Judul Buku: Merah itu Cinta
Penulis: FX Rudy Gunawan
Berdasarkan skenario karya:Nova Riyanti Yusuf
Tebal: iv + 138 hlm; 11,5 x 19 cm
Penulis: FX Rudy Gunawan
Berdasarkan skenario karya:Nova Riyanti Yusuf
Tebal: iv + 138 hlm; 11,5 x 19 cm
Cetakan: I, 2007
Penerbit: GagasMedia
Penerbit: GagasMedia
Merah Semerah Merahnya Merah*)
Menjelang pernikahannya, Raisa kehilangan calon suaminya, Rama. Rama yang baru kembali dari Australia meninggal karena kecelakaan mobil di jalan tol. Peristiwa ini menggoncangkan kehidupan Raisa. Dari apa yang ditinggalkan Rama, Raisa menemukan foto-foto Rama dengan ekspresi bahagia yang diambil seminggu sebelum Rama pulang ke Jakarta.
Di
tengah-tengah kesedihan yang dalam, tiba-tiba muncul Aria, sahabat
Rama, yang sudah lama berdomisili di Australia. Awalnya mereka tidak
bisa berbagi, tapi lama kelamaan, meski cukup rumit, di antara mereka
terjalin pengertian satu sama lain. Raisa kehilangan kekasih, sedangkan
Aria kehilangan sahabat. Hubungan di antara mereka meningkat sampai
suatu malam, mereka akhirnya bercinta.
Namun,
setelah bercinta, Aria justru meninggalkan Raisa, dengan sejumlah
barang, termasuk hadiah yang pernah diberikan Rama untuk Aria.
Demikianlah isi novel Merah itu Cinta, hasil adaptasi FX Rudy Gunawan (FRG, sesuai nama di sampul novel) dari
skenario film racikan Nova Riyanti Yusuf dengan judul yang sama. Novel
ini merupakan adaptasi skenario film produksi Indonesia kesekian yang
diterbitkan oleh GagasMedia. Sampai saat ini, sepertinya, hanya
GagasMedia yang memiliki perhatian yang intens terhadap penerbitan novel
jenis ini. Hampir semua skenario film Indonesia yang dijadikan novel
diterbitkan GagasMedia. Penerbit lain yang juga sempat menerbitkan hasil
novelisasi skenario film adalah penerbit Akoer dengan Biola Tak Berdawai (Seno Gumira Adjidarma) dan Nagabonar Jadi 2 (Akmal Nasery Basral).
Salah
satu hal yang menarik dari penerbitan jenis novel ini adalah penerimaan
pembaca yang cukup baik yang dibuktikan dengan adanya beberapa novel
yang mengalami cetak ulang berkali-kali.
Sayangnya,
dari banyak novel jenis ini, sering ditemukan kelemahan yang umumnya
muncul dari segi penggarapan. Banyak yang digarap secara kurang menarik
dan terkesan asal jadi. Ada beberapa yang bahkan terkesan menjadi novel
hanya dengan penambahan kalimat-kalimat secukupnya.
Penyebab
gagalnya novelisasi skenario film mungkin karena pada dasarnya isi
skenario memang tidak menarik; baik cerita, plot, dan dialog-dialognya.
Tapi juga bisa disebabkan karena adaptatornya tidak memiliki kecakapan
melakukan novelisasi.
Sesungguhnya Merah itu Cinta
memiliki konflik yang cukup menarik, kendati tidak berbelit-belit. Tapi
jika dicermati, skenarionya sendiri sudah lemah. Alur ceritanya irit,
kering, dan kurang menarik. Juga masih ditambah dengan dialog-dialog
yang kurang cerdas dan kurang enak disimak.
Sebagai penulis tentu saja kemampuan FRG tidak diragukan lagi. Ia telah menghasilkan sejumlah karya termasuk novel seperti Mata Yang Malas dan 170.8 FM: Radio Negeri Biru. Ia bahkan telah menghasilkan sejumlah novel adaptasi skenario film seperti Tusuk Jelangkung, Bangsal 13, Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, Mirror, dan Realita Cinta dan Rock n Roll.
Tapi, dari novel ini bisa dilihat bahwa FRG tidak bisa membebaskan diri
dari kungkungan skenario film. Ia sepertinya bersikukuh untuk
benar-benar setia dengan skenario. Alhasil, novel ini menjadi salah satu
novelisasi skenario film yang tidak meyakinkan. Sebuah skenario dengan
pengembangan seperlunya. Bahkan sejak adegan pembuka, novel ini sudah
minus daya tarik.
Jika melihat isi novel, kemungkinan, dalam versi lebih pendek (misalnya cerpen), cerita dalam film ini lebih bisa dialirkan secara padat dan menggigit. Hal ini terkesan dari durasi novel yang memuai dengan adegan-adegan yang pada beberapa tempat dipanjang-panjangkan agar bisa hadir sebagai novel.
Kisah
digulirkan FRG menggunakan dua perspektif. Orang pertama (melalui
perspektif Aria) dan orang ketiga. Pemilihan perspektif orang pertama
jelas hanya untuk membuat cerita tampak beda karena ternyata novel tidak
menjadi berbeda dengan penggunaan teknik ini. Penggunaan perspektif
orang pertama baru muncul secara mendadak pada halaman 65 (dari 135
halaman yang ada). Ini memunculkan kesan jika penggunaan teknik
dilakukan secara agak 'terpaksa'. Akan berbeda kesannya jika FRG telah
memunculkan Aria sejak awal cerita. Bukan hal yang tidak mungkin. Tugas
seorang penulislah untuk menyiasati kehadiran karakter yang ada dan
tetap memosisikan mereka dalam kondisi terkendali. Artinya, jangan
sampai apa yang nanti akan diungkapkan belakangan keburu hadir sebelum
tiba saatnya. FRG bahkan sempat terpeleset ketika beralih dari
perspektif orang ketiga ke orang pertama. Simak pembukaan cerita dari
perspektif orang pertama yang ditulis FRG (hlm. 65):
PERKENALKAN, namaku Aria.
Ya, akulah Aria, sahabat karib Rama sejak kecil yang diceritakan Ibu Rama pada Raisa.
Ya, akulah Aria, sahabat karib Rama sejak kecil yang diceritakan Ibu Rama pada Raisa.
Sebelumnya,
menggunakan perspektif orang ketiga, kepada Raisa, Ibu Rama
menceritakan hubungan persahabatan Aria dan Rama yang terjalin sejak
kecil (hlm. 52 - 53). Meski pembaca tahu karena telah membaca
sebelumnya, apa yang diceritakan Ibu Rama pada Raisa jelas-jelas tidak
diketahui oleh Aria. Jadi, tidak mungkin Aria membuka kisahnya dengan
kalimat seperti di atas.
FRG bisa dikatakan terlalu cepat membuka misteri yang menjadi "jualan" utama Merah itu Cinta.
Hal ini kemungkinan disebabkan karena ia sendiri bingung mengembangkan
cerita yang sudah ada. Mau dikemanakan alurnya sebelum mencapai ending dan
cerita ini bisa tetap dihidangkan kepada pembaca sebagai novel?
Alhasil, surat Aria untuk Raisa di akhir novel tidak memberi efek yang
menggedor. Toh pembaca sudah tahu sebelumnya siapa sebenarnya Aria.
Mungkin,
cerita dalam novel ini, oleh adaptator, bisa dikembangkan lagi.
Misalnya, tidak langsung dibuka dengan kematian Rama. Membaca novel ini,
saya tidak mendapatkan kesan hubungan yang intens antara Rama dan Raisa
yang digambarkan secara hidup. Hubungan cinta mereka diketahui hanya
dari kenangan-kenangan yang muncul setelahnya. Jika percintaan mereka
digarap lebih dalam termasuk kebimbangan Rama, ceritanya akan tampil
lebih menarik.
Selain itu, ada beberapa hal yang menarik untuk dibicarakan.
Pertama,
sewaktu di jalan tol menjelang kematiannya, sebenarnya Rama datang dari
mana? Dari rumahnya yang entah di mana atau dari bandara langsung?
Diceritakan Rama menyetir mobil sendiri. Dari mana dia dapat mobil
seandainya ia langsung dari bandara dan hanya seorang diri?
Kedua,
kemunculan pertama Aria. Aria yang sepertinya menyusul Rama dari
Australia (3 hari setelah Rama pulang?) kok langsung ke rumah Raisa?
"Aku langsung menuju ke rumah Raisa karena kupikir Rama berada di sana saat itu. Rama-lah yang memberikan alamat rumahnya padaku," tulis FRG (hlm. 65). Mengingat hubungan di antara Rama dan Aria,
apakah Aria akan segera ke rumah Raisa begitu tiba di Indonesia?
Bukankah lebih tepat jika Aria datang ke rumah orang tua Rama yang
mengenal Aria dengan baik?
Ketiga,
sebelumnya juga, tidak ada penjelasan untuk apa Rama pergi ke
Australia. Mengunjungi Aria untuk mengatakan bahwa dia akan menikah?
Lalu, untuk apa Aria menyusulnya ke Indonesia? Juga tidak ada
penjelasan. Kemunculan Aria karena kematian sahabatnya, mungkin bisa
jadi alasan yang masuk akal. Hanya, dalam novel dikatakan Aria datang
tanpa tahu sebelumnya kematian Rama. Dia mendapatkan info kematian Rama
dari Fanny, teman serumah Raisa, yang adalah seorang pelacur.
Keempat,
pekerjaan Fanny yang dikisahkan sebagai pelacur terkesan terlalu
dipaksakan. Kenapa juga dia harus diberi pekerjaan sebagai pelacur?
Supaya kisah dalam film (novel) ini lebih provokatif? Apakah dengan
menjadi karyawan sebuah perusahaan, misalnya, cerita lantas menjadi
tidak menarik? Atau hanya supaya adegan Aria jalan-jalan di red districk lebih dari kebetulan yang mengesankan? Padahal, adegan di red districk tidak lebih dari tempelan belaka.
Kelima,
adegan percintaan Aria dan Raisa pada akhir novel perlu mendapatkan
penjelasan yang memadai. Anehnya, ketika hal itu terjadi -kebetulan
dikisahkan oleh Aria sebagai narator orang pertama, disebutkan Aria
sendiri tidak tahu apa yang memicu rangsangan erotis yang berakhir dengan persetubuhan di antara mereka.
Aku bercinta dengan Raisa tadi malam.
Ya, bercinta.
Benar-benar bercinta antara lelaki dan perempuan. Aku tak tahu apa yang merasuki diriku, tetapi jelas ada hasrat yang kurasakan membakarku saat mencumbu Raisa. Aku tak bisa memungkirinya. Ini benar-benar nyata dan memutarbalikkan semua keyakinanku tentang diriku.
Absurd.
Dalam arus putaran yang mengisap diriku ke suatu pusaran aneh, aku merasa diriku lenyap dan musnah (hlm. 133).
Kemudian selanjutnya, "Namun, kondisi itulah yang kemudian memicu keberanianku untuk meninggalkan sebuah surat untuk Raisa," kata Aria (hlm. 133).
Dan dalam surat tersebut, tulis Aria,
"Raisa...
Gue gak tau apa yang ada di pikiran lo sekarang. Mungkin lo jatuh cinta
sama gue. Atau, mungkin, elo mengira gue jatuh cinta sama elo.
Kenyataannya, gue cuma ingin mencari keajaiban. Dan, itu gue dapetin
ketika gue bisa ngerasain Rama di sekujur tubuh elo. Gue pengen
ngerasain sisa-sisa kehadiran Rama di mana pun juga. Termasuk di tubuh
elo." (hlm. 134)
Ini berarti Aria tahu 'apa yang merasuki diri'-nya (atau terlambat tahu?). Selanjutnya ia menulis, "Niat
gue baik, gue pengen elo kembali menjadi diri elo setelah kehilangan
Rama. Karena gue pun berusaha membangkitkan semangat di dalam diri gue
dengan ngehabisin waktu gue dengan elo, " kata Aria (hlm. 134). "Gue
berharap kenyataan gila ini tidak membuat lo shock, tapi justru,
membuat lo kembali menjadi diri sendiri dan bisa menerima kenyataan yang
harus lo hadapi...."
Jadi,
tindakan Aria (baca: penetrasi) atas tubuh Raisa, adalah (termasuk)
sebuah niat baik untuk membuat Raisa kembali menjadi dirinya sendiri?
Alangkah edannya!
Terakhir, soal penggunaan kata merah. Dalam novel ini kita akan menemukan ungkapan-ungkapan 'merah' seperti cinta yang merah, duka yang teramat merah, lebih merah dari merah, merah yang paling merah, merah adalah kebahagiaan dan merah semerah merahnya merah. Bukannya terkesan, saya malah merasa geli membaca ungkapan-ungkapan ini. Yang paling terakhir,
yang bikin saya geli adalah penggunaan kata 'anu' pada halaman 125.
Mungkin karena sampai 4 kali disebutkan. Penggunaan 'alat kelamin',
'kemaluan' atau 'penis' sama sekali bukan berarti tidak sopan. Lagipula,
ketiga kata ini tidak akan menggelikan dipakai jika dibandingkan dengan
kata 'anu' yang diberi tanda petik.
Setelah
usai membaca novel ini, kita akan mengerti, tidak gampang
mengalihwahanakan sebuah skenario film menjadi sebuah novel. Tapi,
sebagai penulis berpengalaman dengan sejumlah novel adaptasi skenario
film, bukankah FX Rudy Gunawan telah sangat mengetahui lubang-lubang
dalam sebuah cerita? Sebagai adaptator, tugasnya sebagai pengarang untuk
menutup lubang-lubang yang ada, meski harus tampil sedikit berbeda
dengan versi filmnya.
Mungkin
Anda akan punya pendapat yang berbeda, dan ini sah-sah saja. Tapi,
tentu saja Anda harus membaca novel ini sebelum mengangsurkan pendapat
Anda.
*) Bagian dari puisi karya Aria. Bisa ditemukan di halaman 67 dan 72.
4 comments:
hay min...
Punya Novel 'merah itu cinta' gak? Kalau ada boleh aku bayarin?
Kalau setuju tolong respon ke email ini ya...
septyanayohanesandesna@gmail.com
hay min...
Punya Novel 'merah itu cinta' gak? Kalau ada boleh aku bayarin?
Kalau setuju tolong respon ke email ini ya...
septyanayohanesandesna@gmail.com
Aku punya novelnya...
Gw malah mikirnya rama n aria is gay!there are a couples,n si raisa gak tau itu 😂😂
Post a Comment