Judul Buku: Demi Allah, Aku Jadi Teroris
Pengarang: Damien Dematra
Tebal: 224 hlm; 14 x 21 cm
Cetakan: 1, Desember 2009
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Menggunakan judul provokatif –Demi Allah, Aku Jadi Teroris, Damien Dematra, sang novelis, tampaknya hendak menggelontor segenap keresahannya atas persangkaan sementara orang bahwa Islam adalah agama kaum teroris. Kendati mengakui keberadaan sejumlah umat yang memilih jalan teroris, secara tegas Damien menyatakan pilihan semacam itu merupakan bentuk kesalahpahaman atas ajaran Islam yang sesungguhnya.
Adalah Prakasa Adipurna, agen anti teroris yang tergabung dalam investigasi pelaku peledakan bom di Majalengka. Abdullah alias Amakrie, si pelaku, tidak mudah dibekuk. Saat menggerebek sebuah rumah di Bogor, Prakasa dan rekan-rekannya hanya menemukan Hamal, seorang lelaki dengan riwayat kasus pemerkosaan. Mereka seolah-olah menghadapi kuldesak hingga gadis bernama Rafa melaporkan kehilangan sahabat sewaktu kuliah kedokteran, Kemala Kurnia. Melihat foto Hamal yang tewas tertembak, Rafa meyakinkan Prakasa jika Hamal adalah lelaki yang mengantar dia dan Kemala mengikuti proses hijrah di sebuah lokasi yang tidak mereka kenal.
Awalnya, Kemala ingin bergabung dengan sebuah tempat pengajian. Atas rekomendasi Rafa, mereka mendatangi tempat pengajian Uztadz Amir. Ternyata di tempat pengajian sudah bergabung gadis-gadis lain. Menurut sang uztadz, kemaksiatan telah banyak terjadi dan penyebabnya adalah ketidakmauan bangsa Indonesia melandaskan diri pada Hukum Allah, yaitu Al-Quran. Padahal, menurut Amir, yang paling ideal adalah hidup di bawah Syariah Islam. Amir mendorong gadis-gadis yang sebenarnya datang untuk mengaji melakukan hijrah ke dalam sebuah negara (negara dalam negara) yang menerapkan hukum Islam secara total. Dalam proses hijrah, para gadis mesti menyetor uang administrasi. "Ini adalah tanggung jawab kalian di depan Allah. Kesungguhan dan keseriusan kalian di depanNya, bukan di depan saya. Keputusan ini bersifat sangat individual, dan kalian tidak dapat membahasnya dengan orang lain mana pun, termasuk orangtua kalian, karena ketidakmengertian berpotensi besar menimbulkan perselisihan," kata Amir (hlm. 92).
Dengan uang yang diwariskan ayahnya, Kemala tidak mengalami kesulitan. Namun tidak dengan Rafa, Basimah, atau Purbani. Demi menjalani proses hijrah, Rafa mencuri kalung emas warisan yang disimpan untuk keperluan mendesak. Purbani menggunakan uang toko elektronik tempatnya bekerja. Basimah melacurkan dirinya. Bagi mereka, seperti yang dipikirkan Kemala dalam perjalanan hijrah, menjadi seorang Muslim yang sungguh-sungguh memang tidak mudah, butuh pengorbanan (hlm. 107). Mereka dibawa dengan mata tertutup lalu mendaraskan janji di hadapan Allah dan saksi untuk setia pada pimpinan 'negara' yang entah siapa. Mereka pun merasa lebih tinggi dan mulia ketimbang orang lain sebelum akhirnya Rafa ketahuan mencuri, Purbani terjerat kasus penggelapan uang, dan Kemala diperkosa secara beranting.
Kemala menemukan dirinya kehilangan segalanya di sebuah camp pelatihan teroris yang dipimpin Kiai Gadil. Apa yang dikatakan Hamal saat sedang menggagahinya terus terngiang: "Percayalah padaku. Pengorbanan kecil ini akan memberikanmu kekuatan di kemudian hari. " (hlm. 120). Dalam kondisi terpuruk Kemala tidak bisa pulang dan tidak bisa meneruskan kuliah. Tidak ada jalan lain, ia menjadi bagian dari kelompok teroris Kiai Gadil. Ia mengikuti pelatihan, dari kungfu hingga menggunakan granat dan menembak menggunakan senjata laras panjang. Setiap hari ia dijejali tayangan film yang menggambarkan kezaliman yang melanda kaum Muslimin. Maka tak terelakkan lagi, Kemala diyakinkan bahwa ia harus membalas, harus melakukan jihad, bahkan mengorbankan diri jika perlu. Berbulan-bulan latihan, Kemala yang lembut menghilang berganti wanita dengan kepribadian militan. Tibalah saat baginya untuk melaksanakan tugas suci, meledakkan Bistro Americana, sebuah kafe orang kafir yang dipenuhi kemaksiatan. Kemala tidak peduli lagi walaupun untuk itu ia harus menjadi penari merangkap pelacur.
Di Bistro Americana lah Prakasa menemukan kecantikan berselubung cadar tipis putih perempuan bernama komersial Kassandra. Hingga dewasa, Prakasa bersikukuh menghindari romansa dengan wanita. Memang bukan gay, tetapi ucapan ayahnya –Setiawan Adipurna- yang ia dengar pada malam kematian ibunya selalu terngiang: "Jangan pernah terlibat cinta, Nak. Cinta itu panas dan seperti bara api. Sulit padam, tapi mudah tersulut. Sekali kau terbakar, tidak pernah ada jalan untuk kembali." (hlm. 12). Prakasa tidak bisa mengingkari, terlahir dari sebuah keluarga disfungsional telah membuatnya enggan mempermisikan cinta memasuki hidupnya. Perjumpaan dengan Kemala mengguncang keengganan yang dipeluknya sejak masa kecil itu. Sayangnya, perempuan yang menggugah cintanya telah bertekad bahwa ia, "...siap melakukan apa saja demi Allah. Apa pun itu. Apalagi hanya mati." (hlm. 192).
Novel ini menjadi kritik Damien Dematra atas pihak-pihak yang terlibat dalam dunia terorisme: mengatasnamakan Islam tetapi tidak berperilaku selayaknya orang Islam. Sama sekali apa yang dilakukan Damien tidak dimaksudkan mendiskreditkan Islam. Justru dalam keterbukaannya, termasuk saat mendedahkan praktik-praktik menghalalkan segala cara dunia terorisme, ia mengajak sesama Muslim untuk berpikir keluar tempurung yang selama ini mungkin telah mempersempit cakrawala berpikir. "Apa pun yang terjadi di sekitar kita, bukan hak kita untuk mencabut nyawa manusia. Kita tidak memiliki hak untuk menggantikan posisi Tuhan, menjadi hakim sekaligus eksekutor hidup dan mati sesama. Siapa pun dia. Tidak pernah ada yang melantik manusia untuk mendapatkan jabatan itu," demikian pemikiran Damien yang dituangkan lewat Prakasa (209). Untuk dalih melakukan tindakan terorisme demi Allah, Damien menulis, "Allah tidak perlu dibela. Ia terlalu besar dan terlalu kuat untuk kita bela. Ia adalah Allah kita. Pencipta seluruh alam semesta ini." (seorang uztadz, hlm. 211).
Novel ini juga mewanti-wanti pembaca untuk berhati-hati merespons ajakan tertentu tanpa mengetahui dengan baik atau mendapatkan konfirmasi sebelumnya dari banyak 'guru'. Kemala menjadi korban kepercayaan membabi buta yang diletakkan hanya pada satu 'guru' saja. Untuk menggugah kesadaran pembaca, Damien memilih memberikan Kemala jalan pulang: menyadari kesalahannya dan kembali pada satu keyakinan bahwa Islam adalah agama yang damai (hlm. 213). Menurut Prof. Dr. Sarlito W. Sarwono (hlm. 233), radikalisme bagaikan narkoba; sekali terlibat, sulit keluar lagi. Akibatnya, rehabilitasi keyakinan Kemala yang terkesan bergegas berpotensi meragukan sejumlah pembaca.
Agar apa yang mau disampaikan tidak menjadi rumit, untuk novel yang sebagian besarnya beralur kilas balik ini, Damien menggunakan bahasa yang didominasi gaya anak muda. Hasilnya, novel ini cukup enak dibaca meskipun terasa kurang pas ketika salah satu rekan Prakasa, agen anti teror, berteriak, "Please deh!" (hlm. 180).
Novel ini akan tampil lebih bersinar jika disunting lagi. Di banyak tempat, terasa bagaikan bertemu semak-semak yang perlu disiangi. Halaman 69 misalnya memuat kalimat: "Kemala menatap Kemala...." Belum lagi penggunaan kata keterangan 'dengan' yang terlalu banyak padahal tidak perlu. Sartika menatap Setiawan dengan tidak percaya (hlm. 11). Setiawan dengan terperanjat menatap ke arah anaknya (hlm. 12). Prakasa yang masih berdiri dengan gemetar di sudut dapur (hlm. 12). Prakasa menatap ayahnya dengan kebingungan (hlm. 13). Sahul, seorang anak dengan wajah cokelat (hlm. 14). Abimanyu menatap Sartoyo dengan terkejut (hlm. 26). Untuk hal ini, Damien mungkin perlu belajar dari memoar dan pelajaran menulis Stephen King: On Writing (2000).
Mungkin karena ditulis berdasarkan (atau bersamaan dengan) skenario film, Damien terlalu sering melakukan perpindahan sudut pandang. Hal seperti ini lebih baik diminimalkan karena terasa janggal. Sebagai contoh, di dalam bab 4, Damien memulai cerita dari sudut pandang Wisnu (orang ketiga), ketika Suta menelepon, langsung berubah-ubah sudut pandang. Demikian pula yang terjadi antara Wisnu dan sopirnya. Hal yang sama lebih jelas dalam bab 9, cerita diawali dari sudut pandang Kemala, lalu saat Rafa menelepon secara langsung cerita sudah berada dalam sudut pandang Rafa.
Ada satu bagian yang menyebalkan karena tidak realitis dan barangkali hanya ada dalam film-film konyol. Saat hendak meledakkan kafe, Kemala mengacungkan remote control –yang akan mengaktifkan bom di dalam tubuhnya. Mendadak ia berteriak, setelah tiga kali menyerukan "Allah Hu Akbar!" : "Dengarkan kalian semua! Aku akan menemani kalian menuju pintu keabadian!" Lalu melanjutkan, "Jangan ada yang pergi, kecuali kalian mau aku meledakkan bom ini sekarang!" (hlm. 203). Bukankah kalimat semacam ini hanya keluar dari mulut teroris yang masih mendua hati alias ragu-ragu? Padahal sebelumnya pengarang mengatakan, "Ia yakin sekarang." (hlm. 202).
Siapa Damien Dematra? Ia adalah seniman multitalenta. Ia bukan hanya novelis, tapi juga penulis skenario, sutradara dan produser film, fotografer internasional, dan pelukis. Damien telah menulis puluhan novel dalam bahasa Indonesia dan Inggris, puluhan skenario film dan serial TV; memproduksi puluhan film berbagai genre; menghasilkan ratusan lukisan; juga meraih puluhan penghargaan internasional dalam fotografi.
3 comments:
Unjungnya kan teriak Allahu'kbaar jadi Allah swt bangsa Arab yang di imani
untuk bunuh diri dengan Bom. Bukan main sadis nya Allah swt ciptaan bangsa
bangsa Arab. Kok harus teriak Allahu'kbaar, mengapa gak sebut Muhammad
kepala teroris islam..? Wouw rupanya Allah munster yang di Imani oleh muslim.
penulisnya cerdas, ingin menunjukkan citra islam yang sejati
penulisnya cerdas, ingin menunjukkan citra islam yang sejati
Post a Comment