11 February 2012

Middlesex


Judul Buku : Middlesex
Penulis: Jeffrey Eugenides
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Cetakan: 1, Juni 2007
Tebal: 812 hlm; 15 X 23 cm
Penerbit: PT Serambi Ilmu Semesta



Memoar Fiktif Seorang Hermafrodit



Nyanyikanlah sekarang, oh Muse, tentang mutasi resesif kromosom kelimaku! Nyanyikanlah tentang kejadian dua setengah abad yang lalu, di puncak gunung Olympia, sementara kambing mengembik dan buah-buah zaitun berguguran. Nyanyikanlah tentang bagaimana kromosom kelima bertahan melewati sembilan generasi, berkumpul tanpa terlibat di dalam kolam tercemar keluarga Stephanides. Dan nyanyikanlah tentang bagaimana Sang Maha Kuasa, dalam penyamaran pembantaian, sekali lagi menerbangkan gen ini; meniupnya seperti benih melintasi lautan menuju Amerika, membiarkannya turun bersama hujan yang terpolusi dan jatuh ke tanah yang subur di dalam rahim midwestern ibuku (hlm. 16 -17)


Demikianlah rangkaian kalimat indah yang dipahat sang pemahat kata-kata, Jeffrey Eugenides, ketika memutuskan karakter utama dalam novel ini, Calliope Stephanides, menceritakan riwayat hidupnya sebagai produk keruwetan masalah genetika. Jika disimak teliti kalimat sok bergaya Homer di atas -seperti pengakuan si karakter, secara ringkas dan tepat menggambarkan seluruh isi buku yang terbitan Indonesianya mencapai 800-an halaman dengan ukuran 15 X 23 cm.

Adalah Cal Stephanides, 41 tahun, seorang pegawai Departemen Luar Negeri AS di Berlin dan tercatat sebagai laki-laki seperti pada SIM terbaru miliknya yang dikeluarkan Republik Federal Jerman. Laki-laki, tapi tidak memiliki penis sebagaimana laki-laki normal lainnya. Stop sejenak. Saya beri tahu, meski saya menyinggung soal genital, tapi saya tidak sedang menceritakan kisah porno.

 Ada apa dengan klarinet? (baca aja sendiri)


Lanjut. 

Laki-laki tapi tidak memiliki penis? Anda pasti bertanya. Benar. Secara genetis Cal adalah laki-laki karena tubuhnya memiliki kromosom X dan Y dengan level testosteron yang tinggi. Tapi organ yang seharusnya penis tidak tumbuh layaknya sebuah penis, hypospadiac -kondisi abnormal pada penis di mana uretra terbuka di permukaan bagian bawahnya. 'Penis' ini lebih tampak sebagai setangkai klitoris, tapi lebih besar dari umumnya klitoris. Cal terlahir dengan sindrom kekurangan enzim 5-alpha-reductase yang menyebabkan tubuhnya tidak memproduksi dihidrotestosteron. Selama berada di rahim, ia mengalami perkembangan kelamin perempuan seperti pada umumnya, terutama alat kelamin eksternalnya. Ketika masa puber, testosteron menjeritkan hak-haknya yang tidak bisa ditangguhkan lagi, sehingga tumbuh setangkai organ testikular yang mengukuhkan Cal sebagai seorang hermafrodit. 

"Aku terlahir dua kali: pertama, sebagai seorang bayi perempuan, pada hari tanpa kabut di Detroit, Januari 1960; lalu sekali lagi, sebagai seorang remaja laki-laki, di sebuah ruang gawat darurat di dekat Petoskey, Michigan, pada Agustus 1974," demikian kata Cal (hlm. 15). 

Maka begitu lahir, Cal dibesarkan sebagai anak perempuan sembari menyandang nama yang indah, Calliope Helen Stephanides. Cal, menjadi gadis cilik nan cantik yang memikat siapa saja. Namun, ketika ia menanjak remaja, ia mulai merasakan keanehan yang terpatri di tubuh dan jiwanya. Ia tidak mengalami menstruasi seperti teman-teman perempuannya. Ia jatuh cinta kepada seorang gadis, teman sekolahnya. Pada titik ini, dirinya tampak sebagai seorang lesbian.

Sebuah kecelakaan yang mendamparkannya di sebuah ruang gawat darurat sebuah rumah sakit membuka misteri yang, secara pribadi, sebagai pemilik tubuh, tidak ia pahami. 

Begitu mengetahui jika secara kromosom ia adalah lelaki dan abnormal -dalam kamus Webster, berkisar pada kata hypospadiaseunuchhermaphrodite, kemudian MONSTER, dan akan dibedah kosmetik supaya tampil layaknya seorang perempuan, ia meninggalkan orang tuanya. Ia luntang-lantung di berbagai kota di Amerika hingga terperangkap di Sixty-Niners, sebuah kelab di San Francisco yang dikelola seorang germo untuk segmen manusia-manusia aneh. Saat keadaan memaksanya kembali ke rumah, ia bukan lagi Calliope, tapi Cal. Laki-laki, bukan perempuan.

Terlepas dari masalah kelamin ganda, perjalanan Cal sejak mengetahui identitas gendernya, melarikan diri, hingga kembali ke rumahnya, secara tematik bukanlah kisah yang baru. Tapi untuk kasus Cal, kisah perjalanannya hadir dengan sangat menyentuh. Tidak ada manusia yang diberi kesempatan memilih jadi apa dirinya ketika dilahirkan di dunia. 

Yang mengharukan, setelah mencoba melarikan diri, ia sadar, ia tidak bisa mengubah apa yang telah ada. Ia mesti menerima siapa dirinya termasuk kesemrawutan genetikanya dan meyakinkan diri bahwa meski bertentangan dengan segala pendapat masyarakat, jenis kelamin ternyata tidak terlalu penting (hlm. 747). Pemahaman kehidupan yang ia susur membuat ia berkata (hlm. 807), "Aku menyukai kehidupanku. Aku akan hidup bahagia." Pembaca normal yang berempati tentu akan merasakan betapa perkasanya kata-kata optimis ini mengingat untuk seterusnya Cal tidak akan pernah mengalami nikmatnya menjadi laki-laki 'normal' (baca: laki-laki dengan penis). 

Yang perlu dicatat di sini, novel ini tidak sekedar mengemukakan abnormalitas gender dan bagaimana si 'korban' mengatasi gegar kepribadian yang ia alami begitu mengetahui identitas gendernya (saya yakin siapa pun di antara kita yang mengalami nasib yang sama akan mengalami gegar yang kurang lebih sama). Meski digambarkan secara kuat, hal ini tidak merenggut bagian terbesar novel. Bagian terbesar novel digenggam oleh sejarah keluarga Stephanides. Untuk menjelaskan latar belakang mutasi genetika pada Calliope, Jeffrey Eugenides mengayun langkah mundur, membelek perjalanan kehidupan keluarga Stephanides yang bermula di sebuah desa kecil di Asia Minor, ketika Perang Yunani-Turki (Ottoman) merebak. 

Dari desa kecil di Asia Minor, sejarah keluarga Stephanides menggelinding ke Amerika Serikat, ke Detroit, membaur dalam hiruk-pikuk geliat industri Amerika Serikat, tumbuh kembang melalui tiga generasi. Dalam sejarah keluarga yang dikelola secara penuh pesona dan jenaka, terkuak misteri mutasi genetika yang kemudian memutuskan memamerkan eksistensinya dalam diri Calliope, ketika pembuahan terjadi pada musim semi tahun 1959. 

Middlesex dalam buku ini adalah nama rumah tempat tinggal keluarga Stephanides di Detroit yang terletak di Middlesex Boulevard, Grosse Pointe. Tapi Middlesex yang digunakan sebagai judul buku juga menggambarkan keberadaan Calliope yang berkelamin ganda atau hermafrodit atau interseks, 'gender ketiga' sebagaimana disebutkan dalam tulisan Karl Heinrich Ulrichs pada tahun 1860 di Jerman yang dibaca Calliope. 

Tak pelak lagi, Middlesex, hadir bak memoar dari seorang Calliope Stephanides. Tapi, tentu saja, bukan memoar umumnya yang kerap tanpa gizi dan membosankan untuk ditelusuri. Novel ini justru terkesan kaya raya, berlapis-lapis, juga liar, penuh energi, kocak, dan tentu saja, indah. Semua tersaji lengkap: karakter yang hidup, plot yang terarah dengan konflik, benturan, dan kejutan yang telah dipersiapkan untuk dihadirkan di tengah pergumulan hidup seorang interseks dalam bingkai kasih sayang kedua orang tuanya. Tidak heran, untuk novel yang sangat imajinatif ini, Jeffrey Eugenides, mendapatkan penghargaan prestius, Pulitzer Prize untuk fiksi, pada tahun 2003.

Novel ini dirangkai dalam 4 bagian besar, yang terdiri atas 28 bab dengan judul-judul bab yang menarik. Sebagai narator, Eugenides menggunakan orang pertama, yaitu Cal atau Calliope. Penggunaaan sudut pandang orang pertama ini terasa sangat efektif karena dengan mudah membuat pembaca memahami bagaimana rasa frustrasi dan kebingungan yang dialami tokoh utamanya.

Yang berpotensi menimbulkan kejanggalan adalah penggunaan sudut padang orang pertama, tapi naratornya maha tahu. Dalam novel ini, Cal menjadi narator jenis ini. Ia tidak saja fasih mengisahkan pengalaman hidupnya, tapi juga pengalaman, perasaan, dan pikiran tokoh-tokoh lain. 

Tapi dengan caranya sendiri, entah kenapa Eugenides seakan-akan bisa menghindar dari situasi janggal yang ditimbulkan oleh penggunaan orang pertama maha tahu ini. Mungkin hal ini bisa disebut sebagai salah satu keistimewaannya sebagai penulis. 

Satu pesan yang sangat terang-benderang dalam novel yang dikerjakan dalam kurun waktu sembilan tahun ini adalah waspada dengan pernikahan atau hubungan seksual sedarah, kendati, misalnya, tradisi membolehkan. Bagaikan suatu penyakit genetis, dampak buruknya mungkin tidak akan kelihatan dalam waktu dekat. Tapi pada saat pengeraman tiba, ia akan menetas meneriakkan kehadirannya yang tidak bisa ditolak. Apa pun yang dilupakan oleh manusia tetap diingat oleh sel mereka. Tubuh mereka, seperti gajah....(hlm. 164). (Konon, gajah adalah hewan yang tidak pernah lupa meski sesuatu yang menimpanya telah sekian lama terjadi).

Middlesex edisi Indonesia yang penerjemahannya dikerjakan Berliani M. Nugrahani tergolong enak dibaca. Meski edisi Indonesia terbitan Serambi ini hadir dalam 800-an halaman dan terkesan sangat panjang tapi tetap bisa diikuti dengan lancar. Pembaca masih bisa menikmati semburan humor Eugenides yang dibungkus dalam kalimat-kalimat yang cerdas dengan mengabaikan beberapa kesalahan cetak yang ada. 

Sebelum Middlesex, novelis dan cerpenis kelahiran Detroit, Michigan, 13 April 1960 ini telah membukukan novel pertamanya yang berjudul The Virgin Suicides (1993). Novel ini telah difilmkan oleh Sofia Coppola menggunakan judul yang sama.

0 comments:

Post a Comment

Recommended Post Slide Out For Blogger
 

Blog Template by Blogger.com

Author: Jody Setiawan