Judul Buku : Kapten March
Diterjemahkan dari: March
Penulis: Geraldine Brooks
Penerjemah: Femmy Syahrani & Herman Ardiyanto
Tebal: 420 hlm
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: Hikmah
Diterjemahkan dari: March
Penulis: Geraldine Brooks
Penerjemah: Femmy Syahrani & Herman Ardiyanto
Tebal: 420 hlm
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: Hikmah
"Hal  yang paling menarik bagiku dalam fiksi sejarah adalah mengambil catatan  faktual sejauh yang diketahui, menggunakan itu sebagai perancah, lalu  membiarkan imajinasi membangun struktur yang mengisi hal-hal yang tak  mungkin diketahui dengan pasti," demikian ungkapan Geraldine Brooks (hlm. 416), penulis novel sejarah berjudul March (2005), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Hikmah dengan judul Kapten March.
Seperti  diakuinya meski ia senang membaca fiksi kontemporer, tapi ia tidak  tertarik untuk menulis fiksi jenis ini. Sebagai mantan wartawan – pernah  menjadi koresponden untuk The Wall Street Journal di Bosnia, Somalia,  dan Timur Tengah- ia lebih suka menulis fiksi sejarah dan selalu dihambat oleh desakan  realitas yang membuatnya selalu berpikir soal menulis nonfiksi, jika ia  hendak menulis permasalahan kontemporer. Maka dari dirinya, sebelumnya,  telah lahir buku nonfiksi mengenai masalah kaum wanita Muslim dalam  Nine Parts of Desire (1994), Foreign Correspondence (1997) yang telah memenangkan Nita B. Kibble Award, dan sebuah novel sejarah berjudul Year of Wonders (2001) yang berkisah tentang wabah pes di sebuah desa kecil di Inggris pada tahun 1666. 
Kali ini dengan March, Geraldine  Brooks mundur ke masa Perang Saudara Amerika di abad ke-19, memulung  inspirasi dari salah satu keluarga terhebat dalam sejarah Amerika, yaitu  keluarga Alcott dari Concord, Massachusetts. Amos Bronson Alcott, sang  kepala keluarga, seorang abolisionis, pendidik, dan filosof  transendentalis, dikenal telah mencatat kehidupannya sendiri dalam 61  buku harian. Surat-suratnya mengisi 37 jilid naskah di Harvard  College Library. Ia bergabung dalam klub transendentalis bersama penulis  dan filosof kenamaan seperti Ralph Waldo Emerson dan Henry David  Thoreau.
Seperti  yang telah diketahui, berdasarkan kehidupan keluarga Alcott, Louisa May  Alcott (1832 – 1888), putri Bronson Alcott, telah menulis novel  berlatar Perang Saudara Amerika berjudul Little Women yang  diterbitkan pada tahun 1868. Novel ini berkisah tentang kehidupan  gadis-gadis dari keluarga March –Margaret (Meg), Josephine (Jo),  Elizabeth (Beth), dan Amy- dengan ibu mereka, Margaret Marie Day, yang  dipanggil Marmee. Buku yang dibaca pertama kali oleh Geraldine pada usia  10 tahun ini menyentil  ketidakhadiran Robert March, ayah gadis-gadis March. Robert pada saat kisah Little Women edisi pertama bergulir sedang bertugas sebagai pendeta tentara Union yang bertugas di Selatan (bab pertama, Playing Pilgrims).  Pada bagian lain, terdapat adegan yang mendesak Marmee berangkat ke  Washington setelah menerima sepucuk telegram yang memberitahukan jika  suaminya sedang sakit parah (bab 15, A Telegram). Menjelang Little Women bagian pertama berakhir (bab 22, Pleasant Meadows), Mr. March kembali ke rumah. 
Absennya Mr. March yang pergi berperang inilah yang melahirkan ide dalam benak  seorang Geraldine. Untuk mengisi kekosongan terkait apa yang terjadi pada  Mr. March saat bertugas sebagai pendeta di medan perang dan konflik pribadinya dengan Marmee, Geraldine  melakukan serangkaian riset. Kehidupan  Bronson Alcott tentu saja menjadi lahan riset utama  Geraldine  mengingat Mr. March adalah pengejawantahannya dalam Little Women. Hal  ini diperlukan karena Robert March akan memegang peran  utama dalam March. Selain kehidupan Bronson Alcott yang diriset melalui  surat-surat, buku harian dan biografinya, untuk memperkuat seting dan berbagai komponen yang mendukung novel, Geraldine juga meriset  berbagai hal. Antara lain pertempuran Ball's Bluff, perihal kependetaan  dalam peperangan masa itu, kisah kaum budak rampasan, perkebunan kapas  swasta yang disewakan, dan gambaran kehidupan rumah sakit di Washington. Untuk topik yang disebutkan terakhir, Geraldine terbantu karya Louisa May Alcott berjudul Hospital Sketches yang ditulis berdasarkan pengalaman sebagai perawat selama 6 minggu di rumah sakit Union, Georgetown, D.C.. Autobiografi perempuan bernama Harriet Ann Jacobs (1861) berjudul Incidents in the Life of a Slave Girl, Written by Herself memberikannya landasan bagi karakter Grace Clement. 
Sesungguhnya,  Geraldine bukanlah satu-satunya penulis yang meminjam karakter populer  milik penulis lain untuk dijadikan tokoh dalam novelnya. Tokoh populer  lain yang telah dipinjam oleh beberapa penulis untuk menghidupkan  novelnya antara lain Scarlett O' Hara dan Rhett Butler (Scarlett, Alexandra Ripley), Sherlock Holmes (The Final Solution, Michael Cabon), dan Peter Pan (Peter and The Starcatchers, Peter and The Shadow Thieves;  Dave Barry & Ridley Pearson). Apakah pencipta karakter asli akan  menyukai apa yang telah dilakukan oleh penulis-penulis ini tentu saja  tidak akan kita ketahui, karena mereka telah tiada. Mungkin yang sudah  sangat pasti tidak suka adalah Margaret Mitchell, penulis Gone With the Wind, yang menolak melanjutkan kisah Scarlett, meskipun ending yang ia sajikan masih membuka kemungkinan kisah baru. 
Novel ini  ditulis dalam dua bagian besar, Kapten March  ditetapkan sebagai narator utama. Kecuali untuk bab 14 – bab 17, Geraldine  menggunakan Marmee sebagai narator. Setiap bagian novel ini dibuka  dengan kutipan dari Little Women. Untuk bagian pertama, kutipan yang digunakan berasal dari bab 1 Little Women, untuk bagian kedua berasal dari bab 15. 
Bermodalkan  idealisme yang tinggi mengenai kebenaran dan keadilan yang diyakininya, pada usia menjelang 40 tahun,  Robert March mendaftar ikut  berperang. Ia bergabung dengan tentara Union -pihak pembela para budak  kulit hitam- sebagai pendeta tentara. Selain modal idealisme, ia juga  membawa guntingan-guntingan rambut istri dan ke-4 anak  gadisnya yang disimpannya dalam kantong sutra. Ia berharap bisa pulang  dari peperangan kepada keluarga dan dirinya yang  dulu: seorang lelaki yang memiliki kepastian moral, sedikit kearifan, dan disebut pemberani oleh banyak orang (hlm. 390).
Sebagai  manusia yang memegang teguh 'jangan membunuh' sebagai hukum Tuhan, ia menjadi makhluk asing di tengah peperangan. Ia ikut  berperang, tapi tidak memegang senjata. Dan di tengah peperangan, keyakinannya pun diuji. Hasil akhir menunjukkan kalau keyakinannya kalah telak. Ia berhadapan langsung dan tidak bisa menghindarkan kekejaman, kematian, dan ketidakadilan yang lalu mengguratkan trauma pada tubuh dan jiwanya.
Saat menyeberang Sungai Potomac menuju pulau di tengah sungai tersebut, ia  terlibat pertempuran kecil tapi dahsyat. Rekan-rekannya tewas dan ia tidak bisa menolong  seorang bernama Silas Stone yang tidak bisa berenang. Saat itu rasa bersalah mulai menorehkan bisa di  hatinya. 
Di  tengah pulau itu, ia bertemu kembali dengan Grace, perempuan kulit  berwarna yang pernah ditemuinya 20-an tahun silam, ketika masih  berusia 18 tahun dan bekerja sebagai penggalas. Ia  sempat tinggal beberapa waktu di kediaman majikan Grace, Augustus  Clement -yang kelak diketahuinya sebagai ayah kandung Grace.  Pertemuan kembali ini menambahkan rasa bersalah dari masa silam ke rasa  bersalah masa kininya. Apa yang pernah dilakukannya, yaitu mengajar  seorang gadis cilik kulit hitam bertahun-tahun silam, telah melecutkan  cambuk hukuman yang mencabik-cabik tubuh Grace. 
Di  kediaman keluarga Clement yang tinggal puing, March menyadari kalau perilakunya tidak disukai orang-orang seperjuangannya. Kehadiran  Grace yang mengejawantah dari masa lalu dengan jejak hasrat darah  muda menggiringnya ke Oak Landing, sebuah perkebunan kapas yang saat  itu dikelola oleh pengacara Illinois bernama Ethan Canning. Di sini ia  ditugaskan membantu mendirikan sekolah untuk para budak rampasan perang. 
Untuk  beberapa waktu, kehidupan seolah-olah berjalan baik di Oak Landing,  meski ia sempat terserang demam pelana kuda yang membuatnya tidak  berdaya. Tapi ia lalu mengetahui, justru di tempat ini, kehidupannya  mengalami kehancuran yang sempurna. Dalam  kondisi sekarat, oleh upaya seorang perempuan kulit hitam bisu yang  pernah diajarinya membaca dan menulis, ia dibawa ke Washington dan  dirawat di Rumah Sakit Blank.
Di  rumah sakit ini, ia bertemu untuk ketiga kalinya dengan Grace, yang  seperti anjurannya saat terakhir bertemu, telah menjadi perawat. Pada  saat inilah, Marmee meninggalkan Concord, menemuinya dan mendapati laki-laki yang ia cintai menyimpan sejumlah kebenaran  dari dirinya. Selain itu, Marmee mesti menghadapi lelaki dengan  segebung rasa bersalah untuk segala hal yang telah terjadi dalam  peperangan, untuk segala korban yang berjatuhan, untuk segala  ketidakmampuannya menolong mereka. Usaha Marmee untuk menarik suaminya  ke dalam perspektifnya tidak berhasil hingga ia harus kembali ke  Concord. 
Bagi Kapten March, "Pekerjaanku  masih belum selesai. Upayaku sepanjang tahun terakhir, semuanya  menghasilkan buah busuk. Banyak orang tak bersalah yang mati gara-gara  aku. Banyak orang diseret kembali ke perbudakan. Aku tidak bisa pulang  –ke kenyamanan dan kedamaian- sampai aku menebus kehilangan yang  kuakibatkan" (hlm. 371) Dan ia memutuskan, tidak akan kembali ke  Concord, ke istrinya, dan juga anak-anak gadisnya. Ia mesti melewati  jalan penebusan, yang sesuai dengan keyakinan moralnya dan  idealismenya. 
Tapi  tentu saja, keputusannya ini mengalami perubahan. Karena bagaimanapun  juga, Geraldine tidak bisa melenceng dari alur cerita yang telah digoreskan Louisa May Alcott dalam Little Women.  Jadi Kapten March tetap kembali kepada keluarganya (dengan sendirinya,  pengungkapan ini tidak bisa disebut spoiler). Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menyebabkan Kapten March memutuskan  kembali ke rumahnya. Jawabannya diungkapkan secara indah dan  menyentuh di penghujung bab ke-18, Limpahan Berkah (hlm. 385 – 389).
Ketika sesaat lagi ia melangkah masuk rumahnya di Concord, sebuah keraguan menghentaknya, katanya: "Namun,  ada langkah yang lebih menyita tenaga daripada yang lain. Saat aku  menapakkan kaki di jalan menuju rumah cokelat kecil itu, aku merasa  seperti penipu gadungan. Tentunya aku tak punya urusan di sini. Ini  rumah milik seorang pria lain. Pria yang kuingat. Pria yang memiliki  kepastian moral, sedikit kearifan, yang disebut pemberani oleh banyak  orang. Bagaimana aku bisa berpura-pura menjadi pria itu? Karena aku  adalah orang bodoh, pengecut, tak yakin tentang apa pun." (hlm.  390). Secara fisik, kesehatan Kapten March telah dipulihkan.  Namun secara psikis, untuk selamanya, ia telah rusak dan tidak bisa  dipulihkan lagi. Pengalaman telah  menyengatkan bisa yang akan terus melimbungkannya selama sisa hidupnya.  Sehingga katanya kemudian, "Aku menyembunyikan wajah dalam kegelapan yang semakin gulita."  (hlm. 395). Tapi seperti Marmee yang membawa lilin, lalu menyulut sumbu  lampu semprong untuk menyinari ruangan, kehadiran perempuan yang ia  cintai ini, mungkin, akan menerangi kegelapan dalam  relung-relung hatinya.
Melalui sosok Kapten March ini, pembaca akan mendapatkan pemahaman bahwa  sesungguhnya tidak ada kontribusi yang diberikan sebuah perang, kecuali  luka dan derita yang sulit disembuhkan. Inilah cendera mata  yang akan selalu mendekam dalam jiwa manusia, sekeras apapun  represi yang dilakukan. Sekalipun perang itu meletus demi alasan  penegakan hak asasi manusia. Perang, oleh segelintir manusia, memang  kerap dimanfaatkan untuk satu tujuan, penghancuran kemanusiaan.
Secara  keseluruhan, Geraldine berhasil menuliskan kisah peperangan dan  dampaknya terhadap kemanusiaan dengan indah dan halus. Apa yang dituliskan perempuan dalam karya  yang memenangkan Pulitzer Prize untuk fiksi tahun 2006 ini, mungkin  tidak pernah terbayangkan oleh Nona Alcott. Keindahan yang tercipta  berkat konflik moral yang sangat menyentuh dalam kepiawaian menerjemahkan pesona bahasa dan latar kisah  membuat novel ini terkesan sangat elegan, dan menempatkannya sebagai  novel kelas satu. Jika ada yang mengatakan Louisa May Alcott akan merasa  sangat puas dengan karya yang berangkat dari karyanya, hal ini akhirnya  sangat bisa dipahami. Geraldine berhasil menarik  keluar tokoh Robert March dari posisinya sebagai karakter yang kurang  penting dalam Little Women menjadi karakter paling penting dan akhirnya menjadi tokoh yang tak terlupakan. 
Untuk bagian pertama novel yang merupakan  bagian terbesar dari dua bagian yang ada, Geraldine menggunakan alur  gabungan. Novel dibuka pada 21 Oktober 1861, setelah peperangan di  Ball's Bluff, kemudian sambil bergerak maju, menuju Rumah Sakit Blank di  Washington, kisah diayun mundur untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa  di masa lalu yang memengaruhi kehidupan Kapten March. Selebihnya, yaitu bagian kedua,  yang hanya terdiri dari enam bab diceritakan dengan alur maju, karena  semua yang dari masa lalu yang perlu diungkapkan telah dipaparkan.  Sehingga akhirnya, pembaca bisa menyimpulkan perjalanan kisahnya,  diawali saat Kapten March berusia 18 tahun dan berakhir ketika ia  berusia 40 tahun. 
Pergantian  perspektif dari Kapten March ke Marmee di bagian kedua novel sangat efektif memaparkan gambaran situasi ketika Kapten  March sekarat. Penuturan Marmee yang mengartikulasikan rasa  frustrasi, kesedihan, dan kebingungan yang ia alami, membuat pembaca bisa  mengetahui bahwa dalam pernikahan mereka terdapat hal-hal yang tak  terkomunikasikan dengan sempurna. Sebagai contoh tindakan March yang  merelakan kekayaannya untuk dipinjam dan ternyata tidak dikembalikan  oleh John Brown dalam rangka, katanya, membiayai perjuangan para  abolisionis. Atau keputusan March untuk meninggalkan Concord dan  keluarganya untuk pergi ke medan perang. Kedua hal ini sesungguhnya ia  lakukan untuk mengambil hati Marmee yang terlibat aktif  dalam pembelaan budak-budak kulit hitam. Tapi ketika kita membaca suara  hati Marmee, kita akan mengetahui bukan itu yang Marmee inginkan.
Untuk edisi Indonesia yang diterbitkan Hikmah, judul asli March dimodifikasi menjadi Kapten March. Sebuah tindakan yang pas mengingat sebelum novel ini, di dunia perbukuan kita telah beredar The March  karya E. L. Doctorow (Q-Press). Kendati judul kedua buku ini memiliki  maksud yang jelas-jelas berbeda, kemungkinan ada pembaca yang bingung membedakannya. Apalagi The March juga mengusung kisah dari Perang Saudara Amerika Serikat.
Ada satu paragraf yang membekas dalam hati saya dalam novel ini,  yaitu ketika Grace Clement mencoba  membangkitkan kembali gairah kehidupan Robert March yang hampir musnah. Memang kata-katanya ini tidak segera diterima oleh  sang kapten, tapi keindahannya tetap terasa bergaung.
"Aku tidak meminta pengampunanmu. Aku hanya memintamu melihat bahwa hanya ada satu hal yang harus dilakukan saat kita jatuh, dan itu adalah bangkit, dan melanjutkan hidup yang terbentang di hadapan, dan berusaha berbuat baik yang mampu dilakukan tangan kita, untuk orang-orang yang kita temui dalam perjalanan itu. Setidaknya, itulah jalan yang kutapaki." (hlm. 388).



0 comments:
Post a Comment