Judul Buku: Paranoid
Diterjemahkan dari : Die Taube
Penulis: Patrick Süskind
Penerjemah: Bima Sudiarto
Tebal: 224 hlm; 11 X 18 cm
Cetakan: 1, Mei 2007
Penerbit: Dastan Books
Ketika Merpati Menjadi Lambang Anarki
Patrick Süskind mengukuhkan dirinya sebagai penulis novel dengan reputasi internasional melalui novel fenomenalnya yang berjudul Das Parfum: Die Geschichte eines Mörders (Perfume: The Story of a Murderer, 1985). Setelah Perfume, pengarang yang juga telah menulis drama, esai, dan skenario film ini menulis novela berjudul Die Taube (The Pigeon, 1987), novel berjudul Die Geschichte von Herrn Sommer (The Story of Mr. Sommer, 1991), dan kumpulan cerita Drei Geschichten und eine Betrachtung (Three Stories and a Reflection, 1995). Die Taube diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Dastan Books dengan judul Paranoid (2007). Sebelumnya edisi Indonesia Perfume telah diterbitkan oleh penerbit yang sama.
Sebagaimana dalam Perfume,
tokoh utama dalam novela ini juga merupakan seorang manusia dengan
latar belakang yang kurang beruntung, tumbuh dan memutuskan memiliki
kehidupan yang berjarak dengan masyarakat tempat ia berada.
Kisah Paranoid
menggunakan latar Paris kontemporer, terentang dalam waktu kurang lebih dua puluh empat jam, sejak Jumat pagi hingga Sabtu pagi pada suatu waktu di bulan
Agustus 1984. Jonathan Noel, 53 tahun, telah menjadi satpam sebuah bank
selama 30 tahun. Ia datang ke Paris dari Cavaillon pada tahun 1954
sesungguhnya bukan bertujuan mengubah hidup. Tapi melarikan diri dari
perhatian orang sekampung lantaran kehidupannya yang antisosial.
Pekerjaan
sebagai satpam bank membuat ia bisa hidup berkecukupan. Ia menyewa
sebuah kamar di lantai tujuh sebuah gedung di jalan Planche. Januari
tahun berikutnya, kamar itu mutlak menjadi miliknya. Kamar berukuran
3,35 m X 2,18 m X 2,45 m ini telah memberikannya rasa aman yang ia cari
seumur hidup, memberinya suaka dari kejutan-kejutan yang tidak
menyenangkan dalam hidupnya. Ia sudah memutuskan akan menghabiskan
hidupnya di dalam kamar itu, kendati untuk mencapai kamar tersebut, pada
usia di atas 50-an, terkadang ia kerepotan mendaki banyak anak tangga.
Baginya, kamar nomor 24 ini adalah pulau rasa yang aman di tengah dunia
yang tidak aman.
Hingga
sesuatu terjadi di sebuah Jumat pagi bulan Agustus 1984 saat ia
keluar kamar menuju toilet yang berada di luar kamar. Ada seekor merpati
di depan kamarnya, memelototinya, memberikannya kejutan luar biasa,
kemudian menciptakan rasa takut dalam hatinya. Kehadiran merpati ini
membuat pikirannya bertualang yang akhirnya hanya bermuara pada
intimidasi terhadap dirinya sendiri. Mendadak, merpati, sang lambang
perdamaian, menjadi duri dalam dagingnya:
"Seluruh
hidupmu hanya kebohongan—kaulah yang mengacaukan sendiri, hanya
gara-gara seekor burung dara. Kau harus membunuhnya, tapi tak bisa.
Tidak akan ada yang menyalahkanmu jika kau menembak mati manusia lain.
Tapi seekor merpati? Bagaimana bisa kau menembak seekor merpati? Ia
selalu bergerak ke sana-ke mari, sulit dibidik. Menembak seekor merpati
juga terhitung kekejian di mata masyarakat. Perbuatan ini dilarang.
Senjatamu bisa dilucuti karenanya, lalu kau akan kehilangan pekerjaan
dan bahkan masuk penjara – semua ini akan terjadi kalau kau nekat
menembak merpati. Oh, tidak! Kau tak bisa membunuh makhluk jahanam itu,
tapi kau juga tak tahan akan kehadirannya. Tidak akan pernah! Seorang
manusia tidak akan tahan hidup serumah dengan burung dara. Makhluk itu
adalah lambang kekacauan dan anarki. Merpati yang selalu beterbangan tak
tentu arah, mencakar, mencungkil mata. Merpati yang tak pernah berhenti
buang kotoran, menebar malapetaka, bakteri, serta virus meningitis.
Makhluk amit-amit yang tak bisa diam, tak bisa sendirian karena seekor
merpati selalu mengundang merpati lain, berhubungan seks dan beranak
pinak dengan cepat. Duh! Segerombolan merpati kelak akan menyerbu –kau
tak akan bisa meninggalkan kamarmu lagi." (hlm. 35 – 36).
Pada
saat itulah kedamaian dalam hidupnya yang sebenarnya rapuh terusik.
Kamar kesayangannya, kekasihnya yang tercinta, tidak lagi menjadi pulau
rasa yang aman di dunianya yang tidak aman.
Padahal seperti kata Madame Rocard, pengurus gedung tempat Jonathan Noel tinggal, solusinya sangat sederhana, "Usir saja burung itu dan tutup lagi jendelanya" (hlm.71). Diduga, si merpati masuk melalui jendela di koridor depan kamar Jonathan.
Jonathan
Noel memutuskan untuk tinggal di hotel. Ia keluar dari kamar
menggunakan pakaian musim dingin untuk mencegah persentuhan dalam bentuk
apa pun dengan burung merpati itu. Dalam hatinya terselip harapan
jika burung merpati itu datang ke depan kamarnya hanya untuk mati karena
usianya sudah tua.
Berawal dari kemunculan merpati yang tak diundang, hari Jumat itu menjadi hari yang paling kacau dalam hidup Jonathan Noel setelah 30 tahun dalam zona kenyamanan. Pada akhir hari itu, di sebuah hotel, sehabis makan malam, Jonathan Noel tidur dengan keputusan akan bunuh diri keesokan harinya.
Berawal dari kemunculan merpati yang tak diundang, hari Jumat itu menjadi hari yang paling kacau dalam hidup Jonathan Noel setelah 30 tahun dalam zona kenyamanan. Pada akhir hari itu, di sebuah hotel, sehabis makan malam, Jonathan Noel tidur dengan keputusan akan bunuh diri keesokan harinya.
Sehabis
membaca kisah dalam novela ini, kita segera akan bersetuju jika ada
yang mengomentarinya sebagai kisah psikologis. Seluruh novela memang
menyajikan perjalanan psikologis tokoh utamanya, Jonathan Noel, sejenis
manusia yang menempatkan kebebasan buang hajat sebagai kebebasan paling
utama dalan hidupnya. Dipaksa beranjak dari zona kenyamananya, ia
menghadapi hari yang seakan-akan dengan kejam ingin mengatalisasi
kehancuran rencana yang telah disusun dalam hidupnya. Pekerjaannya
terganggu. Ia merasakan gatal-gatal di sekujur tubuhnya. Pikirannya
merambah ke mana-mana menciptakan teror internal. Ketakutan kian
menggelegak. Seolah belum cukup, celana seragamnya sobek, tidak bisa
segera dijahit, padahal ia masih harus bekerja. Dan seketika, kebencian
kepada dunia meletup hingga daya kebencian itu menjadi batu. Ketika
keputusasaan tak terhindarkan lagi, pada puncaknya, ia memutuskan
mengakhiri hidupnya.
Lucunya,
meski telah memutuskan untuk bunuh diri, Jonathan Noel menunda waktu
untuk melaksanakan niatnya. Yang ia lakukan justru tidur nyenyak tanpa
bergerak. Mau tidak mau, jika ada yang menyebut kisah Jonathan Noel ini
sebagai kisah komedi, kita juga akan bersepakat. Dan hal ini memang
sudah tampak sejak awal. Adakah orang yang benar-benar menganggap
merpati sebagai hewan yang menakutkan? Bukankah merpati yang menjadi
lambang perdamaian itu menempati pikiran manusia sebagai gambaran
kelembutan atau ketulusan? Tapi justru di dalam pikiran Jonathan Noel,
merpati menjadi lambang kekacauan dan anarki. Sebuah pemikiran yang
absurd sekaligus menggelikan, mengingatkan pada keabsurdan (bukan tema)
pencarian aroma dalam Perfume. Aneh, tapi di tangan Patrick Süskind menjadi sebuah kajian yang dalam dan mengasyikkan mengenai pikiran manusia.

Selanjutnya, rangkaian kejadian apa yang telah menjadikan Jonathan Noel seperti dirinya saat ini akan mempertemukan bagian awal dan bagian akhir kisah sekaligus meneguhkan tesis bahwa kejadian di masa lalu seseorang akan mempengaruhi pembentukan kepribadian orang itu di masa depan, apalagi jika kejadian itu bersifat traumatik. Merpati, dalam kisah ini, akhirnya memang tetap kembali pada gambaran merpati yang dipinjam dunia sebagai lambang perdamaian. Karena, kehadiran merpati yang secara aneh bin ajaib ditakuti oleh Jonathan Noel yang notabene adalah mantan tentara, justru menciptakan jembatan perdamaian. Bukan hanya antara Jonathan Noel dengan dirinya sendiri, tapi juga dengan dunia tempat ia eksis. Sedangkan pesan yang hendak disampaikan oleh penulis kepada pembaca sangat jelas yakni bagaimanapun sanggupnya seseorang menghidupi dirinya sendiri sehingga seakan-akan tidak membutuhkan orang lain dalam hidupnya, orang itu tetap tidak bisa lepas dari aturan yang telah ada sejak manusia diciptakan: tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa orang lain.
Edisi Indonesia ini diterjemahkan secara menarik sebagaimana novel perdana Süskind, Das Parfum. Hasil terjemahan yang enak dibaca membuat novela yang telah diadaptasi menjadi naskah panggung ini semakin cocok sebagai bacaan yang habis dibaca pada satu kesempatan baca. Apalagi, untuk edisi Indonesia ini naskah dicetak menggunakan ukuran huruf yang tidak melelahkan mata.
Berbicara mengenai kemasan bukunya sendiri, Paranoid terkesan sangat menarik dengan gambar sampul yang elegan menggunakan kombinasi warna yang segar. Tapi, kendati sangat menarik, terus terang saya kurang bisa memahami filosofi yang melekat pada gambar tiga sosok berpenampilan modis, membawa payung, dengan topi-topi di atas tubuh tanpa kepala itu. Paling tidak, jika dihubungkan dengan isi buku.
Mesti diakui, Paranoid adalah sebuah novela yang memikat, apalagi bagi pembaca yang menggemari fiksi bermuatan perjalanan psikologis manusia yang kompleks. Bagi pembaca yang pernah menikmati Perfume, mungkin sekali lagi akan mendapatkan gedoran psikis yang mengesankan. Tapi melihat isinya, dari segi karakterisasi dan plot, mungkin juga akan merasa jika Perfume jauh lebih menarik. Akhirnya memang berpulang pada bentuk fiksi yang digunakan sang penulis. Perfume adalah sebuah novel dengan kisah yang menghabiskan waktu yang panjang, sehingga percabangan alur dan konflik leluasa terjadi, sedangkan Paranoid adalah sebuah novela yang hanya menyampaikan insiden yang terjadi pada suatu waktu yang singkat dalam kehidupan karakter utamanya.
0 comments:
Post a Comment