09 February 2012

Nefertiti



Judul Buku : Nefertiti (The Book of the Dead)
Penulis : Nick Drake (2006)
Penerjemah : Bima Sudiarto
Tebal : 600 hlm; 12,5 X 19 cm

Cetakan: 1, Februari 2007
Penerbit : Dastan Books

Bayang-bayang menyingkap seperti tirai, lalu kulihat dia.

Sang sempurna duduk di salah satu kursi. Mengenakan mahkota warna biru, memperlihatkan leher dan pundaknya nan jenjang dan indah. Membuat wajahnya semakin cantik.
 



Nama Nefertiti diterjemahkan sebagai wanita yang cantik (atau sempurna) telah datang. Sebagian namanya juga berarti manik-manik emas yang terjulur panjang (nefer) yang sering tergambar sedang dikenakannya. Siapa orang tua Nefertiti, tidak diketahui secara pasti. Dengan Amenhotep IV, Nefertiti melahirkan enam orang  anak perempuan.

Pada tahun ke-4 pemerintahannya, Amenhotep IV memulai penyembahan kepada Aten, dewa matahari. Dia dan Nefertiti memproklamasikan diri sebagai inkarnasi agung dan penyambung lidah Aten. Bersamaan dengan dimulainya penyembahan dewa Aten, pembangunan sebuah ibu kota baru, Akhetaten -sekarang dikenal sebagai Amarna- dimulai. Pada tahun kelima pemerintahannya, Amenhotep IV secara resmi mengubah namanya menjadi Akhenaten sebagai tanda penyembahan barunya terhadap Aten. Ibu kota dipindahkan dari Thebes ke Akhetaten secara resmi pada tahun ke-7 pemerintahan Akhenaten (1343 BC) walaupun pembangunan kota tetap dilanjutkan sampai tahun 1341 BC. 

Selama pemerintahan Akhenaten, Nefertiti terkenal sebagai wanita yang karismatik dan memiliki kekuasaan setara dengan suaminya. Pada tahun kedua belas pemerintahan Akhenaten, Nefertiti menghilang dari rekaman sejarah, tidak ada lagi informasi mengenai dirinya setelah itu. Berbagai spekulasi disorongkan untuk mencoba menjawab apa yang terjadi pada dirinya. Ia dikabarkan meninggal, tertimpa aib, tapi juga dipercaya sempat memerintah imperium Mesir dengan nama Neferneferuaten-Nefertiti dalam waktu yang singkat  setelah suaminya meninggal sebelum kemudian ia digantikan oleh Tutankhamun.

Konon, zaman terjadinya sinkretisasi agama oleh Akhenaten  dengan  memperkenalkan Atenisme dan sesembahan baru, kemudian juga dilaksanakan konstruksi ibu kota baru, bagi sebagian orang dianggap sebagai zaman keemasan imperium Mesir. Tapi ada juga yang berpendapat apa yang dilakukan oleh Akhenaten menggiring imperium Mesir ke tepi jurang kehancuran. Pembangunan ibu kota baru dengan kuil untuk dewa matahari telah menjadi konsentrasi pemerintahan Akhenaten. Ekonomi menjadi kacau balau. Beras susah dicari. Para pegawai tidak digaji.  Kejahatan bereskalasi. Keguncangan masal. 

Dengan diberlakukannya atenisme, semua dewa yang sebelumnya disembah bangsa Mesir (dewa Amun, dkk) disingkirkan termasuk pendeta-pendetanya seperti yang terjadi di Kuil Karnak. Oleh karena itu tidak dapat dihindarkan lagi jika rezim Akhenaten menjadi penghancur kehidupan mapan banyak orang sehingga akhirnya menciptakan musuh bagi dirinya. Tapi Akhenaten tidak peduli dan tetap  menjalankan rencananya. Tesis inilah yang digeber Nick Drake dalam novel perdananya, Nefertiti

Novel ini menggambarkan ihwal akan diresmikannya kota baru, Akhetaten, sebagai ibu kota dan pusat penyembahan Aten yang terjadi pada tahun ke-12 pemerintahan Akhenaten. Pada saat itu, Nick menceritakan kalau Nefertiti menghilang dari istananya. Hal ini menimbulkan pertanyaan karena ada pendapat yang menyatakan bahwa Atenisme sudah diberlakukan sejak tahun keempat pemerintahan Akhenaten. Selain itu karena Akhetaten dibangun sampai tahun kesembilan pemerintahan Akhenaten, agak aneh juga jika baru diresmikan tahun keduabelas, seperti yang disampaikan Nick Drake. Tapi karena ini masalah sejarah, dan bukti yang paling sahih tidak tersedia, maka Nick Drake tentu saja memiliki kemerdekaan untuk menyampaikan gagasannya. Apakah gagasan yang disampaikannya benar, kita tidak bisa memastikan. Mungkin saja akan ada penemuan baru yang mengukuhkan hipotesisnya.

Peristiwa menghilangnya Nefertiti menjadi  tema penting di tengah eksplorasi Nick Drake terhadap kehidupan pemerintahan dan masyarakat Mesir kuno. Oleh karena itu selain kehidupan keluarga kerajaan -Nefertiti, suami, anak-anaknya dan para kerabat- Nick juga melakukan sejumlah riset mengenai materi seperti pola kehidupan masyarakat saat itu, makanan yang mereka santap, apa yang menjadi bahan pemikiran dan pembicaraan mereka, bahkan permainan yang mereka mainkan -dalam novel ini disebutkan permainan bernama Senet. Drake juga mengunjungi Mesir untuk melihat puing-puing Akhetaten (Amarna).

Menjelang peresmian ibu kota baru dan agama baru, Nefertiti hilang dari istananya, tanpa jejak. Sebagai tokoh karismatik yang sangat dihormati dan dicintai rakyatnya, lenyapnya Nefertiti menjadi masalah besar. Tanpa dirinya festival peresmian itu terancam gagal. Ada indikasi bahwa masyarakat mau mengikuti Atenisme karena pesona Nefertiti. Ketidakhadiran Nefertiti akan menunjukkan kepada masyarakat bahwa  ada masalah sedang terjadi dalam kerajaan. Kredibilitas dan pencapaian Akhetanen akan dipertanyakan, termasuk agama barunya. Di samping itu, ada kecurigaan sedang terjadi konspirasi untuk menentang pemerintahan. Oleh sebab itu, Nefertiti harus ditemukan. 

Pada saat itu, di Mesir terdapat satuan keamanan kerajaan -yang menyimpan arsip papirus  tentang semua masyarakatnya supaya bisa mengawasi mereka- yang disebut Medjay. Ankhenaten memerintahkan Rahotep, kepala detektif termuda satuan Medjay divisi Thebes, untuk menemukan sang ratu. Rahotep terkenal dengan metode kerjanya yang orisinil. Setiap menangani suatu kasus, ia membuat jurnal untuk mencatat semua yang ia pikirkan dan ia indera dari investigasi yang dilakukan. Kerap dengan cara ini ia bisa memecahkan kasus yang ditanganinya.

Dari Thebes, meretas Sungai Besar, Rahotep menuju ibu kota baru, Akhetaten. Langsung disambut dengan sambaran anak panah untuk memperingatkan bahwa kehadirannya tidak diinginkan. Mahu, kepala Medjay yang ditemuinya di Akhetaten, tanpa tedeng aling-aling menunjukkan ketidaksukaan terhadap dirinya.

Oleh Mahu, disediakan dua petugas untuk memandu Rahotep selama berada di Akhetaten, Kety dan Tjenry. Rahotep diberi waktu sepuluh hari oleh raja untuk mengembalikan Nefertiti, Sang Sempurna, karena festival peresmian ibu kota dan agama baru akan diadakan 10 hari lagi. Kalau tidak, Rahotep dan keluarganya akan dihabisi.

Baru saja memulai investigasinya, Rahotep telah menemukan mayat perempuan dengan wajah rusak. Sebelum misteri mayat yang diduga sebagai Nefertiti dipecahkan, Tjenry yang sedang mengawasi mayat ini dibunuh dengan cara mengerikan. Nyawa Rahotep sendiri terancam. Setelah itu, Meryra kepala bendahara kerajaan yang baru diangkat menjadi pendeta tinggi Aten juga tewas mengenaskan. Kematian Meryra membuat Mahu memaksa Rahotep meninggalkan Akhetaten dengan mengancam kehidupan keluarganya. Tapi sebelum ada keputusan selanjutnya, Rahotep menemukan tulisan dalam jurnalnya yang ditulis orang tak dikenal yang kemudian menuntunnya pada pengungkapan misteri hilangnya Nefertiti.

