11 February 2012

March


Judul Buku : Kapten March
Diterjemahkan dari: March
Penulis: Geraldine Brooks
Penerjemah: Femmy Syahrani & Herman Ardiyanto
Tebal: 420 hlm
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: Hikmah






"Hal yang paling menarik bagiku dalam fiksi sejarah adalah mengambil catatan faktual sejauh yang diketahui, menggunakan itu sebagai perancah, lalu membiarkan imajinasi membangun struktur yang mengisi hal-hal yang tak mungkin diketahui dengan pasti," demikian ungkapan Geraldine Brooks (hlm. 416), penulis novel sejarah berjudul March (2005), yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit Hikmah dengan judul Kapten March.
 
Seperti diakuinya meski ia senang membaca fiksi kontemporer, tapi ia tidak tertarik untuk menulis fiksi jenis ini. Sebagai mantan wartawan – pernah menjadi koresponden untuk The Wall Street Journal di Bosnia, Somalia, dan Timur Tengah- ia lebih suka menulis fiksi sejarah dan selalu dihambat oleh desakan realitas yang membuatnya selalu berpikir soal menulis nonfiksi, jika ia hendak menulis permasalahan kontemporer. Maka dari dirinya, sebelumnya, telah lahir buku nonfiksi mengenai masalah kaum wanita Muslim dalam Nine Parts of Desire (1994), Foreign Correspondence (1997) yang telah memenangkan Nita B. Kibble Award, dan sebuah novel sejarah berjudul Year of Wonders (2001) yang berkisah tentang wabah pes di sebuah desa kecil di Inggris pada tahun 1666. 

Kali ini dengan March, Geraldine Brooks mundur ke masa Perang Saudara Amerika di abad ke-19, memulung inspirasi dari salah satu keluarga terhebat dalam sejarah Amerika, yaitu keluarga Alcott dari Concord, Massachusetts. Amos Bronson Alcott, sang kepala keluarga, seorang abolisionis, pendidik, dan filosof transendentalis, dikenal telah mencatat kehidupannya sendiri dalam 61 buku harian. Surat-suratnya mengisi 37 jilid naskah di Harvard College Library. Ia bergabung dalam klub transendentalis bersama penulis dan filosof kenamaan seperti Ralph Waldo Emerson dan Henry David Thoreau.

Seperti yang telah diketahui, berdasarkan kehidupan keluarga Alcott, Louisa May Alcott (1832 – 1888), putri Bronson Alcott, telah menulis novel berlatar Perang Saudara Amerika berjudul Little Women yang diterbitkan pada tahun 1868. Novel ini berkisah tentang kehidupan gadis-gadis dari keluarga March –Margaret (Meg), Josephine (Jo), Elizabeth (Beth), dan Amy- dengan ibu mereka, Margaret Marie Day, yang dipanggil Marmee. Buku yang dibaca pertama kali oleh Geraldine pada usia 10 tahun ini menyentil ketidakhadiran Robert March, ayah gadis-gadis March. Robert pada saat kisah Little Women edisi pertama bergulir sedang bertugas sebagai pendeta tentara Union yang bertugas di Selatan (bab pertama, Playing Pilgrims). Pada bagian lain, terdapat adegan yang mendesak Marmee berangkat ke Washington setelah menerima sepucuk telegram yang memberitahukan jika suaminya sedang sakit parah (bab 15, A Telegram). Menjelang Little Women bagian pertama berakhir (bab 22, Pleasant Meadows), Mr. March kembali ke rumah. 

Absennya Mr. March yang pergi berperang inilah yang melahirkan ide dalam benak seorang Geraldine. Untuk mengisi kekosongan terkait apa yang terjadi pada Mr. March saat bertugas sebagai pendeta di medan perang dan konflik pribadinya dengan Marmee, Geraldine melakukan serangkaian riset. Kehidupan Bronson Alcott tentu saja menjadi lahan riset utama  Geraldine mengingat Mr. March adalah pengejawantahannya dalam Little Women. Hal ini diperlukan karena Robert March akan memegang peran utama dalam March. Selain kehidupan Bronson Alcott yang diriset melalui surat-surat, buku harian dan biografinya, untuk memperkuat seting dan berbagai komponen yang mendukung novel, Geraldine juga meriset berbagai hal. Antara lain pertempuran Ball's Bluff, perihal kependetaan dalam peperangan masa itu, kisah kaum budak rampasan, perkebunan kapas swasta yang disewakan, dan gambaran kehidupan rumah sakit di Washington. Untuk topik yang disebutkan terakhir, Geraldine terbantu karya Louisa May Alcott berjudul Hospital Sketches yang ditulis berdasarkan pengalaman sebagai perawat selama 6 minggu di rumah sakit Union, Georgetown, D.C.. Autobiografi perempuan bernama Harriet Ann Jacobs (1861) berjudul Incidents in the Life of a Slave Girl, Written by Herself memberikannya landasan bagi karakter Grace Clement. 


