Judul Buku : Messiah
Penulis : Boris Starling
Penerjemah : Eka Santi Sasono dan Rahmawati R.
Tebal : 644 hlm
Cetakan: 1, Januari 2007
Penerbit : Ufuk Press
Messiah. Judul yang singkat. Tetapi ketika membacanya, kita tidak dapat melupakan sengatan yang ditorehkan di benak kita (dan mungkin juga jantung kita). Boris Starling, penulis novel kelahiran tahun 1969 menerbitkan Messiah pada waktu dia berusia 30 tahun, sebagai debut yang sangat gemilang (1999). Lulusan Eton College dan Trinity College ini rupanya senang memakai judul hanya satu kata untuk novelnya. Setelah Messiah, dia telah menerbitkan novel berjudul Storm, Vodka, dan Visibility.
Di tangan Starling, Messiah menjadi sebuah thriller
yang bergerak cepat dengan adegan-adegan yang mengerikan. Sejak awal
novel kita telah diperkenalkan dengan darah, dan darah terus mengalir
sampai novel mencapai akhir.
Novel
dibuka dengan 2 pembunuhan yang terjadi secara berurutan dengan korban
Philip Rhodes, pengusaha katering, dibunuh dengan cara digantung, dan
James Cunningham, seorang uskup, dipukuli dengan brutal sampai
mati.Tidak ada bukti yang ditinggalkan si pembunuh selain tanda pada
mayat berupa lidah yang dipotong (dan dibawa pergi si pembunuh) dan
sendok perak yang dijejalkan dalam mulut korban. Para korban hanya memakai celana dalam.
Sebuah
tim segera dibentuk di Scotland Yard, dipimpin oleh Red Metcalfe,
seorang detektif terkenal, untuk mengusut pembunuhan yang terjadi.
Selain dirinya, dalam tim tersebut terdapat Jez Clifton,
Kate Beauchamp, dan Duncan Warren. Belum mendapat petunjuk apa-apa,
pembunuhan telah terjadi lagi. James Buxton, seorang tentara dipenggal
lehernya. Dugaan semula bahwa pembunuhan-pembunuhan tersebut
kemungkinan berhubungan dengan perilaku homoseksual segera gugur begitu
pembunuhan terjadi lagi. Bart (Bartholomew) Miller dibunuh dan
dikuliti disusul Matthew Fox, dikapak sampai mati.
Sebagai
detektif yang terkenal karena kemampuannya memasuki jalan pikiran para
pembunuh dan berhasil menangkap mereka, Red merasa kewalahan.
Sekonyong-konyong dia merasa kemampuannya dirampas darinya. Si Lidah
perak, julukan tim Red untuk sang pembunuh, berulang kali berhasil
mengencundangi Red.
Ada 2 pemikiran Red mengenai pembunuh berantai. Pertama, semakin banyak membunuh, semakin besar peluang si pembunuh tertangkap karena meninggalkan jejak atau bukti atau sesuatu. Kedua, tidak peduli berapa orang yang telah dibunuh, si pembunuh akan kembali membunuh kecuali ia berhasil ditangkap. Tapi kecuali pemikiran yang kedua, tidak ada jejak atau bukti yang mereka dapatkan.
Secara
tak sengaja, Red menemukan misteri di balik pembunuhan berantai
tersebut. Mungkin jika memerhatikan nama-nama korban, ada pembaca yang
mulai mengira-ngira. Ya, para korban terbunuh hanya karena nama mereka!
Mereka memiliki nama yang sama dengan nama rasul-rasul yang menjadi
murid Yesus Kristus seperti yang ada dalam Injil.
Tim Red segera menemukan alasan membunuh dari si pembunuh, yaitu si pembunuh mengidentifikasi dirinya sebagai Mesias
seperti halnya Yesus. Segala usaha dikerahkan untuk mencegah
terjadinya pembunuhan orang-orang yang memiliki nama seperti nama rasul
yang belum menjadi korban. Tapi, berulang-ulang tim Red dikecundangi
lagi oleh si pembunuh.
Atas
inisiatif Jez Clifton, tersangka si Lidah Perak yang juga dikenal
sebagai pembunuh rasul akhirnya ditemukan. Red berharap setelah
pembunuh ini tertangkap, dia bisa memperbaiki hidupnya lagi termasuk
hubungannya dengan Susan, istrinya, yang di ambang kehancuran.
Justru,
saat itu, dia mengetahui siapa sebenarnya pembunuh rasul itu, seperti
tesis Red mengenai pembunuh berantai, ternyata muncul juga "sesuatu"
yang ditinggalkan si pembunuh. Namun, saat itu telah terlambat untuk
Red mencegah usaha pembunuhan yang memosisikannya sebagai calon korban.
* * *
Starling
membagi novelnya dalam 3 bagian besar yang terdiri atas sejumlah sub
bagian. Bagian pertama terdiri atas sub bagian 1 - 59. Bagian kedua
terdiri atas sub bagian 60 - 115, sedangkan bagian ketiga terdiri atas
sub bagian 116 - 126. Uniknya, ada sub bagian yang hanya berupa 1
kalimat yaitu sub bagian 74 (halaman 365). Terdapat 14 bab yang
menceritakan kisah masa lalu Red. Ada 6 sub bagian yang merupakan ucapan
si pembunuh, 1 sub bagian tentang pembunuhan yang dilakukan si Lidah
Perak (bab 82), dan 1 sub bagian yang merupakan interpretasi Starling
seputar peristiwa menjelang penyaliban Yesus.