Nefertiti memang belum meninggal. Ia juga tidak diculik oleh orang-orang yang terlibat konspirasi menentang rezim Akhenaten. Tapi ia melarikan diri dari istana, setelah bertengkar dengan suaminya dan didera masalah yang membuatnya cemas dan ketakutan. Ia berharap dengan melarikan diri bisa menemukan solusi untuk masalah yang dihadapi. 

Setelah Rahotep meninggalkan Nefertiti dengan tujuan untuk mencari komplotan yang menentang kerajaan, Mahu menangkapnya, memenjarakan, dan menyiksanya. Di tengah penyiksaan yang dilakukan Mahu, Ay, penasihat sekaligus kepala pasukan berkuda kerajaan datang membebaskan Rahotep. Ay meminta Rahotep untuk menjadi negosiator antara dia dan Nefertiti dalam rangka membereskan masalah kerajaan.

Festival peresmian ibu kota dan agama baru menjadi klimaks yang tak terduga. Sesuatu terjadi. Imperium Mesir terhempas di jurang kaos. Pemerintahan kacau. Keputusan Nefertiti-lah yang akan menentukan kelangsungan nasib kerajaan Mesir.

Apapun yang kemudian  terjadi, pada akhirnya, tentu saja Rahotep bisa kembali ke Thebes. Setelah itu menurutnya, ia tidak pernah bertemu lagi dengan Nefertiti dan suaminya. Tapi pekerjaan Rahotep tidak berakhir di situ. Karena novel ini hanya menjadi bagian pertama yang ditulis Nick Drake untuk memperkenalkan aksi Rahotep kepada pembaca. Drake masih akan menerbitkan lagi sekuel kisah petualangan detektif Medjay ini. 
 
Novel yang pernah masuk dalam nominasi novel terbaik Ellis Peters Award ini ditulis menggunakan Rahotep sebagai narator. Ketika membaca, pembaca mungkin tidak akan menyadari tengah membaca kisah  yang (diceritakan) tidak terjadi di masa kini. Dengan meyakinkan, menggunakan perspektif Rahotep, Drake menggelontorkan kisahnya secara enteng sehingga novel berlatar Mesir kuno ini hadir layaknya novel kontemporer, apalagi dengan konflik dan kecemerlangan gagasan yang dibentangkan. Tidak ada kekakuan dalam pemaparan kehidupan yang telah lama berlalu ditelan waktu. Semua dihadirkan dengan wajar dan sama sekali tidak berkesan kuno. Segala detail diupayakan seakurat mungkin, baik elemen kultural maupun objek yang dikemukakan. Alhasil, Nefertiti tampil memikat dengan pesona seperti yang dipancarkan sang ratu yang menjadi salah satu ikon kecantikan feminin abad dua puluh ini.

Selain itu, novel diracik dengan kalimat-kalimat evokatif yang cenderung puitis. Hal ini bisa dipahami, karena Nick Drake juga dikenal sebagai penyair. Bukunya yang berjudul The Man in the White Suit memenangkan penghargaan Waterstone's Forward Poetry Prize untuk kategori Best First Collection.

Karakter-karakter yang diangkat Nick Drake pada umumnya merupakan karakter sejarah, tapi bisa ditebak kalau Rahotep adalah karakter fiktif ciptaannya. Demikian juga Khety, Tjenry, atau Senet.

Edisi Indonesia diterjemahkan dengan rangkaian kata-kata yang enak dibaca dan terkesan cerdas sehingga seluruh ceritanya dapat diikuti dengan lancar. Selain itu, naskah dicetak dalam ukuran huruf yang ramah mata. Keistimewaan lainnya adalah rancangan sampul yang spektakuler dalam nuansa keemasan mewakili panorama padang pasir dan era keemasan imperium Mesir Kuno.

Tak diragukan lagi, novel ini menjadi novel elegan untuk pembaca yang tertarik pada kisah berlatar sejarah masa silam tetapi dengan pesona misteri kontemporer. 




Tentang Pengarang

Nick Drake, kelahiran London tahun 1961, adalah seorang penyair dan penulis novel misteri berlatar sejarah. Ia telah menerbitkan dua kumpulan puisi yaitu The Man in the White Suit (1999) dan From the Word Go (2007). Nefertiti: The Book of the Dead (2006) adalah buku pertama dari The Egypt Trilogy yang menampilkan Rahotep sebagai detektif. Setelah Nefertiti, Drake telah melengkapi triloginya dengan menerbitkan Tutankhamun: The Book of Shadows (2010) dan Egypt: The Book of Chaos (2011). Selain itu ia telah menerbitkan skenario berjudul Romulus, My Father (2007).

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan