Judul Buku : The Crystal Garden
Penulis : Mohsen Makhmalbaf
Penerjemah : Elka Ferani
Penyunting : Melvi Yendra
Penerbit : Dastan Books, 2006
Saat Penderitaan, Saat Belas Kasihan
Mohsen Makhmalbaf terkenal sebagai sutradara, penulis, editor, dan produser yang film-filmnya telah diikutsertakan pada festival film internasional lebih dari 1000 kali. Dia telah memperoleh lebih dari 20 penghargaan. Selain itu, Mohsen telah mempublikasikan lebih kurang 27 buku yang telah diterjemahkan dalam lebih dari 10 bahasa. Dalam dunia perfilman Iran, keluarga Mohsen Makhmalbaf dikenal sebagai dinasti Makhmalbaf.Karena selain dia, istrinya, Marziyeh Meshkini, kedua putrinya yaitu Samira dan Hana telah mengukuhkan diri sebagai sutradara film. Sekarang Mohsen dan keluarganya tinggal di Kabul, Afghan, membantu mendirikan sekolah dan rumah sakit. Sebelumnya Mohsen Makhmalbaf telah sukses mengirim ribuan anak Afghan bersekolah di Iran.
The Crystal Garden
adalah salah satu novel racikan lelaki kelahiran Teheran 29 Mei
1957 yang edisi Indonesianya diterbitkan oleh Dastan Books. Cerita
berlatar Teheran, Iran
pascarevolusi, saat perang Iran-Irak (1980 – 1988) berkecamuk. Hampir
seluruh cerita terjadi di sebuah rumah besar dengan taman dan kolam
yang disita negara dan pemiliknya lari keluar negeri. Ada
berbagai perempuan dan berbagai kehidupan berkelindan di kamar-kamar
pembantu rumah besar itu. Kita tidak akan menemukan cerita yang hanya
digulirkan dari satu karakter. Tidak ada plot tunggal. Semua perempuan
dalam novel menjadi karakter penting dengan plot
kehidupan masing-masing yang dianyam Mohsen menjadi sebuah novel.
Persamaan yang merekatkan mereka adalah mereka semua korban-korban
perang. Meskipun tidak dalam arti terlibat langsung dalam peperangan.
Layeh,
ditinggalkan suaminya, Mansur,yang gugur dalam perang dengan 2
anaknya, Salman dan Sareh dan seorang bayi yang masih dalam
kandungan.Suatu ketika Layeh menerima pinangan seorang laki-laki
bernama Karim karena dijodohkan orang-orang serumah. Tetapi ternyata
Karim seorang tukang pukul dan tidak berniat menjadi ayah bagi
anak-anak Layeh.Setelah Layeh keguguran, Karim menghilang dari
kehidupannya.
Maliheh,
seorang perempuan muda yang menikah dengan Hamid, veteran perang
lumpuh dan telah kehilangan kemampuan reproduksi. Hamid sering
meragukan cinta Maliheh. Maliheh memang mau menikahi Hamid karena
percaya pengorbanan yang ia lakukan akan dibalas di akhirat. Padahal,
sebagai perempuan, yang setiap hari melihat anak-anak teman serumah,
Maliheh juga mendambakan anaknya sendiri.
Souri,
seperti halnya Layeh ditinggalkan suaminya, Akbar, yang tewas dalam
perang.Mereka telah memiliki 2 orang anak, Samireh dan Meysam. Souri
tidak dekat dengan ibu mertuanya yang mempersalahkan Souri atas
kematian anaknya. Souri dinikahkan oleh ayah mertuanya dengan adik
suaminya, Ahmad. Ketika cinta mulai menyapa, terjadi sebuah peistiwa
yang membuat Ahmad memutuskan ikut berperang. Souri ditinggalkan dalam
keadaan hamil.
Alyeh,
perempuan tua yang kehilangan 2 anaknya, Akbar dan Ahmad yang tewas
dalam perang. Dan seolah tidak cukup, suaminya, Marshadi, juga nekat
pergi berperang untuk kemudian tidak pernah kembali lagi.
Khorshid,
mantan pembantu rumah besar yang dinikahkan dengan Ali, seorang
pelayan,karena kecemburuan istri majikannya.. Ali ternyata tidak lebih
dari seorang lelaki lemah yang kerjanya hanya duduk, mengeluh, dan
mengisap candu.
Kehidupan
para perempuan ini mencapai titik nadir ketika mereka digusur dari
rumah besar. Di titik nadir tersebut, Souri melahirkan anak Ahmad.
Souri yang lemah tidak bisa menyusui anaknya. Alyeh, ibu mertua Souri
yang menjaga bayi Souri merasa putus asa karena tidak berdaya. Alyeh
mendongak ke langit, mengigit bibirnya sampai berdarah, dan berteriak
keras," Tuhan, di mana Engkau? Apa Kau tidak ada?"
Satu pertanyaan yang mengiris hati. Pertanyaan yang bisa terucap oleh
siapa pun ketika penderitaan yang menimpa terasa tidak tertanggungkan
lagi dan seakan-akan Tuhan menutup mata atas semua yang terjadi.
Pertanyaan yang sekaligus merupakan gugatan dari novel ini: siapakah
penyebab penderitaan manusia? Tuhankah? Atau manusia sendiri?
Saat
Alyeh berteriak lantang, teriakannya secara luar biasa disahut Tuhan.
Tuhan tidak berada dalam peperangan. Tuhan sedang menanti terlewatnya
ambang batas kemampuan manusia yang mengandalkan diri sendiri untuk
memberikan kuasa-Nya yang penuh belas kasihan.
Mohsen
menjalin kisah kehidupan manusia-manusia sengsara karena perang ini
dengan indah dan apa adanya. Tidak ada yang dipaksakan. Tidak ada yang
dibuat-buat. Kita akan dibawanya larut dalam kesedihan, penderitaan,
ketakutan, harapan, dan ketidakberdayaan mereka. The Crystal Garden
menjadi sebuah novel yang akan meninggalkan jejak yang tidak mudah
terhapus dari benak pembaca, sajian yang memikat karena kepedihan yang
disodorkan. Selain itu kita tidak akan mudah melupakan kalimat-kalimat
indah Mohsen lewat bisikan hati dan kata-kata para tokoh yang
diposisikan dengan sangat wajar pada tempatnya. Kita harus membaca
sendiri untuk menemukan dan meresapi keindahan verbalisasi Mohsen.
0 comments:
Post a Comment