Oleh
penerbit, cerita masa lalu Red ditampilkan menggunakan "pattern",
sehingga seharusnya bab 24 juga diberi "pattern" dan bukan bab 58
(halaman 283).
Starling
juga mencantumkan tanggal-tanggal dalam novelnya. Hal ini penting,
karena tanggal-tanggal itu tidak sembarangan dicantumkan. Oleh karena
itu, sub bagian 53 (halaman 263) jelas keliru tanggalnya, seharusnya
tanggal 21 September 1998, bukan tanggal 1 September 1998.
Starling jelas pengarang yang cerdas. Mantan jurnalis di The Sun dan The Daily Telegraph ini menghadirkan cerita thriller
misteri dengan begitu cemerlang, memperkenalkan sebuah gagasan yang
mungkin tidak pernah terpikirkan oleh penulis-penulis kaliber dunia
lain. Keseluruhannya terasa sangat mengerikan, tapi sekaligus sangat
memukau. Teknik penyajian Starling yang dahsyat akan membuat pembaca
terus terdorong untuk menuntaskan isi novel setebal 640 halaman ini (di
luar halaman "iklan" dari penerbit).
Pembunuhan
oleh pembunuh yang menyangka dirinya Mesias jelas-jelas kontradiktif.
Perhatikan bahwa si pembunuh membunuh orang-orang dengan nama seperti
nama murid Yesus seolah-olah dia sedang membunuh murid-murid Yesus yang
sesungguhnya. Realitasnya Yesus tidak pernah membunuh
murid-muridnya. Tapi hal itu bisa dipahami karena selain pembunuhnya
sudah pasti seorang psikopat tulen yang sakit jiwa parah, sebetulnya
apa yang ia lakukan tidak lain adalah semacam pembalasan dendam yang
diarahkan untuk menghancurkan Red, tubuh dan jiwa. Di akhir karyanya,
pembunuh ini berharap Red yang akan bertanggung jawab terhadap semua
pembunuhan yang telah ia lakukan.
Tapi
kita akan membaca, di ujung novel, justru Red "menegakkan" cerita
tentang Mesias pada tempat yang sebenarnya, sebuah akhir yang gemilang
dan jenaka. Seiring dengan itu Red mengambil keputusan terbesar dalam
hidupnya atas ketakutannya terhadap tesis kedua yang dia yakini.
Ada
beberapa hal yang menarik dibicarakan. Pertama soal Paskah. Penulis
kiranya agak kurang cermat. Paskah yang Yesus dan murid-muridnya
rayakan di Yerusalem menjelang penyaliban berbeda dengan Paskah yang
dirayakan umat Kristen saat ini. Paskah yang pertama dirayakan untuk
memperingati bebasnya bangsa Yahudi dari penindasan di Mesir, sedangkan
Paskah saat ini yang dirayakan umat Kristen adalah untuk merayakan
kebangkitan Yesus Kristus. Paskah yang kedua ini hanya bisa dirayakan
pada hari Minggu.
Jadi,
peristiwa Jumat, 9 April 1982 (sub bagian 41), tidak terjadi pada
malam Paskah, tapi Jumat Agung. Coba bandingkan dengan ucapan si
pembunuh pada halaman 615 (sub bagian 121, baris 6 - 7).
Kedua,
perkataan si pembunuh pada Red soal uang 30 ribu paun (halaman 621).
Dari mana ia tahu Red memberikan uang itu pada ayahnya? Sepertinya yang
tahu soal uang yang diberikan pada ayah Red hanya Red dan ayahnya.
Dan
berbicara mengenai 30 ribu paun, pada halaman 179 (sub bagian 34)
terpeleset menjadi 30 ribu dolar (entah Starling atau penerjemahnya
yang keliru).
Ketiga
yang tidak kurang penting adalah celana dalam yang dipakai korban pada
waktu dibunuh yang dikatakan dalam novel mengikuti Yesus yang
disalibkan hanya menggunakan cawat. Hal ini kurang tepat, karena pada
waktu disalibkan Yesus sebenarnya tidak memakai apa-apa. Kalau dalam
gambar atau lukisan Yesus diberi cawat tentu saja karena masalah
kesopanan dan penghormatan.
Yang
terakhir, Bartholomew yang seorang laki-laki jelas seorang "Santo" dan
bukan "Santa" seperti disebutkan pada halaman 294 dan 295.
Mungkin
bagi orang lain hal-hal ini tidak penting, tetapi ini adalah sebuah
novel misteri, sehingga kalau kita teliti membaca kita bisa melihat
penulis begitu cermat menabur tanda bagi pembaca untuk menebak siapa
sesungguhnya si pembunuh. Jadi dalam novel seperti ini hal sekecil
apapun merupakan hal yang penting dan tidak bisa diabaikan.
Walaupun demikian, secara keseluruhan, novel ini tetap merupakan novel yang brilian, enak dibaca, dan sangat memuaskan.
0 comments:
Post a Comment