Sesungguhnya, Geraldine bukanlah satu-satunya penulis yang meminjam karakter populer milik penulis lain untuk dijadikan tokoh dalam novelnya. Tokoh populer lain yang telah dipinjam oleh beberapa penulis untuk menghidupkan novelnya antara lain Scarlett O' Hara dan Rhett Butler (Scarlett, Alexandra Ripley), Sherlock Holmes (The Final Solution, Michael Cabon), dan Peter Pan (Peter and The Starcatchers, Peter and The Shadow Thieves; Dave Barry & Ridley Pearson). Apakah pencipta karakter asli akan menyukai apa yang telah dilakukan oleh penulis-penulis ini tentu saja tidak akan kita ketahui, karena mereka telah tiada. Mungkin yang sudah sangat pasti tidak suka adalah Margaret Mitchell, penulis Gone With the Wind, yang menolak melanjutkan kisah Scarlett, meskipun ending yang ia sajikan masih membuka kemungkinan kisah baru. 

Novel ini  ditulis dalam dua bagian besar, Kapten March ditetapkan sebagai narator utama. Kecuali untuk bab 14 – bab 17, Geraldine menggunakan Marmee sebagai narator. Setiap bagian novel ini dibuka dengan kutipan dari Little Women. Untuk bagian pertama, kutipan yang digunakan berasal dari bab 1 Little Women, untuk bagian kedua berasal dari bab 15. 

Bermodalkan idealisme yang tinggi mengenai kebenaran dan keadilan yang diyakininya, pada usia menjelang 40 tahun, Robert March mendaftar ikut berperang. Ia bergabung dengan tentara Union -pihak pembela para budak kulit hitam- sebagai pendeta tentara. Selain modal idealisme, ia juga membawa guntingan-guntingan rambut istri dan ke-4 anak gadisnya yang disimpannya dalam kantong sutra. Ia berharap bisa pulang dari peperangan kepada keluarga dan dirinya yang dulu: seorang lelaki yang memiliki kepastian moral, sedikit kearifan, dan disebut pemberani oleh banyak orang (hlm. 390).

Sebagai manusia yang memegang teguh 'jangan membunuh' sebagai hukum Tuhan, ia menjadi makhluk asing di tengah peperangan. Ia ikut berperang, tapi tidak memegang senjata. Dan di tengah peperangan, keyakinannya pun diuji. Hasil akhir menunjukkan kalau keyakinannya kalah telak. Ia berhadapan langsung dan tidak bisa menghindarkan kekejaman, kematian, dan ketidakadilan yang lalu mengguratkan trauma pada tubuh dan jiwanya.

Saat menyeberang Sungai Potomac menuju pulau di tengah sungai tersebut, ia terlibat pertempuran kecil tapi dahsyat. Rekan-rekannya tewas dan ia tidak bisa menolong seorang bernama Silas Stone yang tidak bisa berenang. Saat itu rasa bersalah mulai menorehkan bisa di hatinya. 

Di tengah pulau itu, ia bertemu kembali dengan Grace, perempuan kulit berwarna yang pernah ditemuinya 20-an tahun silam, ketika masih berusia 18 tahun dan bekerja sebagai penggalas. Ia sempat tinggal beberapa waktu di kediaman majikan Grace, Augustus Clement -yang kelak diketahuinya sebagai ayah kandung Grace. Pertemuan kembali ini menambahkan rasa bersalah dari masa silam ke rasa bersalah masa kininya. Apa yang pernah dilakukannya, yaitu mengajar seorang gadis cilik kulit hitam bertahun-tahun silam, telah melecutkan cambuk hukuman yang mencabik-cabik tubuh Grace. 

