Judul Buku : Middlesex
Penulis: Jeffrey Eugenides
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Cetakan: 1, Juni 2007
Tebal: 812 hlm; 15 X 23 cm
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta
Memoar Fiktif Seorang Hermafrodit
Nyanyikanlah sekarang, oh Muse, tentang mutasi resesif kromosom kelimaku! Nyanyikanlah tentang kejadian dua setengah abad yang lalu, di puncak gunung Olympia, sementara kambing mengembik dan buah-buah zaitun berguguran. Nyanyikanlah tentang bagaimana kromosom kelima bertahan melewati sembilan generasi, berkumpul tanpa terlibat di dalam kolam tercemar keluarga Stephanides. Dan nyanyikanlah tentang bagaimana Sang Maha Kuasa, dalam penyamaran pembantaian, sekali lagi menerbangkan gen ini; meniupnya seperti benih melintasi lautan menuju Amerika, membiarkannya turun bersama hujan yang terpolusi dan jatuh ke tanah yang subur di dalam rahim midwestern ibuku (hlm. 16 -17)
Demikianlah
rangkaian kalimat indah yang dipahat sang pemahat kata-kata, Jeffrey
Eugenides, ketika memutuskan karakter utama dalam novel ini, Calliope
Stephanides, menceritakan riwayat hidupnya sebagai produk keruwetan
masalah genetika. Jika disimak teliti kalimat sok bergaya Homer di atas
-seperti pengakuan si karakter, secara ringkas dan tepat menggambarkan
seluruh isi buku yang terbitan Indonesianya mencapai 800-an halaman
dengan ukuran 15 X 23 cm.
Adalah
Cal Stephanides, 41 tahun, seorang pegawai Departemen Luar Negeri AS di
Berlin dan tercatat sebagai laki-laki seperti pada SIM terbaru miliknya
yang dikeluarkan Republik Federal Jerman. Laki-laki, tapi tidak
memiliki penis sebagaimana laki-laki normal lainnya. Stop sejenak. Saya
beri tahu, meski saya menyinggung soal genital, tapi saya tidak sedang
menceritakan kisah porno.
Ada apa dengan klarinet? (baca aja sendiri)
Lanjut.
Laki-laki
tapi tidak memiliki penis? Anda pasti bertanya. Benar. Secara genetis
Cal adalah laki-laki karena tubuhnya memiliki kromosom X dan Y dengan
level testosteron yang tinggi. Tapi organ yang seharusnya penis tidak
tumbuh layaknya sebuah penis, hypospadiac -kondisi abnormal pada
penis di mana uretra terbuka di permukaan bagian bawahnya. 'Penis' ini
lebih tampak sebagai setangkai klitoris, tapi lebih besar dari umumnya
klitoris. Cal terlahir dengan sindrom kekurangan enzim 5-alpha-reductase
yang menyebabkan tubuhnya tidak memproduksi dihidrotestosteron. Selama
berada di rahim, ia mengalami perkembangan kelamin perempuan seperti
pada umumnya, terutama alat kelamin eksternalnya. Ketika masa puber,
testosteron menjeritkan hak-haknya yang tidak bisa ditangguhkan lagi,
sehingga tumbuh setangkai organ testikular yang mengukuhkan Cal sebagai
seorang hermafrodit.
"Aku
terlahir dua kali: pertama, sebagai seorang bayi perempuan, pada hari
tanpa kabut di Detroit, Januari 1960; lalu sekali lagi, sebagai seorang
remaja laki-laki, di sebuah ruang gawat darurat di dekat Petoskey,
Michigan, pada Agustus 1974," demikian kata Cal (hlm. 15).
Maka
begitu lahir, Cal dibesarkan sebagai anak perempuan sembari menyandang
nama yang indah, Calliope Helen Stephanides. Cal, menjadi gadis cilik
nan cantik yang memikat siapa saja. Namun, ketika ia menanjak remaja, ia
mulai merasakan keanehan yang terpatri di tubuh dan jiwanya. Ia tidak
mengalami menstruasi seperti teman-teman perempuannya. Ia jatuh cinta
kepada seorang gadis, teman sekolahnya. Pada titik ini, dirinya tampak
sebagai seorang lesbian.
Sebuah
kecelakaan yang mendamparkannya di sebuah ruang gawat darurat sebuah
rumah sakit membuka misteri yang, secara pribadi, sebagai pemilik tubuh,
tidak ia pahami.
Begitu mengetahui jika secara kromosom ia adalah lelaki dan abnormal -dalam kamus Webster, berkisar pada kata hypospadias – eunuch – hermaphrodite,
kemudian MONSTER, dan akan dibedah kosmetik supaya tampil layaknya
seorang perempuan, ia meninggalkan orang tuanya. Ia luntang-lantung di
berbagai kota di Amerika hingga terperangkap di Sixty-Niners, sebuah
kelab di San Francisco yang dikelola seorang germo untuk segmen
manusia-manusia aneh. Saat keadaan memaksanya kembali ke rumah, ia bukan
lagi Calliope, tapi Cal. Laki-laki, bukan perempuan.
Terlepas
dari masalah kelamin ganda, perjalanan Cal sejak mengetahui identitas
gendernya, melarikan diri, hingga kembali ke rumahnya, secara tematik
bukanlah kisah yang baru. Tapi untuk kasus Cal, kisah perjalanannya
hadir dengan sangat menyentuh. Tidak ada manusia yang diberi kesempatan
memilih jadi apa dirinya ketika dilahirkan di dunia.
Yang
mengharukan, setelah mencoba melarikan diri, ia sadar, ia tidak bisa
mengubah apa yang telah ada. Ia mesti menerima siapa dirinya termasuk
kesemrawutan genetikanya dan meyakinkan diri bahwa meski bertentangan dengan segala pendapat masyarakat, jenis kelamin ternyata tidak terlalu penting (hlm. 747). Pemahaman kehidupan yang ia susur membuat ia berkata (hlm. 807), "Aku menyukai kehidupanku. Aku akan hidup bahagia."
Pembaca normal yang berempati tentu akan merasakan betapa perkasanya
kata-kata optimis ini mengingat untuk seterusnya Cal tidak akan pernah
mengalami nikmatnya menjadi laki-laki 'normal' (baca: laki-laki dengan
penis).
Yang
perlu dicatat di sini, novel ini tidak sekedar mengemukakan
abnormalitas gender dan bagaimana si 'korban' mengatasi gegar
kepribadian yang ia alami begitu mengetahui identitas gendernya (saya
yakin siapa pun di antara kita yang mengalami nasib yang sama akan
mengalami gegar yang kurang lebih sama). Meski digambarkan secara kuat,
hal ini tidak merenggut bagian terbesar novel. Bagian terbesar novel
digenggam oleh sejarah keluarga Stephanides. Untuk menjelaskan latar
belakang mutasi genetika pada Calliope, Jeffrey Eugenides mengayun
langkah mundur, membelek perjalanan kehidupan keluarga Stephanides yang
bermula di sebuah desa kecil di Asia Minor, ketika Perang Yunani-Turki
(Ottoman) merebak.
Dari
desa kecil di Asia Minor, sejarah keluarga Stephanides menggelinding ke
Amerika Serikat, ke Detroit, membaur dalam hiruk-pikuk geliat industri
Amerika Serikat, tumbuh kembang melalui tiga generasi. Dalam sejarah
keluarga yang dikelola secara penuh pesona dan jenaka, terkuak misteri
mutasi genetika yang kemudian memutuskan memamerkan eksistensinya dalam
diri Calliope, ketika pembuahan terjadi pada musim semi tahun 1959.
Middlesex
dalam buku ini adalah nama rumah tempat tinggal keluarga Stephanides di
Detroit yang terletak di Middlesex Boulevard, Grosse Pointe. Tapi Middlesex yang
digunakan sebagai judul buku juga menggambarkan keberadaan Calliope
yang berkelamin ganda atau hermafrodit atau interseks, 'gender ketiga'
sebagaimana disebutkan dalam tulisan Karl Heinrich Ulrichs pada tahun
1860 di Jerman yang dibaca Calliope.
Tak pelak lagi, Middlesex,
hadir bak memoar dari seorang Calliope Stephanides. Tapi, tentu saja,
bukan memoar umumnya yang kerap tanpa gizi dan membosankan untuk
ditelusuri. Novel ini justru terkesan kaya raya, berlapis-lapis, juga
liar, penuh energi, kocak, dan tentu saja, indah. Semua tersaji lengkap:
karakter yang hidup, plot yang terarah dengan konflik, benturan, dan
kejutan yang telah dipersiapkan untuk dihadirkan di tengah pergumulan
hidup seorang interseks dalam bingkai kasih sayang kedua orang tuanya.
Tidak heran, untuk novel yang sangat imajinatif ini, Jeffrey Eugenides,
mendapatkan penghargaan prestius, Pulitzer Prize untuk fiksi, pada tahun
2003.
Novel
ini dirangkai dalam 4 bagian besar, yang terdiri atas 28 bab dengan
judul-judul bab yang menarik. Sebagai narator, Eugenides menggunakan
orang pertama, yaitu Cal atau Calliope. Penggunaaan sudut pandang orang
pertama ini terasa sangat efektif karena dengan mudah membuat pembaca
memahami bagaimana rasa frustrasi dan kebingungan yang dialami tokoh
utamanya.
Yang
berpotensi menimbulkan kejanggalan adalah penggunaan sudut padang orang
pertama, tapi naratornya maha tahu. Dalam novel ini, Cal menjadi
narator jenis ini. Ia tidak saja fasih mengisahkan pengalaman hidupnya,
tapi juga pengalaman, perasaan, dan pikiran tokoh-tokoh lain.
Tapi
dengan caranya sendiri, entah kenapa Eugenides seakan-akan bisa
menghindar dari situasi janggal yang ditimbulkan oleh penggunaan orang
pertama maha tahu ini. Mungkin hal ini bisa disebut sebagai salah satu
keistimewaannya sebagai penulis.
Satu
pesan yang sangat terang-benderang dalam novel yang dikerjakan dalam
kurun waktu sembilan tahun ini adalah waspada dengan pernikahan atau
hubungan seksual sedarah, kendati, misalnya, tradisi membolehkan.
Bagaikan suatu penyakit genetis, dampak buruknya mungkin tidak akan
kelihatan dalam waktu dekat. Tapi pada saat pengeraman tiba, ia akan
menetas meneriakkan kehadirannya yang tidak bisa ditolak. Apa pun yang dilupakan oleh manusia tetap diingat oleh sel mereka. Tubuh mereka, seperti gajah....(hlm. 164). (Konon, gajah adalah hewan yang tidak pernah lupa meski sesuatu yang menimpanya telah sekian lama terjadi).
Middlesex
edisi Indonesia yang penerjemahannya dikerjakan Berliani M. Nugrahani
tergolong enak dibaca. Meski edisi Indonesia terbitan Serambi ini hadir
dalam 800-an halaman dan terkesan sangat panjang tapi tetap bisa diikuti
dengan lancar. Pembaca masih bisa menikmati semburan humor Eugenides
yang dibungkus dalam kalimat-kalimat yang cerdas dengan mengabaikan
beberapa kesalahan cetak yang ada.
Sebelum Middlesex, novelis dan cerpenis kelahiran Detroit, Michigan, 13 April 1960 ini telah membukukan novel pertamanya yang berjudul The Virgin Suicides (1993). Novel ini telah difilmkan oleh Sofia Coppola menggunakan judul yang sama.
0 comments:
Post a Comment