368 hlm; 13,5 X 20 cm
Cetakan:1, Desember 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Penulis: Clara Ng
Tebal: 368 hlm; 13,5 X 20 cm
Cetakan:1, Desember 2007
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Lesbianisme bukanlah isu asing di jalan kepengarangan Clara Regina Juana -lebih populer dengan nama Clara Ng. Sejak novel pertamanya, Tujuh Musim Setahun (Dewata Publishing, 2002), Clara telah mengembuskan isu ini ke dalam novel-novel dewasanya. Di dalam novel pertamanya ini, kita bisa membaca percintaan sesama jenis yang dilakoni oleh tokoh Iris dan Phoebe dan di sini untuk pertama kalinya, Clara menyatakan bahwa 'cinta tidak mengenal jenis kelamin' (hlm. 201). Selanjutnya, Clara menyenggol-nyenggol masalah lesbianisme dalam novel seperti Indiana Chronicle: Bridesmaid (GPU, 2005), Dimsum Terakhir (GPU, 2006) dan cerpen Rahasia Bulan (kumpulan cerpen LGBT berjudul sama, 2006). Menurut Clara, tema ini adalah tema yang sensitif dan malas disentuh oleh para penulis Indonesia. Pendapat yang tidak sepenuhnya benar mengingat sebelumnya telah terbit karya-karya dengan tema serupa. Sebut misal, Mira W, penulis roman prolifik Indonesia, yang pernah menjadikan isu ini sebagai tema utama novelnya, Relung-relung Gelap Hati Sisi (1983). Atau Garis Tepi Seorang Lesbian karya Herlinatiens (2003) yang cukup melelahkan dibaca. Belum lagi, Alberthiene Endah dengan novel Detik Terakhir (Jangan Beri Aku Narkoba..., 2004) dan Dicintai Jo (2005). Lagi pula, apa enaknya kalau tema ini hadir menjadi tema utama dalam banyak karya para penulis Indonesia, meski bertujuan memberikan 'literatur sastra yang memvalidasi hidup, cinta, dan dunia' para lesbian?
Gerhana Kembar, novel Clara kesembilan yang  bertema lesbianisme, diakuinya (Dari Meja Clara Ng)
 ditulis setelah kerja dan riset yang teliti. Sebuah  kegembiraan bagi 
Clara, karena untuk pertama kalinya, novelnya berhasil menjadi  cerita 
bersambung di harian Kompas (Oktober 2007-Januari 2008). Dan sebelum  
masa tayangnya, ternyata Gerhana Kembar  telah diterbitkan sebagai buku oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama (Desember, 2007).
Gerhana Kembar
 berkisah tentang Diana, perempuan  penghujung 60-an, yang tengah 
sekarat di rumah sakit karena kanker. Sembari  menghitung-hitung sisa 
hidupnya, Diana teringat seorang yang sangat  dicintainya, seorang 
bernama Selina. 
Sementara
 Diana tergoler di rumah sakit, Lendy, cucu semata  wayang Diana, 
menemukan sebundel naskah tua dan potongan-potongan surat di  dalam 
lemari baju neneknya, saat mencari akta kelahiran sang nenek. Di dalam  
naskah tua yang bertajuk 'Gerhana Kembar' itu, Lendy membaca kisah cinta
  seorang guru TK bernama Fola Damayanti, dengan Henrietta, seorang 
pramugari GIA.  Naskah itu ditulis oleh penulis berinisial F.D.S yang 
kemudian diketahui Lendy  sebagai Felicia Diana Sutanto, neneknya. 
Sebagai
 editor buku di sebuah penerbit berkelas seperti Altria  Media, Lendy 
terkejut menemukan kisah cinta tidak biasa yang ditulis dengan  bagus. 
Semakin larut dalam naskah itu, Lendy semakin yakin bahwa kisah yang  
ditulis neneknya itu adalah sebuah kisah nyata. Lendy bertanya-tanya, 
sebenarnya,  siapakah Fola Damayanti dan Henrietta?
Dikisahkan,
 setelah berpisah 3 tahun Fola bertemu Henri yang  tidak bisa berhenti 
mencintainya (tahun 1963, hlm. 115). Ada ketidaktelitian  soal tahun, 
seharusnya 2 tahun, karena mereka bertemu terakhir kali tahun 1961  
ketika Henri mencium Fola (bab 4). Fola telah menikahi Erwin, seorang 
dokter, dan  saat itu dalam keadaan hamil. Henri berniat mengajak Fola 
untuk hidup bersama  dengannya di Paris. Tetapi, 
keinginan  Henri tidak bisa terwujud kendati Fola sudah bersedia 
mengikutinya. Terjadi  peristiwa yang menjadi penghalang bersatunya 
cinta mereka. Pertama, Eliza,  anaknya yang berusia 6 tahun memintanya 
untuk   tidak meninggalkannya, dan kedua, Erwin, 
suami Fola diketahui menderita  kanker paru-paru. Setelah kematian 
Erwin, Fola bisa pergi ke Paris. Tetapi,  Eliza, anaknya yang masih 
remaja, kembali dari Yogyakarta dan mengabarkan  kehamilannya gara-gara 
berhubungan dengan seorang lelaki tak bertanggung jawab  (entah kenapa 
Eliza harus masuk SMA di Yogyakarta, seolah-olah Jakarta tidak  punya 
SMA yang bagus).
Kisah
 dalam naskah tua 'Gerhana Kembar' berakhir saat Henri  menunggu 
kedatangan Fola di Bandara Charles de Gaulle, dan Fola tidak pernah  
menampakkan diri. 
Selanjutnya,
 Lendy mengetahui kalau naskah tua itu diletakkan  di lemari neneknya 
dengan maksud supaya Lendy menemukannya. Karena naskah tua  itu akan 
memberitahu Lendy sejarah keluarga yang juga menjadi sejarah  
keberadaannya di dunia. Fola Damayanti adalah Diana, sedangkan Henri 
adalah  Selina. Anehnya, melalui dialog yang ada, Clara menggambarkan 
bahwa Selina,  yang tinggal jauh di Paris, tahu persis di mana naskah 
tua itu di rumah Diana. Termasuk  epilog novel yang ditulis jauh setelah
 naskah utama 'Gerhana Kembar' yang  terdiri atas 11 bab (2 Februari 
1982 – 20 April 1982). Apakah Diana mengatakan  padanya waktu 
mengiriminya naskah 11 bab pada tahun 1982? Clara tidak  menjelaskan. 
Untuk
 kedua kalinya, setelah Eliza gagal melakukannya, keluarga  Diana 
bermaksud menebus kesalahan masa lalu, mempertemukan dua dewi bulan yang
  tengah gerhana, Selina dan Diana. Lendy akan ke Paris dan membujuk 
Selina agar  mau kembali ke Jakarta, menengok Diana yang tengah sekarat. 
Tetapi,
 Selina tidak ingin kembali ke Jakarta. Aneh. Kalau  cinta Selina begitu
 besarnya kepada Diana, dan ia mengetahui Diana tidak  terikat dengan 
siapa-siapa –setelah bebas dari masalah Eliza, kenapa ia tidak menemui  
Diana lagi dan meminta Diana untuk segera menemaninya di Paris? 
Sebaliknya,  kenapa Diana tidak pergi ke Paris mengingat kadar cintanya 
yang begitu pekat  untuk Selina, apalagi setelah Eliza, putrinya, sudah 
cukup dewasa? Bukankah  Selina, dalam suratnya ('Gerhana Kembar' bab 10,
 1979), mengatakan bahwa ia  membayangkan suatu hari akan membuka pintu 
apartemennya dan menerima Diana ke  dalam kehidupannya, lalu 
menghabiskan masa tua bersama sambil membiarkan masa  lalu tertinggal 
kelelahan di belakang mereka? Sedemikian terlukanyakah Selina  untuk 
ketidakhadiran Diana dalam hidupnya pada tahun 1980? Sudah tibakah  
Selina pada batas penantian yang melelahkan? Entahlah.
Gerhana Kembar
 ditulis dalam bentuk cerita  berbingkai. Pertama, cerita tentang Lendy 
dengan pekerjaannya sebagai editor,  kisah cintanya dengan Philip, serta
 perjalanannya menemukan kebenaran yang  tersimpan sekian lama dari 
dirinya. Kedua, isi naskah tua berjudul 'Gerhana  Kembar' yang ditulis 
Diana. Secara bergantian, dengan urutan yang tidak runtut,  kedua cerita
 itu mengisi novel ini. Teknik penceritaan ini mengingatkan saya  pada 
novel The History of Love karya  Nicole Krauss (GPU, 
2006). Pada beberapa tempat, penulis menyisipkan  potongan-potongan 
surat yang juga ditemukan bersama naskah tua 'Gerhana Kembar',  meski 
tidak ada penjelasannya. 
Seperti
 novel-novelnya terdahulu, istri Nicholas Ng ini bercerita  dengan hidup
 dan enak dibaca. Tidak sulit mengikuti ceritanya karena ditulis  dengan
 lancar dan seolah-olah tanpa beban. Tetapi, kendati label 'metropop'  
dicopot dari novel ini, kita akan tetap menemukan atmosfer novel 
metropop yang  kental, genre yang digagas tahun 2004 bersamaan dengan 
terbitnya novel Indiana Chronicle. Lihat saja kehidupan 
 Lendy, perempuan 27 tahun, sebagai seorang editor yang sibuk, relasinya
 dengan  rekan-rekan kerja perempuan, dan kehidupan cintanya dengan sang
 kekasih,  Philip. Benar-benar bergaya metropop. Tampaknya, sulit bagi 
Clara untuk  melepaskan diri dari genre novel Gramedia ini. 
Dalam bercerita, kadang Clara kehilangan kontrol. Coba baca  kisah kilas balik Eliza 6 tahun dari perspektif   Eliza
 44 tahun (hlm. 230-236). Meski kilas balik ini dituturkan  menggunakan 
narator orang ketiga, jelas cerita ini bergulir dari perspektif  Eliza, 
jadi aneh saja ketika Clara menggambarkan pikiran dan perasaan Diana dan
  Selina. 
Tetapi,
 saya suka dengan cara Clara menutup novel ini. Bagi  pembaca yang 
saking penasarannya jadi punya kebiasaan mengintip akhir novel  sebelum 
waktunya bisa saja terkecoh. 
"Cinta adalah cinta.  Dia tidak mengenal jenis kelamin,"
 kata Lendy kepada Eliza (hlm. 237). Pemahaman inilah yang  membuat 
keluarga Diana bisa menerima keberadaan Diana sebagai seorang lesbian.  
Maka, lewat tokoh Lendy, Clara mencoba mengungkapkan keberpihakannya  yang
 luar biasa terhadap kehidupan  homoseksual. Coba simak dialog antara 
Lendy dan Philip (hlm. 346) ketika Philip  bertanya tentang anak mereka 
kelak, "Bagaimana  jika dia menjadi homoseksual?" Dan inilah jawaban Lendy, "Kita akan terbang ke Kanada atau Belgia,  mencatatkan pernikahan anak kita di sana."
Secara
 keseluruhan, inilah novel bertema lesbianisme yang  mengajak pembaca 
memahami dunia pecinta sesama jenis ini dengan pikiran yang  lebih 
terbuka dan keberpihakan yang kental. Ditulis secara  halus -mengingatkan saya pada Relung-relung Gelap Hati Sisi karya Mira W-  novel ini dengan indah mendedahkan usaha-usaha manusia untuk  bersijujur dengan diri sendiri, berani memaafkan 
kesalahan orang lain, dan  berdamai dengan masa lalu. Sebuah novel 
dewasa Indonesia yang  menurut saya sayang untuk dilewatkan.

 


 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
1 comments:
Artikel bagud
Post a Comment