Di kediaman keluarga Clement yang tinggal puing, March menyadari kalau perilakunya tidak disukai orang-orang seperjuangannya. Kehadiran Grace yang mengejawantah dari masa lalu dengan jejak hasrat darah muda menggiringnya ke Oak Landing, sebuah perkebunan kapas yang saat itu dikelola oleh pengacara Illinois bernama Ethan Canning. Di sini ia ditugaskan membantu mendirikan sekolah untuk para budak rampasan perang. 

Untuk beberapa waktu, kehidupan seolah-olah berjalan baik di Oak Landing, meski ia sempat terserang demam pelana kuda yang membuatnya tidak berdaya. Tapi ia lalu mengetahui, justru di tempat ini, kehidupannya mengalami kehancuran yang sempurna. Dalam kondisi sekarat, oleh upaya seorang perempuan kulit hitam bisu yang pernah diajarinya membaca dan menulis, ia dibawa ke Washington dan dirawat di Rumah Sakit Blank.

Di rumah sakit ini, ia bertemu untuk ketiga kalinya dengan Grace, yang seperti anjurannya saat terakhir bertemu, telah menjadi perawat. Pada saat inilah, Marmee meninggalkan Concord, menemuinya dan mendapati laki-laki yang ia cintai menyimpan sejumlah kebenaran dari dirinya. Selain itu, Marmee mesti menghadapi lelaki dengan segebung rasa bersalah untuk segala hal yang telah terjadi dalam peperangan, untuk segala korban yang berjatuhan, untuk segala ketidakmampuannya menolong mereka. Usaha Marmee untuk menarik suaminya ke dalam perspektifnya tidak berhasil hingga ia harus kembali ke Concord. 

Bagi Kapten March, "Pekerjaanku masih belum selesai. Upayaku sepanjang tahun terakhir, semuanya menghasilkan buah busuk. Banyak orang tak bersalah yang mati gara-gara aku. Banyak orang diseret kembali ke perbudakan. Aku tidak bisa pulang –ke kenyamanan dan kedamaian- sampai aku menebus kehilangan yang kuakibatkan" (hlm. 371) Dan ia memutuskan, tidak akan kembali ke Concord, ke istrinya, dan juga anak-anak gadisnya. Ia mesti melewati jalan penebusan, yang sesuai dengan keyakinan moralnya dan idealismenya. 

Tapi tentu saja, keputusannya ini mengalami perubahan. Karena bagaimanapun juga, Geraldine tidak bisa melenceng dari alur cerita yang telah digoreskan Louisa May Alcott dalam Little Women. Jadi Kapten March tetap kembali kepada keluarganya (dengan sendirinya, pengungkapan ini tidak bisa disebut spoiler). Yang menjadi pertanyaan adalah apa yang menyebabkan Kapten March memutuskan kembali ke rumahnya. Jawabannya diungkapkan secara indah dan menyentuh di penghujung bab ke-18, Limpahan Berkah (hlm. 385 – 389).

Ketika sesaat lagi ia melangkah masuk rumahnya di Concord, sebuah keraguan menghentaknya, katanya: "Namun, ada langkah yang lebih menyita tenaga daripada yang lain. Saat aku menapakkan kaki di jalan menuju rumah cokelat kecil itu, aku merasa seperti penipu gadungan. Tentunya aku tak punya urusan di sini. Ini rumah milik seorang pria lain. Pria yang kuingat. Pria yang memiliki kepastian moral, sedikit kearifan, yang disebut pemberani oleh banyak orang. Bagaimana aku bisa berpura-pura menjadi pria itu? Karena aku adalah orang bodoh, pengecut, tak yakin tentang apa pun." (hlm. 390). Secara fisik, kesehatan Kapten March telah dipulihkan. Namun secara psikis, untuk selamanya, ia telah rusak dan tidak bisa dipulihkan lagi. Pengalaman telah menyengatkan bisa yang akan terus melimbungkannya selama sisa hidupnya. Sehingga katanya kemudian, "Aku menyembunyikan wajah dalam kegelapan yang semakin gulita." (hlm. 395). Tapi seperti Marmee yang membawa lilin, lalu menyulut sumbu lampu semprong untuk menyinari ruangan, kehadiran perempuan yang ia cintai ini, mungkin, akan menerangi kegelapan dalam relung-relung hatinya.

Melalui sosok Kapten March ini, pembaca akan mendapatkan pemahaman bahwa sesungguhnya tidak ada kontribusi yang diberikan sebuah perang, kecuali luka dan derita yang sulit disembuhkan. Inilah cendera mata yang akan selalu mendekam dalam jiwa manusia, sekeras apapun represi yang dilakukan. Sekalipun perang itu meletus demi alasan penegakan hak asasi manusia. Perang, oleh segelintir manusia, memang kerap dimanfaatkan untuk satu tujuan, penghancuran kemanusiaan.

Secara keseluruhan, Geraldine berhasil menuliskan kisah peperangan dan dampaknya terhadap kemanusiaan dengan indah dan halus. Apa yang dituliskan perempuan dalam karya yang memenangkan Pulitzer Prize untuk fiksi tahun 2006 ini, mungkin tidak pernah terbayangkan oleh Nona Alcott. Keindahan yang tercipta berkat konflik moral yang sangat menyentuh dalam kepiawaian menerjemahkan pesona bahasa dan latar kisah membuat novel ini terkesan sangat elegan, dan menempatkannya sebagai novel kelas satu. Jika ada yang mengatakan Louisa May Alcott akan merasa sangat puas dengan karya yang berangkat dari karyanya, hal ini akhirnya sangat bisa dipahami. Geraldine berhasil menarik keluar tokoh Robert March dari posisinya sebagai karakter yang kurang penting dalam Little Women menjadi karakter paling penting dan akhirnya menjadi tokoh yang tak terlupakan. 

Untuk bagian pertama novel yang merupakan bagian terbesar dari dua bagian yang ada, Geraldine menggunakan alur gabungan. Novel dibuka pada 21 Oktober 1861, setelah peperangan di Ball's Bluff, kemudian sambil bergerak maju, menuju Rumah Sakit Blank di Washington, kisah diayun mundur untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa di masa lalu yang memengaruhi kehidupan Kapten March. Selebihnya, yaitu bagian kedua, yang hanya terdiri dari enam bab diceritakan dengan alur maju, karena semua yang dari masa lalu yang perlu diungkapkan telah dipaparkan. Sehingga akhirnya, pembaca bisa menyimpulkan perjalanan kisahnya, diawali saat Kapten March berusia 18 tahun dan berakhir ketika ia berusia 40 tahun. 

Pergantian perspektif dari Kapten March ke Marmee di bagian kedua novel sangat efektif memaparkan gambaran situasi ketika Kapten March sekarat. Penuturan Marmee yang mengartikulasikan rasa frustrasi, kesedihan, dan kebingungan yang ia alami, membuat pembaca bisa mengetahui bahwa dalam pernikahan mereka terdapat hal-hal yang tak terkomunikasikan dengan sempurna. Sebagai contoh tindakan March yang merelakan kekayaannya untuk dipinjam dan ternyata tidak dikembalikan oleh John Brown dalam rangka, katanya, membiayai perjuangan para abolisionis. Atau keputusan March untuk meninggalkan Concord dan keluarganya untuk pergi ke medan perang. Kedua hal ini sesungguhnya ia lakukan untuk mengambil hati Marmee yang terlibat aktif dalam pembelaan budak-budak kulit hitam. Tapi ketika kita membaca suara hati Marmee, kita akan mengetahui bukan itu yang Marmee inginkan.

Untuk edisi Indonesia yang diterbitkan Hikmah, judul asli March dimodifikasi menjadi Kapten March. Sebuah tindakan yang pas mengingat sebelum novel ini, di dunia perbukuan kita telah beredar The March karya E. L. Doctorow (Q-Press). Kendati judul kedua buku ini memiliki maksud yang jelas-jelas berbeda, kemungkinan ada pembaca yang bingung membedakannya. Apalagi The March juga mengusung kisah dari Perang Saudara Amerika Serikat.

Ada satu paragraf yang membekas dalam hati saya dalam novel ini, yaitu ketika Grace Clement mencoba membangkitkan kembali gairah kehidupan Robert March yang hampir musnah. Memang kata-katanya ini tidak segera diterima oleh sang kapten, tapi keindahannya tetap terasa bergaung.

"Aku tidak meminta pengampunanmu. Aku hanya memintamu melihat bahwa hanya ada satu hal yang harus dilakukan saat kita jatuh, dan itu adalah bangkit, dan melanjutkan hidup yang terbentang di hadapan, dan berusaha berbuat baik yang mampu dilakukan tangan kita, untuk orang-orang yang kita temui dalam perjalanan itu. Setidaknya, itulah jalan yang kutapaki." (hlm. 388).   

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan